Chairil Anwar: Totalitas dan Konsistensi dalam Berkarya

28 April 2017 7:10 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Lukisan sosok Chairil Anwar. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan sosok Chairil Anwar. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Bukan maksudku mau berbagi nasib, Nasib adalah kesunyian masing-masing.
ADVERTISEMENT
Puisi Chairil Anwar hingga kini masih diingat banyak orang. Membicarakan kesusastraan Indonesia, puisi modern khususnya, tak akan lepas dari nama penyair kelahiran Medan, 95 tahun lalu itu.
Puluhan tahun setelah Chairil Anwar dimakamkan di Karet, Jakarta, kutipan-kutipan puisinya justru makin hidup. Kata-katanya yang lugas menjelma jadi semacam pepatah atau kata-kata mutiara.
Dalam puisi Aku yang kita kenal sejak masa sekolah, kalimat “Aku ini binatang jalang” atau “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” sudah tak lagi sekadar milik Chairil. Kalimat itu kini seakan milik semua orang.
Potongan puisinya yang lain dihidupkan seperti dalam mural di daerah Yogyakarta yang bertuliskan “Mampus kau dikoyak sepi.” Kita juga pasti tak asing mendengar kalimat “Hidup hanya menunda kekalahan” atau “Sekali berarti sesudah itu mati.”
ADVERTISEMENT
Potongan-potongan karya Chairil Anwar itu kini bak milik semua orang, kepunyaan sejuta umat, baik mereka yang benar-benar mengenal karyanya atau tidak.
[Baca: ]
“Chairil bisa membuat bahasa yang tadinya lemah, dekoratif, tiba-tiba jadi bertenaga, tiba-tiba menjadi bahasa yang ekspresif. Itu mungkin dilakukan oleh Chairil karena puisi,” ujar Hasan Aspahani, penyair sekaligus penulis buku Chairil: Sebuah Biografi pada kumparan (kumparan.com), Minggu (23/4).
Puisi Chairil Anwar seperti pemberontakan terhadap rima, metrum, dan perhitungan jumlah suku kata yang begitu apik pada masanya. Chairil bisa hadir dengan satu kata, atau memilih pilihan kata yang justru tak biasa.
Gebrakan yang dia coba lakukan itu menjadi dasar, landasan-landasan puisi modern Indonesia. Bahkan Sapardi Djoko Damono menuliskan dalam penutup buku Aku Ini Binatang Jalang yang merupakan kumpulan semua puisi Chairil Anwar, puisi Chairil seperti datang dari masa depan.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: ]
Kupilih kau dari yang banyak, tapi Sebentar lagi kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Upaya mendobrak pola-pola lama tak dilakukan Chairil secara tiba-tiba. Chairil yang mulai dikenal sebagai penyair ketika berusia 21 tahun mempelajari pembaharuan yang sudah mulai dilakukan oleh Amir Hamzah.
Ada kesadaran kontinuitas dalam diri Chairil untuk melanjutkan upaya pembaruan bahasa yang sudah dilakukan penyair terdahulunya, seperti Amir Hamzah.
“Tapi juga tidak berhenti pada Amir Hamzah. Kemudian dia melakukan hal-hal baru pada gaya ucap dan lain-lain. Mencari sumber-sumber baru pengucapan, dan kemudian itu diwariskan, terwariskan,” papar Hasan.
ADVERTISEMENT
Pencarian sumber-sumber pengucapan, pilihan-pilihan kata baru, menuntut waktu yang cukup lama. Jika tak ia temukan, maka kata itu ia ciptakan sendiri. Hal itu sah saja bagi seorang penyair.
“Dia (Chairil) itu menulis bisa berminggu-minggu, katanya. Hanya memilih satu-dua kata aja mikirnya lama sekali,” ujar Adimas Immanuel menuturkan kekagumannya tentang Chairil pada kumparan, Rabu (26/4).
Pernyataan tersebut senada dengan cerita Hasan yang mengatakan, “Banyak kata-kata yang rasanya hanya muncul di sajak Chairil yang pada saat itu belum ada. Sekarang mungkin lazim buat kita. Tapi pada saat itu, Chairil menemukannya bisa berbulan-bulan. Merenung mencari kata.”
