Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Biografi Abdul Muis, Latar Belakang, dan Kariernya
3 September 2024 0:56 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Profil Tokoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ayahnya berasal dari Minangkabau, Sumatra Barat, dan dikenal sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar di masyarakat setempat. Sementara itu, ibunya berasal dari Jawa dan memiliki keahlian dalam pencak silat, seni bela diri tradisional.
Dalam kehidupan sehari-hari, Abdul Muis memegang teguh ajaran Islam dan aktif dalam berbagai organisasi politik yang berhaluan Islam. Keterlibatannya dalam dunia politik menunjukkan komitmennya terhadap nilai-nilai agama dan masyarakat.
Biografi Abdul Muis
Abdul Muis adalah seorang pengarang ternama yang dianugerahi gelar Soetan Penghoeloe. Ia lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 3 Juli 1886 dan meninggal dunia di Bandung pada 17 Juni 1959.
Ayahnya adalah seorang tokoh yang dihormati di Minangkabau, Sumatra Barat, sementara ibunya berasal dari Jawa dan memiliki keahlian dalam seni bela diri tradisional, pencak silat.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari laman ensiklopedia.kemdikbud.go.id, dalam kehidupan sehari-hari, Abdul Muis adalah seorang Muslim yang taat dan aktif dalam berbagai organisasi politik berhaluan Islam.
Pendidikan formal Abdul Muis dimulai di Europees Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar yang umumnya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan kaum pribumi terpilih.
Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan di Kleinambtenaarsexamen (Amtenar Kecil) dan kemudian menempuh pendidikan selama tiga tahun di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), sebuah sekolah kedokteran di Jakarta.
Namun, ia terpaksa meninggalkan STOVIA sebelum menyelesaikan pendidikannya karena alasan kesehatan.
Setelah keluar dari STOVIA, Abdul Muis bekerja sebagai magang di Departemen van Onderwijs en Eredienst, sebuah departemen yang dipimpin oleh Abendanon.
Berkat kemahirannya dalam berbahasa Belanda, ia diangkat menjadi klerk di departemen tersebut pada tahun 1903. Namun, pada tahun 1905, ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena tidak disukai oleh rekan-rekan kerja Belanda.
ADVERTISEMENT
Ketidaksukaan ini terutama disebabkan oleh sikap patriotik yang sering ia tunjukkan di hadapan mereka.
Setelah keluar dari departemen tersebut, Abdul Muis pindah ke Bandung dan bekerja sebagai korektor di kantor harian De Preanger Bode. Karena kemampuan bahasa Belandanya yang luar biasa, ia kemudian diangkat sebagai hoofdcorrector (kepala korektor) di surat kabar tersebut.
Namun, minatnya dalam bidang politik terus berkembang, dan ia bergabung dengan Serikat Islam, sebuah organisasi politik yang dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Dalam organisasi tersebut, Abdul Muis dipercaya untuk menjadi pemimpin redaksi surat kabar Kaum Muda, sebuah publikasi milik Serikat Islam di Bandung. Ia sering menulis dengan nama pena "A.M." dan melalui tulisannya, ia aktif mengkampanyekan otonomi yang lebih luas bagi Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Kegiatan politiknya semakin intensif ketika ia menjadi anggota delegasi Comite Indie Weerbaar (Panitia Pertahanan Hindia), yang mengirimnya ke Negeri Belanda pada tahun 1917.
Sepulangnya dari Belanda, Abdul Muis mendapati bahwa Kaum Muda telah dibredel oleh pemerintah kolonial, sehingga ia kehilangan platform untuk menyuarakan pandangannya.
Namun, berkat usaha Datuk Tumenggung di Jakarta, Serikat Islam berhasil menerbitkan kembali surat kabar baru yang diberi nama Neratja.
Abdul Muis kemudian diangkat sebagai pemimpin redaksi surat kabar ini, di mana ia terus melanjutkan perjuangannya melalui tulisan-tulisan yang kritis terhadap pemerintahan kolonial.
Di samping aktivitas politiknya, Abdul Muis juga dikenal sebagai seorang pengarang. Karya paling terkenalnya adalah novel Salah Asuhan, yang diterbitkan pada tahun 1920-an.
Novel ini menjadi salah satu karya sastra yang paling berpengaruh di Indonesia, menggambarkan konflik sosial dan budaya yang dialami oleh masyarakat pribumi pada masa penjajahan Belanda.
ADVERTISEMENT
Karya ini mengukuhkan Abdul Muis sebagai salah satu pengarang besar dalam sejarah sastra Indonesia.
