Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Biografi Tuanku Imam Bonjol dan Sejarah Perjuangannya
11 November 2024 12:21 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Profil Tokoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tuanku Imam Bonjol adalah pejuang dan seorang pemimpin yang berasal dari Sumatera Barat. Kehidupan Imam Bonjol mencerminkan keteladanan dan kesederhanaan. Untuk lebih mengenalnya, biografi Tuanku Imam Bonjol ini bisa dijadikan referensi.
ADVERTISEMENT
Namanya dikenal karena berjasa dalam berperang melawan Belanda pada perang Padri. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama yang memimpin perjuangan rakyat Indonesia melawan Belanda dalam Perang Padri yang berlangsung dari tahun 1803 hingga 1838.
Biografi Tuanku Imam Bonjol dan perjuangannya merupakan bagian menarik dari sejarah yang patut diperhatikan.
Dikutip dari buku Top Modul RPUL karya Taufik Hidayat (2019: 181), Tuanku Imam Bonjol, yang lahir dengan nama asli Muhammad Shahab di Bonjol, Sumatera Barat pada tahun 1772, adalah seorang ulama terkemuka berdarah Minangkabau dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun.
ADVERTISEMENT
Sepanjang hidupnya, ia dikenal dengan beberapa julukan, di antaranya Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Nama "Bonjol" yang melekat padanya diambil dari benteng di Bukit Tajadi, yang ia dirikan dan diberi nama Bonjol.
Sebagai pemimpin rakyat Indonesia, Tuanku Imam Bonjol memimpin perlawanan terhadap Belanda dalam Perang Padri. Setelah bertahun-tahun berjuang, benteng Bonjol akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada 16 Agustus 1837.
Pada 25 Oktober 1837, ia ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, lalu dipindahkan ke Ambon, dan akhirnya ke Minahasa, tempat ia meninggal dunia pada 8 November 1864.
Latar Belakang Kehidupan Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol, lahir dengan nama asli Muhammad Syahab pada 1 Januari 1772 di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung. Ayahnya, Khatib Bayanuddin, adalah seorang ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.
ADVERTISEMENT
Ibunya, Hamatun, serta pamannya, Syekh Usman, merupakan keturunan Arab yang merantau ke Alai Ganggo Mudik dan diterima dalam adat Minangkabau, dengan Syekh Usman kemudian menjadi penghulu klan Koto.
Sebagai seorang ulama dan pemimpin masyarakat, Muhammad Syahab menerima sejumlah gelar kehormatan, seperti Peto Syarif, Malin Basa, dan akhirnya Tuanku Imam.
Gelar "Tuanku" dalam tradisi Minangkabau adalah tanda kehormatan yang diberikan kepada ulama yang memiliki pemahaman mendalam tentang agama Islam.
Latar Belakang Pendidikan
Pengaruh keagamaan dari ayahnya sangat kuat pada diri Tuanku Imam Bonjol. Sejak kecil, Muhammad Syahab dibimbing untuk menjalankan salat lima waktu dan mempelajari ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw.
Namun, saat Syahab berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Setelah itu, pendidikan Syahab dilanjutkan oleh neneknya, Tuanku Bandaharo, di Kampung Padang Lawas, Kenagarian Ganggo Hilir.
ADVERTISEMENT
Bersama Tuanku Bandaharo, Syahab kemudian menimba ilmu agama kepada Tuanku Koto Tuo, seorang ulama terkenal di Empat Angkat Candung.
Di sana, ia mempelajari fikih Al-Quran dan hadis Nabi. Berkat kecerdasannya, Syahab mampu menguasai pelajaran dengan cepat, dan setelah lulus, ia dipercaya untuk mengajar, sehingga memperoleh gelar Malin Basa.
Dengan keinginan yang besar untuk mendalami agama, Malin Basa melanjutkan studinya ke Aceh, meskipun perjalanannya penuh tantangan. Selama dua tahun di Aceh, ia memperdalam ajaran Islam.
Sepulang dari Aceh, Malin Basa melanjutkan pendidikannya di Kamang dengan Tuanku Nan Renceh, yang mengajarkan bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu perang karena situasi di Minangkabau kala itu.
Ia belajar strategi berperang, teknik memimpin pasukan, hingga keterampilan menunggangi kuda dalam medan pertempuran.