[Baca juga: ]
Aku pernah ingin benar padamu, Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
ADVERTISEMENT
Kontemplasi yang dilakukan oleh Chairil, pemilihan kata yang dengan amat sangat cermat dilakukannya menunjukkan pergumulannya dengan bahasa.
“Mengorek bahasa sampai menemukan inti kekuatan bahasa itu. Itu Chairil, dia bisa,” kata Hasan.
Hasil dari perenungan Chairil yang lama, bisa dibilang tak sia-sia. Terbukti, karyanya hingga kini masih terasa relevan.
“Sajaknya (Chairil) toh sampai sekarang juga masih relevan. Sajak Diponegoro itu, ‘Pedang di kanan keris di kiri, berselempang semangat yang tak bisa mati’ itu kan bisa menyemangati siapa saja dan kapan saja, dalam konteks perjuangan untuk Indonesia,” ujar Hasan.
Selain relevan, puisi-puisi Chairil Anwar juga senantiasa menghadirkan interpretasi baru.
“Tafsir atas (puisi) Chairil Anwar yang berjudul Aku, bisa tentang perjuangan, nanti tiba-tiba bisa jadi religius, pemahaman tentang kehadiran diri, eksistensi diri,” jelas Adew Habtsa, musisi asal Bandung, ketika mencoba mengaransemen musik untuk puisi tersebut.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: ]
Tenaga yang ada dalam puisi-puisi Chairil Anwar pun masih bisa terasa hingga kini.
“Saya pernah menangis sambil naik motor saat melintas di Jembatan Kewek, Yogyakarta, setelah melihat gambar wajah Chairil berhias lirik ‘Mampus kau dikoyak-koyak sepi.’ Lirik-lirik semacam itu tentunya tidak akan lahir dari penyair yang kurang signifikan,” cerita Beni Satryo, penulis buku pwissie Pendidikan Jasmani dan Kesunyian.
Kepeloporan Chairil, gebrakan yang dilakukannya, sulit untuk dibantah. Hal itu bisa ia lakukan karena totalitasnya dalam menggeluti puisi dan menghidupkan bahasa.
Chairil tahu benar apa yang akan dia lakukan dalam hidupnya --hidupnya yang singkat, 26 tahun.
“Dari surat dia kepada Jassin, sahabatnya, dia mula-mula mengkritik orang pada masa itu yang setengah-setengah, medioker. ‘Saya tidak, sejak umur 15 tahun saya sudah tahu saya akan bergerak di lapangan kesenian, terutama puisi dan sastra,’” cerita Hasan.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: ]
Chairil Anwar, sastrawan Indonesia. (Foto: M. Faisal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Chairil Anwar, sastrawan Indonesia. (Foto: M. Faisal/kumparan)
Kita berpeluk ciuman tidak jemu, Rasa tak sanggup kau kulepaskan. Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Totalitas dan konsistensi itu benar-benar ditunjukkan oleh Chairil Anwar dengan mengorbankan hidupnya untuk puisi.
Ketika seluruh pelajar Medan dipulangkan dari Batavia, Chairil memilih tetap di Batavia, melepaskan segala janji kenyamanan hidup yang bisa diperolehnya jika ia pulang.
“Dia bertahan di Batavia itu, menurut saya bagian dari totalitas. Keputusan itu (seolah berkata), ‘Saya harus menjadi saksi di Batavia dengan menuliskan puisi dan saya harus menyerap semua dinamika bangsa ini di pusat pergolakannya,’” ujar Hasan.
Nilai-nilai itu, totalitas dan konsistensi, menurut Hasan menjadi salah satu hal yang tetap relevan dan dibutuhkan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Di luar segala kekurangan Chairil dalam hidupnya, posisinya tak terbantahkan sebagai pelopor puisi modern Indonesia.
Semangat Chairil, roh dalam puisinya, secara langsung atau tidak langsung memengaruhi para penyair setelahnya.
“Hampir semua penyair yang datang kemudian, bilang bahwa mereka membangun dan memulai persajakannya dengan sajak Chairil Anwar. Mereka percaya pada sajak Bahasa Indonesia setelah membaca sajak Chairil Anwar.”
Chairil, mungkin tak mampu mencapai usia 27 tahun. Tapi seratus bahkan seribu tahun lagi, dia barangkali akan tetap hidup. Dalam ingatan kita.
Aku memang tidak bisa lama bersama Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!