Konten dari Pengguna

Koding Masuk Kurikulum: Terobosan Masa Depan atau Sekadar Gaya-Gayaan?

Rahma Amalia
Mahasiswi Program Studi Pendidikan Ekonomi, Universitas Pamulang
9 Juni 2025 11:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahma Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar pembelajaran berbasis teknologi: [Rahma Amalia]
zoom-in-whitePerbesar
Gambar pembelajaran berbasis teknologi: [Rahma Amalia]
ADVERTISEMENT
Rencana memasukkan koding ke kurikulum dasar memicu debat publik. Siapkah sekolah kita, atau ini hanya mimpi digital kaum elit?
ADVERTISEMENT
"Anak zaman sekarang mah udah bisa bikin game sendiri, bro. Lo waktu SD bisa apa? Main layangan?"
Kalimat ini sempat viral di media sosial setelah unggahan tentang bocah SD yang berhasil bikin aplikasi sederhana di sekolahnya. Komentar pun berhamburan—dari yang memuji setinggi langit sampai yang sinis: "Jangan-jangan cuma show off doang tuh sekolahnya."
Yap, ini bukan sinetron. Ini realita pendidikan kita hari ini. Ketika pemerintah mulai menggembar-gemborkan bahwa koding alias pemrograman komputer akan menjadi bagian dari kurikulum resmi, reaksi masyarakat pun terbelah. Sebagian menyambutnya sebagai revolusi pendidikan. Sebagian lagi geleng-geleng: “Emangnya semua sekolah udah siap?”
Indonesia Masih Pusing Sama Listrik, Eh Disuruh Ngoding?
Mari kita jujur. Wacana memasukkan koding ke kurikulum memang terdengar keren. Anak-anak diajari bahasa masa depan, biar siap menghadapi dunia yang makin digital. Tapi di sisi lain, ada realita yang nggak bisa kita tutup-tutupi.
ADVERTISEMENT
Menurut data Kemendikbudristek, lebih dari 9.000 sekolah di Indonesia masih belum punya akses internet yang stabil. Bahkan di beberapa wilayah, akses listrik pun masih terbatas.
Pertanyaannya: apakah ini benar-benar program untuk semua anak Indonesia? Atau cuma bisa dinikmati sekolah-sekolah elite di kota besar yang fasilitasnya udah top-tier?
Kalau jawabannya hanya untuk sebagian kecil siswa, maka ini bukan reformasi pendidikan. Ini sekadar branding.
Koding Itu Keren, Tapi Bukan Solusi Sakti
Jangan salah. Koding memang penting. Di era AI dan otomasi, kemampuan berpikir komputasional itu game changer. Tapi menjadikannya sebagai penanda “kemajuan pendidikan” juga bisa jadi jebakan.
Karena faktanya: mengajarkan koding ke anak SD tanpa fondasi literasi dan numerasi yang kuat, ibarat ngajarin anak naik motor padahal belum bisa jalan. Malah bisa celaka.
ADVERTISEMENT
Apalagi kalau cuma diajarkan sebagai ‘hafalan sintaks’ tanpa logika dan konteks. Bisa-bisa murid malah makin bingung: ini pelajaran teknologi, atau mantra Harry Potter?
Viralnya Anak SD Bikin Game: Hebat, Tapi Jangan Tersihir
Konten tentang siswa bikin game atau aplikasi memang memukau. Tapi kita harus bisa bedakan antara showcase dan kenyataan. Di balik satu anak yang bisa bikin aplikasi, berapa banyak yang bahkan belum tahu cara ngetik cepat di keyboard?
Pendidikan bukan soal viral. Ia soal dampak. Bukan soal satu dua sekolah yang keren, tapi tentang sejuta anak yang seharusnya punya akses dan kesempatan yang sama.
Kurikulum atau Pajangan Pamer?
Ada satu kekhawatiran yang makin sering terdengar dari para pendidik dan pengamat: jangan-jangan ini bukan soal kebutuhan murid, tapi soal pencitraan. Biar kelihatan modern, biar bisa dipamerkan di presentasi seminar, atau dijadikan highlight dalam laporan tahunan.
ADVERTISEMENT
Model semacam ini sering disebut sebagai showcase education—ketika yang ditonjolkan bukan dampaknya secara luas, tapi hasil dari satu-dua sekolah unggulan yang sudah lebih dulu siap. Padahal, pendidikan yang berpihak pada semua seharusnya tidak menjadikan sebagian kecil sekolah elite sebagai standar nasional.
Akibatnya? Ada jurang ekspektasi yang makin lebar antara yang “bisa ngoding” dengan yang masih butuh buku tulis layak. Anak-anak pun berisiko menjadi korban kurikulum yang lebih sibuk pamer capaian ketimbang menyelesaikan tantangan nyata.
Jadi, Haruskah Koding Masuk Kurikulum?
Jawabannya bisa “ya”—kalau...
• Sekolah punya fasilitas digital yang merata
• Guru-guru dibekali pelatihan yang memadai
• Kurikulum disusun secara bertahap dan kontekstual
• Anak tidak dibebani, tapi diarahkan
Kalau tidak? Maka ini cuma akan jadi proyek “gaya-gayaan” yang bikin kita lupa: tujuan pendidikan bukan sekadar mengejar teknologi, tapi menyiapkan manusia yang mampu berpikir, merasa, dan bertindak dengan bijak.
ADVERTISEMENT
Jangan Asal Tambah Pelajaran, Tambah Arah Dulu
Koding bisa jadi jembatan menuju masa depan. Tapi jembatan itu harus kuat, merata, dan punya arah yang jelas. Jangan cuma karena pengen terlihat modern, kita lupa bahwa pendidikan itu bukan soal tren—tapi soal transformasi.
Karena yang dibutuhkan anak-anak kita bukan sekadar kurikulum yang canggih, tapi juga kehadiran sistem yang adil dan relevan.
Rahma Amalia, Mahasiswi Pendidikan Ekonomi,
Universitas Pamulang.