Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menengok Kehidupan Malam di Bangla Street, Phuket
4 September 2018 23:27 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Ochi Amanaturrosyidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Asik banget, padahal daerah rawan tsunami (apa hubungannya?)
ADVERTISEMENT
Di hari keempat, kita yang belum sempat sarapan buru-buru berangkat ke U-Tapao International Airport, yang katanya bandara terdekat dari Pattaya. Sambil check out, gue nanya lagi soal akses ke bandara.
"Kalau dari sini bisanya naik taksi karena enggak ada kendaraan umum," kata mas resepsionis.
"Berapa?"
"Hmm, kira-kira 1.000 baht."
Mati berdiri. Mahal banget gila. Sebelum pesan, akhirnya gue ngecek dulu tarif di Grab dan ternyata lebih murah. Pakai grab, tarifnya "cuma" 700 Baht.
Yaudah deh, mau gimana lagi. Konon, ada kendaraan yang disediakan oleh Thai Air Asia dari dan ke U-Tapao menuju Festival. Tapi semalem, sejauh mata memandang gue enggak nemu ada tanda-tandanya. Dan tarifnya juga sama aja mahalnya.
ADVERTISEMENT
Setelah tarik tunai BCA di ATM lokal (biaya pajaknya 220 Baht, jadi kalau mau tarik tunai banyak aja sekalian), gue pesan Grab. Sempat deg-degan, ada enggak ya yang mau ambil orderan sejauh itu dan sepagi itu.
Mahal amat! (Nangis online).
Jam 7 itu dihitung pagi banget karena anak sekolah aja masuknya siangan. Emang cuma orang Indonesia aja yang kerajinan waktu sekolah.
Mobil kami datang, dan keren banget dong mobilnya! Kalau biasanya di Indonesia paling Avanza-Xenia, ini gue dapet Nissan Navara yang biasa dipakai orang sekelas AHY.
Dengan noraknya, gue terkagum-kagum sama spion tengahnya yang bisa berfungsi jadi layar LED. Selain itu, rupanya di spion itu ada kameranya, jadi doi mantau lalu lintas dari sisi belakang dan depan mobil selama perjalanan.
ADVERTISEMENT
Buat apa? Apakah sopir gue adalah seorang vlogger? Gue liat, rekaman dimulai begitu mesin nyala. Aduh, gue norak.
Aduh, burem banget, seburem perjalanannya.
Lama-lama gue akhirnya paham kenapa tarif ke U-Tapao mahal. Meski sudah lewat jalan tol, tapi hilal masih belum terlihat. Dikit-dikit gue ngeliat maps, udah jalan 15 menit tapi posisi kami enggak lebih dari sepertiga perjalanan.
Jauh! Setelah gue liat, kalau di Grab jarak dari Pattaya City ke U-Tapao itu hampir 60 kilometer! Edan! Pantesan mahal.
Dan sepanjang perjalanan gue liat objek-objek wisata yang tadinya masuk ke itinerary. Mulai dari Nong Noch, Laser Buddha Mountain, hingga Silverlake Vineyard dari kejauhan. Dalam hati agak bersyukur enggak maksain diri ke situ. Jauh abis.
ADVERTISEMENT
Lalu dalam hati bersyukur lagi karena batal nginep di dekat bandara. Kalau ongkosnya segitu, bisa tekor!
Sampai di U-Tapao dengan selamat setelah sekitar satu jam perjalanan. Jauh. Kami turun di departure internasional, lalu jalan kaki ke departure lokal.
Sejauh mata memandang, adanya pesawat kecil punya militer.
Bandaranya sepi banget. Lengang. Bandara ini sebenarnya milik militer, sama seperti Halim. Dan baru-baru aja dioperasikan jadi bandara umum. Penerbangannya pun terbatas. Bandaranya kecil, orangnya dikit.
Sebelum check in, kami cuma melewati satu pemeriksaan. Itu pun jaraknya cuma lima meter dari konter check in. Mbak masnya ramah dan terbilang santai banget.
Di konter check-in gue langsung ngeluarin paspor dari dompetnya dan print-out e-ticket. Tiket ke Phuket gue beli seharga Rp 350 ribu. Enggak pakai lama, tiket kami tercetak dan kami pun langsung melenggang ke atas menuju boarding room yang juga cuma segitu.
