Konten Media Partner

PP Muhammadiyah: Pengkultusan Figur Ustaz atau Kyai di Pesantren Musti Dikikis

12 Desember 2021 20:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Herry Wirawan, pemerkosa 12 santriwati di Bandung. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Herry Wirawan, pemerkosa 12 santriwati di Bandung. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Kasus perkosaan yang dialami 21 santri Pondok Tahfidz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Bandung, oleh Herry Wirawan yang tidak lain pengasuh sekaligus pemilik pondok tahfidz itu, musti menjadi evaluasi besar sistem pendidikan pesantren.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah, Muhbib Abdul Wahab, mengatakan bahwa salah satu penyebab utama yang menyebabkan kerentanan kejahatan seksual di lingkungan pesantren adalah terlalu berkuasanya satu sosok di lingkungan pesantren.
Muhbib mengutip rilis pers Komnas Perempuan dalam yang diterbitkan pada 27 Oktober 2020, bahwa modus modus pelecehan seksual di dalam pesantren yang paling umum seperti pemaksaan dan manipulasi status perkawinan, memindahkan ilmu, hingga ancaman akan terkena azab, tidak lulus, serta hafalan akan hilang jika tidak mau menuruti keinginan pelaku.
“Dia (pelaku) karena terlalu kuat kuasanya, bisa seenaknya memanfaatkan dasar atau argumen keagamaan untuk kepentingan personal atau hawa nafsunya,” kata Muhbib Abdul Wahab saat dihubungi, Jumat (10/12).
Herry bisa leluasa melancarkan aksi kejinya selama lebih dari lima tahun adalah imbas dari adanya satu figur di lembaga pendidikan itu yang dikultuskan dan memiliki kekuatan penuh. Sehingga, dia bisa melakukan apapun, tanpa adanya pengawasan dari pihak lain.
ADVERTISEMENT
Mestinya, setiap pesantren memiliki standar dan sistem pengawasan yang ketat sehingga tidak ada satu pihak yang bisa berlaku seenaknya.
Muhbib mencontohkan, sistem yang diterapkan di sekitar 395 pondok pesantren yang berada di bawah naungan Muhammadiyah. Selain memiliki standar pendirian pondok pesantren yang ketat, dalam struktur kepengurusannya juga tidak hanya terdapat direktur atau kyai di puncak pimpinan. Tapi di atasnya masih ada pembina dan penasihat yang berhak mengontrol dan memonitor kinerja pengurus pondok pesantren.
“Tradisi di Muhammadiyah memang tidak ada satu tokoh yang sangat powerfull, karena kami dalam tanda kutip tidak terlalu mengkultuskan figur seorang guru, ustaz, atau kyai,” lanjutnya.
Selain pengawasan dari internal, pengawasan dari eksternal juga dibutuhkan. Karena itu, dibutuhkan semacam komite seperti yang ada di sekolah. Komite pesantren tersebut kemudian diberikan kewenangan untuk ikut mengawasi dan mengontrol kinerja pengurus pesantren.
ADVERTISEMENT
“Pondok pesantren harus lebih mau dikontrol, minimal oleh orangtua santri,” kata Muhbib.
Muhbib sedikit menyayangkan sikap Kemenag maupun MUI yang cenderung mencoba menutupi kasus ini. Pasalnya, itu bukanlah langkah yang tepat untuk memberantas kejahatan seksual di lingkungan pesantren, alih-alih berpotensi melanggengkannya. Mestinya, pemerintah justru lebih meningkatkan pengawasan dan standar mutu pesantren supaya kejadian serupa tak terulang lagi.
Kepada masyarakat, Muhbib juga menyampaikan supaya tidak mudah tergiur dengan iming-iming pendidikan murah atau bahkan gratis, terlebih yang tak jelas dari mana pendanaannya.
“Kalau dia menawarkan pendidikan gratis, namun tak jelas sumber pendanaannya, itu kan tidak masuk akal. Apalagi kalau pengelolaannya sangat tertutup, itu patut dicurigai itu ada kamuflase atau kedok-kedok tertentu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT