Puisi-Puisi Chairil Anwar dalam Alunan Musik

28 April 2017 8:24 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Chairil Anwar (Foto: Muhammad Faisal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Chairil Anwar (Foto: Muhammad Faisal/kumparan)
Pada 28 April 1949, menjelang usia 27 tahun, Chairil Anwar berpulang. Karya-karyanya tak lekang hingga kini meski makamnya di Karet Bivak, Jakarta Pusat, tak banyak disambangi orang. Sampai sekarang, suara “Si Bintang Jalang” masih nyaring terdengar dari dalam kubur, meski ia telah meninggal 67 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Setelah mati, Chairil menjadi ikon. Ia ditabalkan oleh H.B. Jassin sebagai tokoh sentral Angkatan 45. Sosoknya selalu dikaitkan dengan puisi, sastra, dan seni Indonesia. Patungnya dibuat di kota Malang. Kisah hidupnya sempat ingin difilmkan oleh Sjumandjaja dan kemudian naskah skenario film itu dicetak menjadi sebuah buku terkenal berjudul Aku.
Mungkin keinginan Chairil untuk hidup seribu tahun lagi, seperti ia teriakkan dalam puisi berjudul Aku, akan terpenuhi. Meski raga lelaki keturunan Minang itu sudah tiada, roh dan karya-karyanya memiliki kemungkinan bertahan hingga seribu tahun lagi, atau bahkan lebih.
[Baca ]
Tak hanya karya-karyanya, wajah Chairil pun banyak tercetak pada kaus-kaus. Ada pula mural di Yogya yang menampilkan gambar wajah dan petikan bait milik pelopor puisi modern itu: Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
ADVERTISEMENT
[Baca: ]
Tak hanya kerap mucul di pelajaran Bahasa Indonesia anak-anak tanah air, dibaca ulang oleh para pembaca dan dideklamasikan berkali-kali di atas pangguang, sebagian puisi Chairil pun telah dimusikalisasikan dan didengarkan oleh banyak orang.
[Baca: ]
Memperingati Haul Chairil Anwar yang jatuh tepat hari ini, kumparan menyajikan berbagai macam penampilan musikalisasi dari puisi-puisi sang penyair yang dibawakan oleh sejumlah musisi di Indonesia, mulai dari Banda Neira hingga Adew Habtsa.
1. Derai Derai Cemara
Rara Sekar dan Ananda Badudu (Foto: dibandaneira/Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Rara Sekar dan Ananda Badudu (Foto: dibandaneira/Facebook)
Puisi liris Derai Derai Cemara karya Chairi Anwar pernah dimusikalisasi oleh grup band indie Banda Neira menjadi lagu yang begitu syahdu. Kepada kumparan (kumparan.com), Ananda Badudu menceritakan proses pembuatan lagu tersebut.
ADVERTISEMENT
“Pada saat itu, saya lagi baca-baca buku puisi Chairil Anwar. Pas bacanya sambil gitaran. Terus lagi baca itu dapat melodinya. Kok dirasa pas ya antara melodi dengan isi puisinya,” kata Nanda, sapaan akrab Ananda Badudu, Rabu (26/3).
Setelah menciptakan melodi untuk puisi tersebut, Nanda kemudian menyampaikan hasil karya melodinya itu kepada Rara Sekar untuk dibawakan mereka bersama dalam grup band mereka yang lalu, Banda Neira.
Banda Neira adalah duo musisi Ananda Badudu dan Rara Sekar (Foto: Instagram @bandaneira_official)
zoom-in-whitePerbesar
Banda Neira adalah duo musisi Ananda Badudu dan Rara Sekar (Foto: Instagram @bandaneira_official)
Nanda mengatakan, Derai Derai Cemara adalah puisi terakhir Chairil semasa hidupnya. “Dari baris-baris kata-kata puisi itu seperti terpancar rasa keputusasaan dan kesia-siaan. Terpancar rasa pesimistis.”