ADVERTISEMENT
Pesawat kami masih dua jam lagi. Masih kepagian banget. Setelah puas foto-foto, gue beli kopi Nescafe dingin di mesin dengan harga 20 Baht. Buat ngurangin beban receh.
Nikmatnya hanya sesaat.
Sambil minum santai, pesawat masih 15 menit lagi. Gue iseng mau ngecek itinerary yang gue bikin di buku catatan. Bukunya masuk ke dalam dompet paspor gue. Santai, gue buka totebag gue dan...
"Yu! Dompet gue enggak ada!"
"Hah?"
Otak gue langsung kerja keras, memutar balik deretan peristiwa yang bisa jadi petunjuk ke mana dompet paspor gue. Emang sih, paspornya enggak ada di dalamnya, pun dengan uang serta kartu ATM. Tapi di dalamnya ada kertas imigrasi, bisa-bisa enggak bisa keluar gue nanti.
ADVERTISEMENT
Lagipula itu dompet baru, beli online Rp 20 ribu. Kan sayang... (pelit anaknya).
"Di dalam ransel kali," kata Wahyu yang mukanya mulai enggak selow.
"Enggak mungkin. Gue enggak buka-buka tas ransel lagi. Tapi coba aja cariin. Gue lapor dulu," kata gue sambil beranjak ke petugas pemeriksaan tas di depan pintu ruangan.
Tadinya mau mampir ke sini nih waktu di Pattaya, tapi gak jadi.
"Hai, Miss, I think I lost my wallet," kata gue dengan nada tenang, dikit-dikit ngeliat jam. Takut ketinggalan pesawat.
Dalam otak, gue udah nyusun serangkaian plan jika terjadi hal buruk seperti ketinggalan pesawat dan hal buruk banget seperti kehilangan kartu imigrasi gue. Amit-amit jabang bayi.
"Iya, kayaknya tadi ada yang nemu. Coba ke konter check-in di bawah," ujar dia yang lalu meminta teman-temannya buat melepas gue keluar tanpa diperiksa.
ADVERTISEMENT
Lalu di depan pintu, gue dicegat petugas lagi yang kayaknya cuma kepo. Gue nanya hal yang sama, kayaknya dompet gue ilang di sini.
"Oh iya, tadi ada yang keliling nanyain itu. Cewek, kurus, yang ada di konter bawah. Coba aja turun lalu masuk lagi ke konter check in."
Gue nurut sampai akhirnya gue baru sadar, petugas bandara (baca: petugas Air Asia) yang cewek kan kurus semua! Ketawa getir.
Saksi bisu kebodohanku kala itu.
Yaudah, gue turun dan dicegat petugas lagi yang kayaknya juga kepo. Kenapa gue bilang kepo, karena mereka nanya dengan ekspresi buru-buru pengen bantuin.
"Oh iya, coba tanya ke petugas di depan itu," kata si Mbak, nunjuk petugas pengecekan sebelum masuk konter check in.
ADVERTISEMENT
Dari lokasi pengecekan, gue langsung dikerubungin petugas. Terus ada satu mas-mas tampan yang rupanya petugas informasi, yang ikut nimbrung. Gue lalu dibiarkan masuk gitu aja dan digiring ke konter check-in setelah menerima kata-kata motivasi dan tepukan penenang.
"Tenang, enggak usah panik. Kalau di sini pasti ketemu kok," kata si Mas.
Terharu aku tu, boleh peluk?
Konter check in Air Asia yang ujung kiri. Enggak capek sih muterin sini.
Sampai di konter check-in, gue nanya lagi. Ternyata, menurut si mbaknya, dompet gue udah dibawa sama petugas Air Asia ke Gate 2 buat ditanya-tanyain ke penumpang yang mau naik ke pesawat.
Setelah mengucap terima kasih, gue naik lagi ke atas. Dan dicegat lagi sama petugas-petugas sebelumnya. Mereka nanya dengan wajah khawatir karena gue balik dengan tangan hampa.
ADVERTISEMENT
"Gimana? Ketemu kan? Tadi beneran liat kok ada yang nemuin dompet item," kata mereka yang gue temui di tiga lokasi berbeda.
"Iya, katanya di petugas Air Asia di Gate 2. Petugasnya yang mana?"
"Bukan yang di bawah? Tadi kan di bawah."
"Iya, udah nanya tadi. Katanya disuruh ke Gate 2."
Bagus, tapi jauh, aku bisa apa?
