Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Biografi Sunan Kudus, Asal-usul dan Peninggalannya
4 September 2024 2:51 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Profil Tokoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama, tetapi juga sebagai panglima perang di Kesultanan Demak, yang merupakan salah satu kerajaan Islam pertama di Jawa. Sunan Kudus termasuk dalam kelompok Wali Songo, sebuah dewan ulama yang berperan besar dalam proses Islamisasi di Jawa pada masa itu.
Lahir dari keluarga yang memiliki hubungan darah dengan para tokoh agama terkemuka, Sunan Kudus adalah putra dari Syarif Sabil dan Nyai Ageng Manyuran. Nyai Ageng Manyuran adalah putri dari Sayyid Ali Murtadho, yang merupakan bagian dari garis keturunan keluarga Nabi Muhammad.
Asal Usul Sunan Kudus
Ja'far Shadiq, yang juga dikenal dengan nama Raden Undung, lahir pada 9 September 1400 Masehi. Sosok yang kemudian dikenal luas sebagai Sunan Kudus ini mendapatkan julukan tersebut karena ia memilih kota Kudus sebagai tempat dakwah utamanya.
ADVERTISEMENT
Di kota ini, Sunan Kudus menghabiskan banyak waktu untuk menyebarkan ajaran Islam hingga menjadi salah satu pusat perkembangan agama Islam di Jawa.
Sunan Kudus merupakan putra dari Raden Usman Haji, seorang tokoh yang juga berperan penting dalam penyebaran Islam di wilayah Jipang Panolan, Blora, Jawa Tengah.
Warisan keilmuan dan semangat dakwah dari ayahnya menginspirasi Sunan Kudus untuk melanjutkan misi penyebaran Islam di tanah Jawa.
Sebagai seorang ulama yang sangat terpelajar, Sunan Kudus dikenal dengan julukan wali al-ilmi, yang berarti "wali yang berilmu".
Gelar ini mencerminkan penguasaannya yang mendalam terhadap berbagai cabang ilmu agama, termasuk tafsir Al-Qur’an, fikih, usul fikih, tauhid, hadits, serta logika.
Kemampuan intelektualnya yang luar biasa membuatnya dihormati oleh banyak orang, baik di kalangan ulama maupun masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Salah satu aspek yang paling menonjol dari Sunan Kudus adalah sikap toleransi yang tinggi terhadap agama lain. Pada masa itu, banyak masyarakat di Jawa yang masih memeluk agama Hindu-Buddha.
Sunan Kudus memahami pentingnya pendekatan yang bijaksana dalam berdakwah, sehingga beliau berusaha mendekatkan ajaran-ajaran Islam dengan keyakinan Hindu-Buddha yang sudah dikenal masyarakat.
Salah satu contohnya adalah ketika beliau membangun Masjid Menara Kudus, yang hingga kini terkenal karena mengandung unsur-unsur arsitektur yang terinspirasi dari kebudayaan Hindu-Buddha.
Keberhasilan dakwah Sunan Kudus di Kudus membuatnya mendapatkan kepercayaan untuk memimpin daerah tersebut. Beliau tidak hanya berperan sebagai pemimpin agama, tetapi juga dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus.
Peran ganda ini menjadikan Sunan Kudus sebagai Bupati Kudus sekaligus pemimpin agama di wilayah tersebut. Di bawah kepemimpinannya, Kudus berkembang menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan yang penting di Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Sunan Kudus dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan mampu memimpin dengan adil, sehingga masyarakat Kudus hidup dalam keharmonisan yang mencerminkan nilai-nilai Islam yang diajarkannya. Karya-karya dan ajaran Sunan Kudus terus diwariskan dan dihormati oleh generasi-generasi berikutnya.
Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 di kota yang menjadi pusat dakwahnya, yaitu Kudus. Makamnya berada di dalam kompleks Masjid Menara Kudus, sebuah tempat yang hingga kini menjadi salah satu destinasi ziarah penting bagi umat Islam di Indonesia.
Warisan spiritual dan kultural yang ditinggalkan oleh Sunan Kudus tetap hidup dalam masyarakat, menjadikannya salah satu wali yang paling dihormati dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa.
ADVERTISEMENT
Cara Berdakwah Sunan Kudus
Dikutip dari laman idsejarah.net, dalam upayanya menyebarkan ajaran Islam di Kudus, Sunan Kudus menerapkan pendekatan yang unik dengan memanfaatkan simbol-simbol yang akrab bagi masyarakat setempat, khususnya unsur-unsur dari agama Hindu dan Buddha.
Ini terlihat jelas dalam arsitektur Masjid Kudus yang menampilkan ciri-ciri khas dari kedua agama tersebut, seperti menara, gerbang, dan pancuran (padasan) yang digunakan sebagai tempat berwudhu. Pancuran tersebut, misalnya, melambangkan delapan jalan Buddha.
Pendekatan ini merupakan bentuk kompromi yang dilakukan Sunan Kudus dalam proses Islamisasi di wilayah Kudus, dengan menghormati tradisi dan kepercayaan masyarakat Hindu dan Buddha yang sudah ada.
Salah satu kisah menarik yang menggambarkan pendekatan Sunan Kudus adalah ketika ia mengundang masyarakat sekitar untuk mendengarkan tabligh di masjidnya. Untuk menarik perhatian, Sunan Kudus menambatkan sapinya yang bernama Kebo Gumarang di halaman masjid.
ADVERTISEMENT
Sapi memiliki tempat khusus dalam agama Hindu, dan tindakan Sunan Kudus ini membuat orang-orang Hindu merasa tertarik dan bersimpati. Mereka pun mendekati masjid dan dengan penuh minat mendengarkan tabligh yang disampaikan oleh Sunan Kudus.
Pada kesempatan itu, Sunan Kudus menjelaskan tentang surat Al-Baqarah, yang berarti "sapi betina". Hal ini semakin mempererat hubungan antara ajaran Islam dengan kepercayaan lokal, sehingga masyarakat Hindu tidak merasa terancam, melainkan justru tertarik untuk mendalami ajaran Islam.
Hingga saat ini, masyarakat Kudus masih menjaga tradisi untuk tidak menyembelih sapi, sebagai bentuk penghormatan terhadap simbol yang telah diangkat oleh Sunan Kudus.
Selain itu, Sunan Kudus juga dikenal dengan cara dakwahnya yang kreatif melalui cerita-cerita tentang ketauhidan yang disampaikan dalam setiap tablighnya.
ADVERTISEMENT
Cerita-cerita tersebut disusun dalam bentuk seri yang saling berkaitan, sehingga menimbulkan rasa penasaran di kalangan masyarakat.
Setiap kali masyarakat datang untuk mendengarkan tabligh, mereka ingin mengetahui kelanjutan dari cerita yang telah disampaikan sebelumnya.
Metode ini mirip dengan pendekatan yang digunakan dalam cerita "1001 Malam" dari masa Kekhalifahan Abbasiyah, di mana cerita berkesinambungan digunakan untuk menarik perhatian dan minat pendengar.
Dengan cara ini, Sunan Kudus berhasil mengajak masyarakat secara perlahan-lahan untuk mempelajari dan memahami ajaran Islam, tanpa paksaan dan dengan pendekatan yang halus.
Melalui strategi yang cerdas dan penuh toleransi, Sunan Kudus berhasil menyebarkan ajaran Islam di wilayah yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu dan Buddha.
Pendekatan yang mengedepankan penghormatan terhadap keyakinan lokal inilah yang menjadi kunci keberhasilan dakwah Sunan Kudus, menjadikan Kudus sebagai salah satu pusat pengembangan Islam di Jawa pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Peninggalan arsitektur dan tradisi yang ditinggalkannya masih dapat dilihat hingga sekarang, menjadi saksi bisu dari kebijaksanaan dan kecerdikan Sunan Kudus dalam menyebarkan ajaran Islam.
Karya Sunan Kudus
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah masjid di desa Kerjasan, yang kini dikenal sebagai Masjid Agung Kudus. Masjid ini, yang terletak di alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah, telah bertahan hingga saat ini dan menjadi salah satu peninggalan bersejarah yang penting.
Selain masjid, Sunan Kudus juga meninggalkan warisan berupa permintaan khusus kepada masyarakat Kudus terkait perayaan Idul Adha.
Ia meminta agar masyarakat tidak memotong sapi sebagai hewan kurban, untuk menghormati para penganut agama Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Sebagai gantinya, Sunan Kudus menganjurkan agar kurban dilakukan dengan memotong kerbau.
ADVERTISEMENT
Pesan ini masih diikuti oleh banyak masyarakat Kudus hingga sekarang, menunjukkan toleransi dan penghargaan terhadap keragaman agama di wilayah tersebut.
Peninggalan Sunan Kudus
Dikutip dari laman idsejarah.net, salah satu warisan paling terkenal dari Sunan Kudus adalah Masjid Raya Kudus, yang juga dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus. Masjid ini menjadi simbol penting dalam sejarah dan budaya Kabupaten Kudus.
Menurut kisah yang berkembang, Sunan Kudus pernah melakukan perjalanan ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji sekaligus mendalami ilmu agama. Selama di sana, ia juga mengajar dan menjadi seorang guru agama yang dihormati.
Pada suatu waktu, terjadi wabah berbahaya yang menyebar di tanah Arab, mengancam banyak nyawa. Sunan Kudus, dengan kebijaksanaan dan pengetahuannya, berhasil menemukan cara untuk mengatasi wabah tersebut, sehingga banyak orang terselamatkan.
