Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bintang Terang Benyamin: Gambang Kromong dan Ida Royani
10 Maret 2017 9:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Jika saja Sukarno tidak pernah melarang lagu-lagu barat pengiring dansa yang disebutnya “ngak ngik ngok”, mungkin Benyamin Sueb tidak pernah mengajak kelompok gambang kromong Naga Mustika untuk mengiringinya.
ADVERTISEMENT
Jika saja Ida Royani tidak lahir pada 24 Maret 1953 dan tak terjun ke industri hiburan, apakah Benyamin akan menemukan pasangan duet lain yang bisa menyamai kecocokannya dengan Ida?
Pepatah bilang, tak ada yang kebetulan di dunia ini. Di balik pola acak semesta, sesungguhnya benang merah melintang.
Mungkin itu pula yang terjadi pada hidup Benyamin --dan kita semua.
“Benyamin melakukan inovasi yang luar biasa pada gambang kromong bersama Ida Royani. Dengan demikian elemennya menjadi sesuatu yang baru di industri musik kita,” kata Bens Leo, pengamat musik Indonesia, kepada kumparan.com, Kamis (2 /3).
Duet Benyamin bersama Ida Royani dengan iringan musik gambang kromong menjadi racikan yang begitu menggoda dan disukai banyak orang, mungkin hingga kini.
ADVERTISEMENT
Benyamin, seperti ditulis dalam buku Muka Kampung Rezeki Kota karya Ludhy Cahyana pernah mengatakan, "Kalau tidak ada larangan Bung Karno, saya barangkali tidak akan pernah menjadi penyanyi lagu-lagu Betawi.”
Pada tahun 1960-an, Sukarno memang sangat menentang lagu-lagu barat yang disebutnya “ngak ngik ngok” bila dinyanyikan. Presiden Republik Indonesia pertama itu ingin bangsa yang baru merdeka ini menyanyikan sendiri lagu-lagunya, lagu daerah ataupun lagu nasional.
Hal itu pula yang mendorong Benyamin untuk menciptakan dan menyanyikan lagu Betawi dengan gambang kromong. Setelah lagu Si Jampang, Benyamin makin aktif berkarya. Namun dia tidak mau terus-menerus bersolo karier.
“Benyamin ini sudah sangat banyak bekerja sama dengan perempuan penyanyi, tapi baru saat dia bertemu Ida Royani, dia sukses. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu?” ujar Bens Leo.
ADVERTISEMENT
Pertemuan Benyamin dan Ida Royani sebetulnya telah terjadi sejak 1965 di Studi Remaco. Ida saat itu masih penyanyi cilik berusia 12 tahun, sementara Benyamin diperkenalkan padanya sebagai pencipta lagu.
Kesan pertama Ida terhadap Benyamin tidak begitu baik.
“Pertama kali saya ketemu, orangnya jelek, dekil, lusuh, serem, terus pake sendal jepit. Gue terus terang sebel banget saat itu,” ujar Ida seperti ditulis dalam buku Kompor Mleduk Benyamin Sueb.
Ida yang dikenal sangat modis dan sering menjadi trendsetter bagi anak muda tidak suka melihat penampilan Benyamin. Namun akhirnya Ida menyanyikan lagu anak ciptaan Benyamin. Lagu itu berjudul Pertapa Lata.
Lima tahun kemudian, Benyamin memberanikan diri datang ke rumah Ida Royani, mengajaknya berduet. Sebelumnya, Benyamin sudah pernah berduet dengan Rita Zahara dan Rossy. Namun hasil duetnya itu tidak begitu laris.
Keputusan Ida setuju berduet dengan Benyamin semula diejek oleh teman-temannya. Namun, album duet pertama mereka berjudul Tukang Kridit terbukti laris manis di pasaran.
ADVERTISEMENT
Gaya Ida Royani di panggung pun sedikit berubah. Dalam beberapa kesempatan, Ida mengenakan kostum kebaya Betawi dan kain.
“Ben, lu mesti tau, gue nyanyi ama lu ini neken perasaan. Sering dibilang “kampung” ama orang. Lu mesti bersyukur!” ujar Ida suatu saat.
Benyamin hanya menjawab santai. “Biarin Da, gue dikatain muka kampungan, tapi rezeki kita, rezeki kotaan.”
Berduet dengan Ida Royani diiringi musik gambang kromong ternyata disukai masyarakat.
Sesungguhnya, menyanyi dengan iringan gambang kromong pernah dicoba oleh penyanyi lain, seperti Suhairi dengan lagu Si Kodok, Lilies Suryani dengan lagu Sayur Asem, dan Vivi Sumantri yang dikenal sebagai penyanyi pop.
Namun jelas, tidak ada yang sepopuler Benyamin dan Ida Royani saat itu.
ADVERTISEMENT
Konsep gambang kromong Benyamin dan Ida Royani dibantu dimatangkan oleh Djoko Subagyo. Djoko bukan hanya mematangkan konsep gambang kromong kombinasi, tapi juga menciptakan lagu untuk Benyamin. Salah satunya yang populer berjudul Ondel-ondel.
Djoko melakukan itu semua karena merasa budaya Betawi makin terdesak ke pinggiran kota, dan tergencet di tengah hiruk-pikuk Jakarta.
“Ini perlu diabadikan sehingga tidak dilupakan begitu saja,” ujarnya dalam satu wawancara.
Pemilihan gambang kromong sendiri bukan tanpa risiko. Musik gambang kromong saat itu terlanjur dikategorikan musik rendahan, disebut “kelas mentimun bukan kelas duren”.
Namun Benyamin merasa yakin dengan semangat untuk mempopulerkan budaya Betawi.
“Bagaimana Benyamin memadukan etnik Betawi --yang sebetulnya gambang kromong ini ada pengaruhnya dengan China-- dengan musik diatonik yang digeluti Benyamin, artinya musik barat. Itu sesuatu yang baru saat itu,” ujar Bens yang kala itu masih menjadi jurnalis musik.
ADVERTISEMENT
Benyamin memang tidak sekadar meminta grup musik gambang kromong Naga Mustika untuk mengiringinya. Dia juga mengkombinasikannya dengan unsur pop dan rock saat itu.
Duet dengan Ida Royani dan unsur gambang kromong menjadi gerbang kesuksesan bagi seorang Benyamin.
“Kalau sama Ida itu lucu kalau di atas panggung. Bayangin saja, yang satu kan manis, satunya deket-deket terus sama Ida. Kadang-kadang Ida-nya geli,” kenang Bens Leo akan penampilan Benyamin dan Ida Royani.
Duet Benyamin dan Ida Royani bahkan merambah dunia film. Tercatat beberapa judul film mereka bintangi berdua, seperti Benyamin Biang Kerok, Tarsan Kota, Buaye Gile, dan Ratu Amplop.
Hal itu menunjukkan betapa disukainya pasangan duet ini oleh masyarakat.
“Saya kira yang paling pokok dalam hal ini adalah bagaimana mereka, sesama asal Betawi, memiliki satu kekuatan yang seimbang. Ida Royani kalau nggak genit, gak bisa dibawa ke kelenturan Benyamin untuk melakukan spontanitas,” ujar Bens Leo.
ADVERTISEMENT
Garis nasib pastilah bukan kebetulan semata mempertemukan mereka.
Buka lembar kenangan bersama Benyamin Sueb di sini