Kemudian obrolan kami ditimpali oleh turis-turis yang kayaknya asal China. Mereka memberikan kesaksian bahwa emang ada dompet yang ketemu dan sempat ditanyain sama petugas di luar.
Terus gue dikasih semangat dong sama mereka. Dibilang jangan panik. Orang-orang di sini tuh baik-baik semua ya?
Lalu, mas-mas petugas bandara yang mukanya mirip Ped di film Suck Seed menawarkan diri nganterin gue nyari petugas Air Asia yang bawa dompet gue. Di tengah jalan, dia dipanggil sama dua turis India yang enggak tahu cara pakai mesin minuman kaleng.
Apakah ini yang dinamakan buntung jadi untung? Penyegar mata.
ADVERTISEMENT
"Auh, sorry, I don't understand," jawab si Mas petugas terus ngasih tanda ke gue buat ikut melenggang pergi. "Sebenernya males aja sih, kan lagi buru-buru ini. Ini lebih penting."
Dia ketawa. Gue ketawa. Dikit lagi jelang baper.
Dan berkat bantuan masnya, gue ketemu petugas di Gate 2 yang nyimpen dompet gue. Tanpa ditanya apa-apa lagi, mereka langsung nyodorin dompet gue.
"Thank you so much, you saved my life," kata gue lebay.
Si mas-mirip-Ped ketawa kecil lalu nepuk bahu gue. "Enggak apa-apa, lain kali hati-hati. Yaudah, duluan ya. Mana tau yang tadi masih belum bisa beli minumnya."
Lucu banget kamu tuh, Mas!
Dompetku yang dulu hilang, kini dia tlah kembali pulang (lagu Kangen Band)
ADVERTISEMENT
Gue balik ke bangku gue, tempat Wahyu udah nunggu dengan tampang was-was. Sementara gue dateng dengan wajah sumringah.
"Jatoh ternyata, he he."
"Duh, gimana sih! Gue sih enggak panik, cuma was-was aja."
Sama aja, Malih.
Bukan mendung, tapi jendela pesawatnya burem.
Sebelum masuk pesawat, gue bilang makasih lagi sama petugas Air Asia di Gate 2 itu. Perjalanan menuju Phuket ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam dan dalam kondisi cuaca sangat cerah. Jadi enggak berasa sama sekali terbangnya. Asoy kalau begini terus cuacanya.
Phuket dari atas itu cantik banget. Lautnya benar-benar juara. Langit biru, hamparan laut warna hijau zamrud. Bagusnya sampai susah dijelaskan.
Yang jernih cuma buat InstaStory.
ADVERTISEMENT
Dari bandara Phuket, sebelum pintu keluar jangan lupa mampir ke booth minivan untuk memesan tiket menuju ke Patong. Karena gue nginepnya di Patong, tempat mainstream semua backpacker yang berlibur ke Phuket.
Tiket minivannya cukup murah, cuma 180 baht dengan perjalanan selama sekitar 1 jam. Jauh banget itu. Dan kami diantar sampai ke hotel masing-masing.
Jalannya mengingatkan pada jalan-jalan di daerah Ambarawa atau Wonosobo, naik-turun dengan kelokan tajam dan jalannya cuma dua ruas. Sopir minivan kami kayaknya jago banget nyetirnya dan enggak malu-malu bikin perut penumpangnya kekocok-kocok.
Dan sambil nyetir, doi video call dong! Pengen ngingetin, tapi enggak ngerti bahasanya. Yaudah, pasrah aja. Toh, hidup-mati ada di tangan Tuhan (baca pake backsong lagu Opick).
Murah tapi belum tentu include asuransi.
ADVERTISEMENT
Tapi kami sampai dengan selamat. Waktu minivan kami istirahat sebentar buat ngedata alamat tujuan, gue kenalan sama petugas asal Malaysia yang ujung-ujungnya nawarin jasa tour.
“Kalau di aku, cuma 1.300 baht aja buat keliling Phi Phi Island. Atau mau ke wahana wisata lain? Bisa, bisa.”
“Yah, tapi udah beli paket ke Phi Phi sama orang lain. Mungkin next time.”
“Yaudah kalau gitu numpang promosiin aja.”
Oke, gue promosiin. Udah kan janjinya. Tapi nomor teleponnya yang ini 0866869417
Lanjut, kami menginap di Maritime Rooms Patong yang letaknya strategis banget. Untuk tiga hari dua malam cuma Rp 182 ribu per orang. Kalau mau tidur di kamar yang dormitory malah lebih murah lagi, sekitar Rp 50 ribu per orang.