ADVERTISEMENT
Sebagai tanda terima kasih, amir setempat ingin memberikan hadiah besar kepada Sunan Kudus sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya.
Namun, Sunan Kudus yang dikenal dengan kerendahan hatinya, menolak hadiah tersebut dan hanya meminta sebuah batu sebagai kenang-kenangan.
Batu yang diminta oleh Sunan Kudus konon berasal dari Baitul Makdis, atau Yerusalem, yang merupakan salah satu kota suci bagi umat Islam. Setelah menerima batu tersebut, Sunan Kudus membawanya kembali ke tanah Jawa.
Setibanya di tempat asalnya, ia mendirikan sebuah masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Menara Kudus. Masjid ini tidak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga menjadi simbol penting dalam penyebaran agama Islam di wilayah tersebut.
Sebagai penghormatan dan untuk mengabadikan nama kota asalnya, Sunan Kudus memberikan nama "Kudus" kepada daerah tersebut, yang kini menjadi Kabupaten Kudus. Nama ini diambil sebagai penghormatan kepada kota suci Baitul Makdis, mengingat batu yang dibawanya berasal dari sana.
ADVERTISEMENT
Masjid Menara Kudus hingga kini masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu peninggalan bersejarah yang terus dikagumi, tidak hanya karena arsitekturnya yang unik, tetapi juga karena nilai sejarah dan spiritual yang melekat padanya.
Sikap Teladan Sunan Kudus
Sunan Kudus dikenal sebagai Guru Akbar dengan gelar Waliyyul Ilmi karena keilmuannya yang sangat tinggi. Banyak murid yang datang untuk menimba ilmu darinya.
Sebagai seorang ulama, Sayyid Ja'far Shadiq, atau Sunan Kudus, sangat peduli terhadap pendidikan dan santri yang dia ajar. Kepedulian ini sejalan dengan visi umum Wali Songo yang melihat pendidikan sebagai tugas dan panggilan agama.
Bagi generasi milenial, ilmu pengetahuan adalah kunci untuk menjadi individu yang bermartabat. Pendidikan formal hanyalah salah satu cara untuk memperoleh ilmu, namun yang terpenting adalah keilmuan itu sendiri sebagai bekal untuk bersaing dalam kehidupan yang semakin kompetitif.
ADVERTISEMENT
Selain memiliki ilmu yang mendalam, Sunan Kudus juga dikenal sebagai seorang saudagar yang ulet. Ia menanamkan semangat berdagang kepada masyarakat Kudus agar mereka bisa mandiri.
Hal ini dilakukan karena lahan pertanian di Kudus tidak luas dan wilayah ini tidak memiliki pantai yang dapat dimanfaatkan.
Akibatnya, usaha kecil dan menengah berkembang pesat di sekitar kompleks makam Sunan Kudus, dan hingga kini Kudus menjadi salah satu pusat industri dan perdagangan terbesar di Jawa Tengah.
Generasi milenial bisa belajar dari karakter Sunan Kudus dengan mendidik diri untuk menjadi mandiri, terutama melalui wirausaha. Apalagi, teknologi saat ini sangat mendukung pengembangan bisnis.
Sunan Kudus juga dikenal sebagai tokoh pluralis dan multikulturalis, yang terlihat dari pendekatan dakwahnya yang menggunakan pendekatan kultural.
ADVERTISEMENT
Ia menghormati dan mentoleransi nilai-nilai lama masyarakat, seperti yang tercermin dalam arsitektur Menara Kudus yang menggabungkan unsur Islam, Hindu, dan Tionghoa.
Contoh lainnya adalah larangan menyembelih sapi yang masih dipatuhi hingga kini, sebagai bentuk penghormatan terhadap masyarakat Hindu setempat.
Sunan Kudus juga dikenal sebagai patriot yang rela berjuang demi bangsanya. Ia pernah memimpin pasukan melawan Portugis di Malaka, menunjukkan disiplin dan keberanian yang tinggi.
Karakter patriotis ini patut dicontoh oleh pemuda Indonesia, terutama dalam menghadapi tantangan budaya asing dan ideologi transnasional yang dapat mengikis semangat nasionalisme.
Salah satu karya terbesar Sunan Kudus adalah arsitektur Menara Kudus, yang menjadi kebanggaan tidak hanya bagi umat Islam tetapi juga masyarakat umum. Menara ini merupakan bukti keahlian Sunan Kudus sebagai arsitek handal.
ADVERTISEMENT
Kelima karakter Sunan Kudus, keilmuan, kemandirian, pluralisme, patriotisme, dan keahlian seni, tidak harus dimiliki oleh setiap generasi milenial.
Namun, setidaknya salah satu dari karakter ini dapat menjadi keunggulan yang bermanfaat bagi banyak orang, sehingga generasi milenial dapat memajukan bangsa dan negara di masa depan. Itulah biografi Sunan Kudus, semoga membantu dan bermanfaat. (KIKI)