Latar Belakang Abdul Muis
Abdul Muis adalah seorang tokoh penting yang berasal dari Minangkabau, sebuah suku yang terkenal dengan tradisi dan budayanya yang kaya di Indonesia. Ia lahir dari keluarga yang dihormati, putra dari Soelaiman Dt Toemanggoeng dan Siti Djariah.
Sejak usia muda, Abdul Muis menunjukkan minat besar terhadap pendidikan.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar untuk anak-anak pribumi yang disediakan oleh pemerintah kolonial Belanda, ia melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di Stovia.
Stovia, atau School tot Opleiding van Indische Artsen, adalah sekolah kedokteran yang sangat bergengsi pada masa itu, yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di Stovia, Abdul Muis berusaha keras untuk mengejar cita-citanya dalam bidang kedokteran. Namun, perjalanan pendidikannya tidak berjalan mulus. Sayangnya, karena masalah kesehatan yang cukup serius, ia tidak dapat menyelesaikan studinya di sekolah tersebut.
Kondisi kesehatannya memaksanya untuk menghentikan pendidikannya di tengah jalan, meninggalkan ambisi awalnya menjadi seorang dokter.
Meskipun demikian, kegagalan menyelesaikan pendidikan kedokteran tidak menghentikannya untuk tetap berkontribusi secara signifikan dalam bidang lain, termasuk sastra dan politik, yang pada akhirnya menjadikannya salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia.
Karier Abdul Muis
Abdul Muis memulai kariernya sebagai klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst dengan bantuan Mr. Abendanon, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan.
Meski posisinya didukung oleh Abendanon, Abdul Muis tidak diterima baik oleh rekan-rekan kerjanya yang kebanyakan orang Belanda. Setelah dua setengah tahun bekerja, ia memutuskan untuk keluar dan melanjutkan karier sebagai wartawan di Bandung.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1905, Abdul Muis bergabung dengan dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang menyajikan berita politik di Bandung. Namun, pada tahun 1907, Bintang Hindia dilarang terbit oleh pemerintah kolonial, memaksa Abdul Muis untuk mencari pekerjaan baru.
Ia kemudian bergabung dengan Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mentri lumbung, posisi yang dipegangnya selama lima tahun.
Pada tahun 1912, Abdul Muis kembali ke dunia jurnalistik sebagai wartawan di surat kabar Belanda Preanger Bode. Awalnya ia bekerja sebagai korektor, namun berkat kemampuan bahasa Belandanya yang sangat baik, dalam waktu tiga bulan ia diangkat menjadi hoofdcorector (korektor kepala).
Pada tahun 1913, Abdul Muis bergabung dengan Sarekat Islam, sebuah organisasi politik yang berpengaruh, dan menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kaoem Moeda.
ADVERTISEMENT
Di bawah kepemimpinannya, Kaoem Moeda menjadi tulang punggung perjuangan Sarekat Islam di Bandung, terutama melalui rubrik "Pojok" yang diperkenalkan pertama kali oleh koran ini.
Posisi sebagai redaktur memberikan Abdul Muis kebebasan untuk melanjutkan perjuangan melalui tulisan-tulisannya yang tajam.
Setahun kemudian, Abdul Muis bersama Ki Hadjar Dewantara mendirikan Komite Bumiputera, yang menentang rencana pemerintah Belanda untuk merayakan seratus tahun kemerdekaannya dari Prancis.
Perjuangan politiknya semakin intensif ketika pada tahun 1917 ia dikirim oleh Sarekat Islam ke Belanda sebagai utusan untuk mempromosikan komite Indie Weerbaar, yang bertujuan memperjuangkan pertahanan Hindia Belanda.
Abdul Muis juga berperan penting dalam pendirian Technische Hooge School di Priangan, yang kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada tahun 1918, ia ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central Sarekat Islam, yang memperkuat posisinya sebagai tokoh penting dalam perjuangan politik.
ADVERTISEMENT
Namun, perjuangannya tidak selalu berjalan mulus. Pada bulan Juni 1919, ia dituduh menghasut rakyat di Toli-Toli, Sulawesi Utara, untuk menolak kerja rodi, yang berujung pada pembunuhan seorang pengawas Belanda. Abdul Muis dipenjara akibat tuduhan tersebut.
Meskipun menghadapi berbagai tekanan, Abdul Muis terus berjuang melalui media cetak, termasuk tulisannya di harian De Express, di mana ia sering mengecam kebijakan kolonial.
Pada tahun 1920, Abdul Muis terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian dan memimpin pemogokan buruh di Yogyakarta setahun kemudian.
Aksinya yang gigih menentang pajak yang memberatkan rakyat Minangkabau membuatnya dilarang berpolitik dan diasingkan dari Sumatera Barat serta Pulau Jawa.