ADVERTISEMENT
Tapi aku kan manja, maunya di kamar biasa biar keliatan kayak orang kaya. Canda. Ini karena yang sisa tinggal itu doang, dan cuma penginapan itu yang posisinya strategis tapi bisa dipesan tanpa kartu kredit di Agoda.
Kenapa gue bilang lokasinya strategis? Karena sama kayak penginapan gue di Bangkok, lokasinya cuma di gang seberang pusat keramaian. Dari Bangla Street, cuma tinggal keluar gang dan nyebrang jalan, dan buat ke Jungceylon Mall cuma tinggal jalan kaki 200 meter. Buat ke Pantai Patong juga deket banget, tinggal menyusuri Jalan Bangla.
Karena kami enggak ada agenda apa-apa hari ini, maka hari pertama di Phuket diawali dengan: jajan di Sevel. As always, Sevel udah kayak separuh jiwa yang hilang.
ADVERTISEMENT
Terus pengen makan mewah, jadi gue beli nasi yang harganya 40 baht, ditambah sandwich kepiting seharga 13 baht, dan Fanta rasa melon (kayaknya) harga 15 baht. Dan enak banget! Semuanya enak. I love you, Sevel.
Jalanan di daerah Bangla, siapa sangka kalau malam jadi...
Setelah kenyang, kita memutuskan untuk beli barang-barang jastip di sekitar Bangla dan pesisir pantai. Kemudian baru sadar kalau 80 persen pedagang di sini adalah orang India. Dan kalau beli di lapaknya orang India itu ribet!
Namanya juga jastip, jadi kami berinteraksi dengan calon pembeli lewat chat. Kadang balesnya cepet, kadang lama. Di satu toko, gue udah minta izin buat fotoin pilihan barang karena temen gue yang mau beli pengen liat ada pilihan apa aja.
ADVERTISEMENT
Terus karena balesnya lama, jadi kita tinggal dulu lapaknya dan pindah ke lapak lain buat nyari titipan lainnya. Terus diteriakkin dong sama ibu-ibu penjualnya!
“Woy! Lo udah foto-foto tapi enggak beli! Ngapain ngefoto kalau akhirnya enggak beli?”
Kalau masih siang belom boleh mabok-mabokan.
Dan semua orang, satu Bangla, nengok. Malu! Padahal udah dibilang nanti balik lagi, juga. Kemudian kejadian lainnya, gue liat-liat kain di toko yang dijaga mbak-mbak India. Harganya mahal abis. Belajar dari pengalaman, gue enggak mau diteriakin lagi. Akhirnya gue beli satu pashmina seharga 100 baht.
“Udah? Ini aja? Nanya-nanya harga yang itu kenapa belinya yang ini? Yang murah?”
Lah ya suka-suka gue dong. Yang penting bayar, kan!
ADVERTISEMENT
Akhirnya, kami memutuskan untuk enggak akan masuk toko yang dijaga orang India. Ribet.
Serba 100 baht, semacam sedih karena udah jajan di luar dan lebih mahal.
Dan satu tips lagi yang kita baru sadar, ternyata harga barang di toko pusat oleh-oleh dan di dalam Mal Jungceylon jauh lebih murah! Wow! Bahkan, di lantai dasar Mal Jungceylon, di deretan seberang Sevel, ada toko serba 100 Baht. Semua barang, mulai dari tas, parfum, dan lain-lain harganya dipukul rata 100 baht.
Kalau di luar? Harganya bisa lebih dari 2 kali lipatnya. Rugi kamu, Nak. Kelebihan lainnya, kalau di lapak luar bisa nawar harga.
Yang menarik perhatian lagi mungkin iklan turnamen Thai Boxing yang lewat pakai pick up. Para petarung mereka bakal berdiri di bak belakang sambil mukul-mukul samsak. Lalu ada kroconya yang nebarin poster turnamen. Ingin menonton, tapi tak punya uang.
Bang tukang Ice (Thai) Tea. Murah coy!
ADVERTISEMENT
Yaudah, lewat aja. Sembari jajan Thai Tea dari abang-abang gerobak pinggir jalan yang harganya cuma 20 baht segelas.