Awalnya saat pertama kali membaca puisi Derai Derai Cemara, Nanda belum tahu puisi itu dibuat Chairil kapan dan dalam konteks apa. Tapi setelah ia membaca dan mencari tahu tentang puisi itu lagi, ternyata puisi itu adalah puisi terakhir Chairil.
Nanda 'Banda Neira'  (Foto: Ananda Wardhiati Teresia/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nanda 'Banda Neira' (Foto: Ananda Wardhiati Teresia/kumparan)
Mulanya lagu Derai Derai Cemara hanya diiringi oleh gitar, tapi kemudian Banda Neira mengadakan Konser Kolaborasi bertajuk “Suara Awan: Sebuah Pertemanan” pada April 2014 bersama Gardika Gigih, Layur, dan tiga string chamber alias trio dawai. Dari konser kolaborasi itulah lagu Derai Derai Cemar mendapat aransemen tambahan.
ADVERTISEMENT
“Jadi yang tadinya cuma gitar doang, karena dimainkan di konser kolaborasi, jadi dibikinlah aransemen yang ada piano dan ada string-nya,” terang Nanda.
Grup band yang berdiri Februari 2012 dan memutuskan bubar pada Desember 2016 itu sempat menggunggah video klip Derai Derai Cemara dengan aransemen tambahan piano milik Gardika Gigih, cello Jeremia Kimosabe, violin Suta Suma, dan viola Dwi Ari Ramlan pada Maret 2016. Sampai saat ini lagu tersebut telah didengarkan lebih dari 700.000 kali di YouTube.
Nanda memiliki pandangan khusus terhadap sosok dan karya-karya Chairil.
“Apa yang dia (Chairil) tulis itu nggak palsu. Apa yang dia tulis itu pancaran hidupnya. Jadi bukan sesuatu yang artifisial,” ujar Nanda.
“Maksudnya, kan ada aja misalnya penulis lagu bikin lirik tentang cinta-cinta remaja padahal dia udah kawin dan punya tiga anak. Itu kan artifisial,” ujar Nanda, berseloroh.
ADVERTISEMENT
Menjadi seperti Chairil itu sulit, kata Nanda. Menurutnya, Chairil mampu berkarya menulis sesuai hidupnya, bukan menulis sesuatu yang dibuat-buat. Chairil mampu menemukan gaya estetika yang khas, menjadi pionir bentuk baru puisi, dan benar-benar tulus dalam berkarya.
Menurut Nanda, Chairil adalah panutan.
“Dia mengajarkan untuk bikin karya yang bagus dan ‘dalam’. Kita harus senantiasa hidup mendobrak batas dan nekat. Chairil kan orang yang nekat banget,” kata Nanda.
Cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah
ADVERTISEMENT
2. Buat Gadis Rasid
Deugalih & Folks. (Foto: Dok. Galih Nugraha)
zoom-in-whitePerbesar
Deugalih & Folks. (Foto: Dok. Galih Nugraha)
Selain Banda Neira, grup band indie lainnya, yakni Deugalih & Folks, juga pernah memusikalisasikan puisi Chairil Anwar. Galih Nugraha, vokalis Deugalih & Folks, mengatakan proses pembuatan lagu dari puisi Chairil Anwar tersebut cukup panjang.
“Membuat lagunya cukup makan waktu. Pertama, itu terdiri 4 chord --yang dibawakan pertama pada tahun 2005, belum bernada seperti sekarang. Berubah lagi menjadi 1 chord pada akhir tahun 2005. Tahun 2006, diaransemen ulang menjadi 2 chord, langsung direkam, belum ada penempatan emosi, hanya hafalan nada tujuannya,” tutur Galih kepada kumparan.
Namun ketika Galih membawakan Buat Gadis Rasid dalam pertunjukan musik secara langsung pada 2006, penempatan emosi lagu tersebut sudah terbentuk, dan menurutnya itu hampir sama dengan aransemen pada 2010 oleh Deugalih & Folks.
ADVERTISEMENT
Galih menyebut pembuatan lagu dari puisi Chairil Anwar itu berawal dari tugas.