Ia kemudian menetap di Garut, Jawa Barat, di mana ia menyelesaikan novelnya yang terkenal, Salah Asuhan.
ADVERTISEMENT
Meskipun diasingkan, Abdul Muis tetap berperan aktif dalam politik lokal. Pada tahun 1926, ia terpilih sebagai anggota Regentschapsraad Garut dan enam tahun kemudian diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur, posisi yang dipegangnya hingga Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Abdul Muis mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan dan tetap aktif dalam pembangunan di Jawa Barat hingga akhir hayatnya.
Perjuangan Abdul Muis
Dikutip dari laman badanbahasa.kemdikbud.go.id, pada masa pergerakan nasional, bdul Muis merupakan salah satu tokoh penting yang turut serta memimpin Serikat Islam bersama H.O.S. Cokroaminoto.
Pada tahun 1917, ia dipercaya oleh organisasi tersebut untuk menjadi utusan ke Belanda dengan tujuan mempromosikan Comite Indie Weerbaar, sebuah komite yang bertujuan memperkuat pertahanan Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Sekembalinya dari Belanda pada tahun 1918, Abdul Muis melanjutkan kariernya di dunia jurnalistik dengan bergabung di harian Neraca, setelah sebelumnya Kaum Muda tempat ia bekerja diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda yang dipimpin oleh Residen Engelenberg.
Abdul Muis kemudian melanjutkan perjuangannya di berbagai bidang, termasuk politik dan pergerakan massa. Pada tahun 1918, ia terpilih sebagai anggota Volksraad, sebuah dewan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda.
Namun, perjuangannya tidak hanya terbatas di dewan tersebut. Pada tahun 1922, ia memimpin sebuah pemogokan yang diadakan oleh Perkumpulan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) di Yogyakarta.
Setahun kemudian, ia memimpin gerakan menentang diberlakukannya landrentestelsel, sebuah undang-undang pengawasan tanah di Sumatra Barat, yang akhirnya berhasil dibatalkan berkat protes yang ia pimpin.
ADVERTISEMENT
Namun, aktivitas Abdul Muis yang vokal dan menentang kebijakan pemerintah kolonial membuatnya dianggap sebagai ancaman oleh pihak Belanda. Pada tahun 1926, ia dikenakan sanksi dengan dilarang meninggalkan Pulau Jawa selama lebih dari 13 tahun, dari 1926 hingga 1939.
Meski demikian, larangan tersebut tidak menghentikan perjuangannya. Ia mendirikan beberapa surat kabar, termasuk Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut, meskipun umur kedua surat kabar tersebut tidak lama.
Di bidang politik, Abdul Muis tetap aktif meskipun berada di bawah pengawasan ketat pemerintah kolonial.
Pada tahun 1926, ia dicalonkan oleh Serikat Islam menjadi anggota Regentschapsraad di Garut, dan enam tahun kemudian, pada 1932, ia diangkat sebagai Regentschapsraad Controleur, sebuah jabatan yang ia pegang hingga Jepang menguasai Indonesia pada tahun 1942.
ADVERTISEMENT
Selama masa pendudukan Jepang, meskipun kesehatan Abdul Muis mulai menurun akibat penyakit darah tinggi, ia tetap bekerja dan diangkat sebagai pegawai di bidang urusan sosial.
Setelah masa pendudukan Jepang dan memasuki era pasca-kemerdekaan, Abdul Muis kembali aktif dalam perjuangan nasional. Ia terlibat dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan dan bahkan sempat diminta untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Di samping itu, bakat kepengarangan Abdul Muis juga semakin berkembang setelah ia terjun ke dunia penerbitan. Karya sastranya, meskipun tidak banyak, dianggap sangat berpengaruh dalam sejarah sastra Indonesia.
Salah satu karya terkenalnya adalah Salah Asuhan, sebuah novel yang menampilkan konflik pribadi dan dianggap memperkenalkan gaya baru dalam penulisan prosa pada masanya.
Karya-karya Abdul Muis yang lain mencakup terjemahan serta novel yang di antaranya Tom Sawyer Anak Amerika dan Surapati. Meskipun kurang produktif sebagai sastrawan, Abdul Muis tetap tercatat sebagai salah satu pengarang yang memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kematian Abdul Muis
Abdul Muis meninggal dunia di Kota Bandung pada tanggal 17 Juni 1959. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan masyarakat yang mengenalnya.
Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara.
Abdul Muis meninggalkan dua orang istri yang setia mendampinginya sepanjang hidup, serta 13 orang anak yang mewarisi semangat dan perjuangannya.
Itulah biografi Abdul Muis, semoga membantu dan bermanfaat. (KIKI)
ADVERTISEMENT