Meski sepanjang jalan Bangla di siang hari dipenuhi penjual oleh-oleh, tapi begitu hari mulai gelap, tempat ini berubah 360 derajat. Gue bahkan lupa ke mana perginya lapak-lapak itu. Lokasi ini tiba-tiba berubah jadi pusat maksiat. Astaghfirullah (tumben bener).
Semua bangunan di kiri-kanan jalan berubah jadi bar. Macem-macem jenisnya, mulai dari Hooters (iya, ini ada waktu siang tapi pas malem kok enggak nemu ya), bar lady boy, bar Russia, bar Hollywood, sampai HOST CLUB! Ketampanannya enggak kalah sama yang di Kabukicho.
Meski berbeda, semuanya punya ciri khas yang sama: pole dance! Kita bisa menikmati mbak-mbak, entah yang beneran atau jadi-jadian, ber-pole dance dari jalan. Bener-bener keliatan kok. Kagum, pole dance kan susah.
Puter terooz mbak, puter.
ADVERTISEMENT
Lalu di sepanjang jalan, banyak yang bawa papan menjajakan bar masing-masing. Bukan cuma bar aja, bahkan ada yang nawarin ‘tiger show’. Bukan, ini bukan pertunjukan harimau. Ini lebih kayak nonton bokep dicampur tutorial kamasutra, tapi dibalut sama sulap.
Lima tahun lalu, saat gue masih polos, gue pernah terjebak masuk ke tiger show. Pengalaman yang tak terlupakan, memang. Sebab, pulang dari situ gue kena azab, duit gue ilang tiba-tiba (dan ketemu saat gue udah di Indonesia). Akhirnya gue menghabiskan hari-hari berikutnya dengan sengsara.
Masnya nawarin orang lain terus, diri sendiri kapan ditawar?
Tak mau mengulang kesalahan yang sama, gue cukup menikmati kehidupan malam Bangla dari luar aja. Lagian dari luar juga udah asik.
ADVERTISEMENT
Oh iya, harga beer di sini juga kayaknya lebih murah. Satu pitcher dibanderol dengan harga paling mahal 80 baht. Lebih murah dari jajan gue. Open table juga cuma 50 baht-an. Duh, kenapa yang haram-haram itu murah?
Kan jadi ingin.
Muter-muter gitu, apa enggak pusing?
Di kedua ujung jalan, juga dijadikan ‘panggung’ bagi para b-boy. Seru banget nonton mereka beraksi. Mereka juga menyediakan kotak sumbangan, jadi para penonton bisa menyumbangkan uangnya untuk mereka. Buat beli koyok cabe sama minyak urut kalo kecengklak.
Dan seperti orang Indonesia pada umumnya, pas nonton paling depan, tapi begitu pertunjukan berakhir dan para b-boy ngiderin kotak sumbangan, langsung kabur duluan. Gitu deh tabiatnya.
Kami mengakhiri hari dengan mondar-mandir di sepanjang Bangla Street. Layaknya anak baik-baik pada umumnya, suasana kehidupan malam di Bangla benar-benar jadi hal baru yang menarik bagi kami. Suasananya, dentuman musiknya, mbak-mbaknya, dan semuanya.
ADVERTISEMENT
Sebelum pulang, kami beli makan malam dulu. Tapi di Sevel, kayak biasanya. Sebelum tidur, gue juga enggak lupa ngechat Miss Ladda, penyedia travel ke Phi Phi Island buat memastikan perjalanan besok.
Bar taipan! Penasaran gak tuh dalemnya gimana?
Pengeluaran Hari Keempat:
Sharing Grab ke bandara … 350 Baht
Kopi kaleng … 20 Baht
Pesawat Pattaya-Phuket … Rp 350 ribu
Bandara ke penginapan di Patong … 180 Baht
Penginapan … Rp 182 ribu
Makan siang … 40 Baht
Sandwich … 13 Baht
Fanta … 15 Baht
Thai Tea … 20 Baht
Makan malam … 30 Baht
Total: Rp 532 ribu dan 668 Baht (atau Rp 305 ribu jadi totalnya Rp 837 ribu)
ADVERTISEMENT
Total dari hari pertama sampai keempat: Rp 2.471.000,-
Iya, ini pengeluaran terbesar selama di Thailand. Semua ini gara-gara sulitnya transportasi umum di sini. Sedih.
Burem, kayak iman gue waktu jalan di sini.
Tulisan Lainnya:
Thailand D-6: Serunya Transit di Changi Singapore