“Pada Hari Chairil Anwar sekitar tahun 2005, salah satu panitia meminta saya untuk memusikalisasikan puisi Chairil. Saya pilih puisi Buat Gadis Rasid, sebab Gadis Rasid adalah tokoh jurnalis perempuan dan salah satu pendiri surat kabar Siasat,” ujarnya.
Galih ingin mengingatkan atau mengenalkan pendengarnya pada tokoh Gadis Rasid yang juga ambil bagian dalam sejarah pergerakan nasional.
Selain wartawati, Gadis Rasid adalah pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia dikenal sebagai seorang perempuan pemberani, ulet, dan berwawasan luas.
Galih Nugraha. (Foto: Dok. Galih Nugraha)
zoom-in-whitePerbesar
Galih Nugraha. (Foto: Dok. Galih Nugraha)
Galih menyebut dirinya bukan penikmat puisi, tapi penyuka sejarah.
“Kalau pun ada yang menarik dari interpretasi saya terhadap karya Chairil Anwar, itu sebab dalam puisinya punya nilai sejarah yang menurut saya penting untuk dibagi,” ujar Galih.
ADVERTISEMENT
“Saya suka Chairil Anwar dengan kisah hidupnya. Bagaimana Chairil hidup dari Medan sampai Pasar Senen dengan seniman-seniman Angkatan 45, itu menarik.”
Membayangkan jika saja Chairil masih hidup, Galih berpikir mungkin Chairil akan menjadi teman mengobrolnya.
“Chairil itu orang yang berani, cocok untuk diajak berbagi dan ngobrol ngalor-ngidul dari belum makan, ditraktir makan orang yang numpang denger, dan pulang ke rumah entah siapa. Random,” kata Galih.
Antara daun-daun hijau padang lapang dan terang anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian burung-burung merdu hujan segar dan menyebar bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku” Dan angin tajam kering, tanah semata gersang pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi Kita terapit, cintaku - mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati Terbang mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat - the only possible non-stop flight Tidak mendapat.
ADVERTISEMENT
3. Catetan Tahun 1946
Bale Art Project. (Foto: Youtube)
zoom-in-whitePerbesar
Bale Art Project. (Foto: Youtube)
Puisi Chairil Catetan Tahun 1946 juga pernah dimusikalisasikan oleh Bale Art Project, kelompok musikalisasi puisi yang pernah menjadi Juara 1 dalam Festival Musikalisasi Puisi se-Indonesia 2014. Festival tersebut merupakan bagian dari Festival Hari Puisi Indonesia yang bertempat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Pada festival tersebut, Bale Art Project membawakan dua buah musikalasi puisi, salah satunya puisi Catetan Tahun 1946 ini. Kepada kumparan, Kamis (27/4), Dodo Lantang selaku pendiri Bale Art Project menyebut Catetan Tahun 1946 sangat sederhana, tapi permainan kata atau diksi yang ditawarkan sungguh luar biasa.
Menurutnya, Chairil Anwar ingin mengajak manusia untuk mencatatkan sejarah kebesaran dirinya masing-masing, dan tidak ragu untuk menciptakan gagasan besar.
ADVERTISEMENT
“‘Semua harus dicatet, semua dapat tempat’ --pemilihan diksi ini sangat kuat sehingga saya telanjur diajarkan agar konsisten terhadap pilihan, tanpa tendensi dana dan tanpa kesimpulan,” ujar Dodo.
Menurut Dodo, proses musikalisasi puisi Catetan Tahun 1946 sangat singkat, 3-5 jam saja.
“Awalnya saat Festival Musikalisasi Puisi tingkat nasional di TIM, peserta harus menyiapkan dua musikalisasi puisi. Satu untuk penyisihan, satu lagi untuk final,” tutur Dodo.
Pilihan puisi pertama Bale Art Project saat itu adalah Sungai di Kalimantan karya Ali Syamsudin Arsy yang mereka buat selama kurang lebih 5 hari.
