Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten Media Partner
Hardjuno Wiwoho: Kasus Suap Ketua PN Jaksel, Perampokan Hukum Paling Brutal
14 April 2025 14:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Dugaan suap Rp 60 miliar yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam vonis bebas terhadap tiga korporasi besar minyak goreng dinilai sebagai bentuk perampokan hukum yang paling brutal. Hal ini disampaikan oleh Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho.
ADVERTISEMENT
“Kalau hakim bisa dibeli oleh korporasi, apa yang tersisa dari negara hukum kita?” tegas Hardjuno dalam rilis yang diterima redaksi, Minggu (13/4). Menurutnya, praktik seperti ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi bukti nyata bahwa hukum bisa diperdagangkan kepada pemilik modal.
Lebih lanjut, Hardjuno menilai bahwa suap yang dilakukan oleh korporasi justru lebih berbahaya daripada korupsi birokrasi. “Korupsi birokrasi itu mencuri anggaran. Tapi suap korporasi membajak sistem. Mereka tak sekadar menghindari hukuman, tapi juga ikut menentukan arah kebijakan negara lewat ruang sidang,” jelasnya.
Ia menyebut situasi ini sebagai ironi besar. Di satu sisi, negara sudah menggelontorkan dana triliunan untuk subsidi minyak goreng demi rakyat. Tapi di sisi lain, korporasi penerima manfaat justru membeli kebebasan hukum lewat jalur belakang. “Ini bukan cuma soal korupsi. Ini penghinaan terhadap negara, sekaligus pengkhianatan terhadap rakyat,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Nama Ketua PN Jaksel, Muhammad Arif Nuryanta, kini resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung bersama tiga orang lainnya. Uang suap yang diduga mengalir lewat jaringan pengacara dan panitera ini disebut untuk memastikan Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group lolos dari jerat hukum.
Hardjuno, yang juga tengah menempuh studi doktoral di Universitas Airlangga, menegaskan bahwa masalah ini tak lagi bisa dilihat sebagai ulah oknum. “Kalau putusan bisa dibeli, maka rakyat kecil kehilangan tempat berlindung. Ini bukan sekadar masalah moral pribadi—ini krisis sistem,” ujarnya.
Ia pun mendorong pembenahan total di Mahkamah Agung, termasuk pembentukan lembaga independen yang mengawasi harta, gaya hidup, dan relasi para hakim. “Kalau Rp60 miliar bisa masuk ke ruang sidang, itu berarti pengawasan kita jebol di semua sisi. Sudah waktunya dilakukan audit total, menyeluruh, dan berani,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Hardjuno juga kembali mengingatkan pentingnya segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset. Menurutnya, tanpa mekanisme perampasan hasil kejahatan, hukuman penjara hanya akan jadi masa tunggu.
“Kalau uang hasil suap tidak ditarik kembali, maka penjara itu hanya jeda. Setelah keluar, mereka tetap hidup nyaman. Negara harus bisa mengambil kembali yang dicuri dan pastikan pelaku benar-benar kehilangan hasil kejahatannya,” katanya.
Apresiasi untuk Langkah Kejaksaan Agung
Dalam pernyataan yang sama, Hardjuno menyampaikan apresiasi atas keberhasilan Kejaksaan Agung dalam membuka jaringan suap di sistem peradilan. Ia menyebut, kerja Kejagung dalam kasus ini bukan berdiri sendiri, melainkan pengembangan dari sejumlah penyelidikan sebelumnya.
“Semua ini dirangkai dengan bukti. Awalnya dari kasus vonis bebas Ronald Tannur di PN Surabaya. Dari sana, penyidik menemukan barang bukti yang mengarah ke kasus lain—termasuk uang hampir Rp1 triliun dan puluhan kilogram emas di rumah mantan pejabat MA,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Temuan itulah yang akhirnya membuka jalan menuju dugaan suap kepada Ketua PN Jaksel dalam kasus migor. Bagi Hardjuno, ini menunjukkan bahwa Kejaksaan sedang bekerja dengan pola yang serius dan mendalam.
“Ini bukan sekadar operasi gebrak meja. Ini kerja sistematis, telusuri jejak uang, bongkar satu-satu, lalu seret yang terlibat. Dan mereka berani menyentuh nama-nama besar. Itu yang patut kita hargai,” ucapnya.
Ia menutup pernyataannya dengan satu pesan penting: bahwa pembersihan hukum harus dimulai dari dalam, dan bisa dilakukan jika aparat bekerja dengan integritas dan keberanian. “Ini bukan soal pencitraan. Ini soal keberanian untuk membersihkan lembaga hukum dari mereka yang selama ini tak tersentuh,” tutupnya.