ADVERTISEMENT
Peran Tuanku Imam Bonjol
Berikut adalah peran Tuanku Imam Bonjol:
1. Sebagai Guru
Tuanku Imam Bonjol mendidik dan mengajar di surau, masjid, serta pesantren yang ia bangun di setiap kampung, sambil memimpin para jemaahnya.
Setelah pengajaran berjalan dengan baik, ia menyerahkan pengelolaannya kepada murid-murid yang paling ia percaya. Semua itu dilakukannya dengan penuh keikhlasan.
2. Sebagai Tokoh Panutan
Sebagai tokoh yang dihormati, Tuanku Imam Bonjol dekat dengan masyarakatnya dan sangat peduli terhadap kesejahteraan mereka, baik jasmani maupun rohani.
Jika melihat ada anggota masyarakat yang kesulitan, ia akan membantu dan menganjurkan mereka untuk mencari mata pencaharian yang lebih baik.
3. Sebagai Pejuang
Sebagai seorang putra bangsa yang hidup di masa penjajahan Belanda, Tuanku Imam Bonjol bertekad melawan penjajahan melalui media agama dengan mendirikan Tarekat Naqsyabandiyah.
ADVERTISEMENT
Melalui tarekat ini, ia mengajarkan murid-muridnya mengenai pelajaran yang terkait dengan perlawanan terhadap penjajahan.
Perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam Perang Padri
Imam Bonjol adalah pahlawan nasional yang memimpin Perang Padri di Minangkabau pada abad ke-19, yang berawal dari gerakan pembaruan Islam oleh Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang.
Gerakan ini didukung oleh ulama seperti Tuanku Nan Renceh dan Harimau Nan Salapan, yang menginginkan perubahan adat agar sesuai dengan ajaran Islam.
Ketidaksepakatan dengan Kaum Adat yang masih menjalankan kebiasaan lama memicu konflik, dan pada 1815, Kaum Padri menyerang Kerajaan Pagaruyung, memaksa Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri.
Kaum Adat kemudian meminta bantuan Belanda pada 1821, yang membawa Belanda terlibat dalam perang. Belanda membangun benteng Fort Van der Capellen di Batusangkar dan Fort de Kock di Bukittinggi sebagai pertahanan, meski mengalami perlawanan sengit dari Kaum Padri.
ADVERTISEMENT
Setelah kesulitan menaklukkan Padri, Belanda mengajukan Perjanjian Masang pada 1825 untuk menghentikan perang sementara.
Imam Bonjol memanfaatkan gencatan senjata ini untuk memulihkan kekuatan dan merangkul Kaum Adat, melahirkan kompromi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah," yang mengharmonikan adat dengan Islam.
Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir, Belanda kembali menyerang karena tertarik menguasai perdagangan kopi di Minangkabau. Perlawanan Kaum Padri semakin kuat hingga Belanda mengerahkan pasukan besar, termasuk infanteri, kavaleri, dan artileri.
Akhirnya, pada Agustus 1837, Benteng Bonjol jatuh, meskipun Imam Bonjol sempat melarikan diri. Dalam keadaan lemah, Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837 dengan syarat bahwa anaknya, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.
Wafatnya Tuanku Imam Bonjol
Setelah bertahun-tahun berjuang melawan Belanda dalam Perang Padri, Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah pada tanggal 25 Oktober 1837. Pasukannya kewalahan menghadapi kekuatan militer Belanda yang lebih besar dan persenjataan yang lebih canggih.
ADVERTISEMENT
Setelah penangkapan, Imam Bonjol diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mencegah pengaruhnya di Sumatera Barat.
Pengasingan pertama Imam Bonjol dilakukan di Cianjur, Jawa Barat. Namun, tak lama setelah itu, ia dipindahkan ke Ambon pada tahun 1839, dan dua tahun kemudian ke Lotta, Minahasa, dekat Manado.
Di Lotta, Imam Bonjol menjalani sisa hidupnya dalam pengasingan. Pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol wafat dan dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Itulah biografi Tuanku Imam Bonjol dan sejarah perjuangannya. Ia merupakan pahlawan yang sangat berjasa dalam melawan Belanda hingga akhir hayatnya. (Umi)