“Kami sama sekali tak berharap masuk final. Namun Tuhan berkata lain. Tiba-tiba pukul 2 dini hari, kami diinfokan masuk final. Nahasnya, tidak ada persiapan musikalisasi untuk final, sementara final akan diadakan malam hari,” ujar Dodo.
Dodo Lantang 'Bale Art Project'. (Foto: Dok. Dodo Lantang)
zoom-in-whitePerbesar
Dodo Lantang 'Bale Art Project'. (Foto: Dok. Dodo Lantang)
Sempat putus asa, Dodo dan seluruh personel Bale Art Project akhirnya sepakat memilih puisi Catetan Tahun 1946 ditampilkan pada fase final.
ADVERTISEMENT
Dodo bercerita, dia memilih Catetan Tahun 1946 untuk dimusikalisasikan seperti seseorang yang sedang lapar dan ingin memilih menu makan di sebuah restoran yang banyak sajiannya.
“Semua puisi baik, namun kontekstualitas peristiwa dalam puisi ini cukup merepresentasikan rasa saya. Semangat eksistensialisme yang luar biasa dalam puisi ini seperti sambal di atas meja makan yang mengajak siapapun untuk menikmati sensasinya. Kita digiring kepada pemahaman rasa yang sangat AKU,” kata Dodo.
Dodo tak pernah menyangka puisi Chairil itu akan menjadikan Bale Art Project sebagai juara pertama.
Chairil Anwar, sastrawan Indonesia. (Foto: M. Faisal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Chairil Anwar, sastrawan Indonesia. (Foto: M. Faisal/kumparan)
Menilai sosok “Si Binatang Jalang”, Dodo mengatakan konsistensi Chairil sebagai penyair telah melampaui zamannya.
“Chairil sanggup melawan atau mengkritisi puisi dengan puisi di tengah keperkasaan pujangga lama,” ujar Dodo.
ADVERTISEMENT
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai, Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut, Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai. Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita –anjing diburu– hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu; Kita memburu arti atau disertakan kepada anak lahir sempat. Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah, Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!
4. Selamat Tinggal
Nasadira. (Foto: Nasadira/Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Nasadira. (Foto: Nasadira/Facebook)
Grup musik folk indie Nasadira pernah memusikalisasikan puisi Chairil Anwar yang berjudul Selamat Tinggal.
ADVERTISEMENT
Sky Sucahyo, mantan vokalis Nasadira (ssttt, Nasadira sebenarnya telah bubar sejak awal 2017, tapi belum diumumkan), mengatakan telah membuat lagu Selamat Tinggal sejak 2012.
Sky yang saat itu belum percaya diri untuk menuliskan lirik lagu sendiri, lebih sering mencomot larik-larik puisi karya orang lain untuk mengisi lagu-lagu yang telah ia gubah.
Ketika itu Sky telah membuat lagu dari gitarnya, tapi belum memiliki liriknya. Mungkin memang berjodoh, pada akhirnya Sky menemukan puisi Chairil yang berjudul Selamat Tinggal itu untuk ia masukkan ke dalam nada lagu yang telah ia ciptakan.
“Waktu itu cari-cari di internet sih,” kata Sky kepada kumparan, Kamis (27/4), mengenai dari mana ia bisa menemukan dan membaca puisi Selamat Tinggal milik Chairil Anwar.
ADVERTISEMENT
Setelah menggabungkan puisi Chairil tersebut ke dalam lagu gubahannya, Sky kemudian memberikan lagu tersebut kepada Nasadira.
“Ada gitarisnya, namanya Adit (Desiree Aditya), nah dia itu yang aransemen lagu itu jadi sedemikian rupa. Tadinya itu lagu benar-benar raw (mentah) banget, ‘kasar’, cuma gitar dan suara (vokal) saya,” papar Sky.
Sky memilih puisi Selamat Tinggal untuk dimusikalisasikan karena merasakan hal cukup personal dari puisi tersebut.
“Pada saat itu saya lagi membaca puisinya, dan itu menggambarkan situasi saya,” tutur Sky.
Waktu itu Sky baru saja masuk kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung.
“Sebelum kuliah kan saya di Yogya tuh, dan melewati masa-masa gelap nggak kuliah. Pas masuk Unpad kayak mulai lebih terarah. Jadi saya ingin mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu dan luka-luka pada wajah,” terang Sky.
ADVERTISEMENT
Meski Sky mengaku lagu tersebut terkesan sedih, baginya lagu itu merupakan simbol penting untuk mengucapakan selamat tinggal pada masa lalunya yang gelap.
“Puisinya itu kayak berbicara pada saya,” imbuh Sky.
Sky Sucahyo. (Foto: Instagram @skysucahyo)
zoom-in-whitePerbesar
Sky Sucahyo. (Foto: Instagram @skysucahyo)
Selamat Tinggal bukanlah puisi pertama Chairil Anwar yang pernah Sky musikalisasikan. Sebelumnya, ia juga pernah memusikalisasikan puisi Chairil yang berjudul Taman.
Sky mengaku menyukai semua puisi Chairil Anwar yang pernah ia baca.
“Kalau saya lihat, setiap puisi Chairil yang saya temui itu beda-beda, nggak terpaku pada satu model,” ujarnya.
Menurut Sky, Chairil Anwar menulis puisi bukan karena sudah ada polanya, tapi menulis ketika memang sedang ingin menulis dan ada perasaan yang ingin dicurahkan lewat tulisan.
Sky menyebut puisi-puisi Chairil, secara ia sadari atau tidak, pasti telah memengaruhinya dalam menulis lirik-lirik lagunya. Pengaruh pun datang dari setiap puisi milik orang lain yang juga ia baca.
ADVERTISEMENT
Namun meski saat ini Sky sudah memiliki kepercayaan diri untuk menuliskan lirik-lirik lagunya sendiri, Sky membayangkan jika bertemu Chairil ia ingin meminta kepada sang penyair untuk mengajarinya menulis.
“Tolong ajarkan saya menulis,” kata Sky kepada bayangan Chairil, berharap sosok itu mau menjadikannya murid.
Aku berkaca
Ini muka penuh luka Siapa punya ?
Kudengar seru menderu dalam hatiku Apa hanya angin lalu ?
Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta
Ah.......!!
Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal .............!! Selamat tinggal ................!!
5. Aku
Adew Habtsa  (Foto: Dok. Adew Habtsa)
zoom-in-whitePerbesar
Adew Habtsa (Foto: Dok. Adew Habtsa)
Puisi Chairil yang paling terkenal, Aku, juga pernah dimusikalisasikan. Adalah Adew Habtsa, musisi indie asal Bandung, yang membuat aransemen musik untuk puisi tersebut.
Puisi Aku bagi Adew Habtsa ialah puisi yang paling ia ingat. Bagaimana tidak, ia diajari, mendengar, dan membaca puisi tersebut sejak duduk di bangku sekolah.
ADVERTISEMENT
“Pertama dapat pelajaran tentang puisi zaman sekolah mulai dari SD-SMA, guru-guru di sekolah sering bilang tentang Chairil Anwar dan puisinya yang berjudul Aku. Di antara puisinya yang lain, itu kayaknya yang paling menohok buat saya,” kata Adew Habtsa kepada kumparan melalui sambungan telepon.
Adew merasa dihantui spirit dalam puisi Aku. Sejak tahun 90-an, pada acara peringatan kemerdekaan 17 Agustus-an, acara Karang Taruna, puisi Aku terus dibacakan. Hingga akhirnya pada 2010 Adew Habtsa menyanyikan puisi tersebut.
“Chairil Anwar seolah jadi juru bicara pada zamannya,” ujar Adew yang kini aktif menggalakkan budaya membaca di Bandung bersama Sahabat Museum Asia Afrika.
Bayangan kondisi perjuangan yang melingkupi Chairil Anwar ketika menuliskan puisi berjudul Aku pada tahun 1943, menjadi inspirasi bagi nada-nada yang diciptakan oleh Adew Habtsa.
ADVERTISEMENT
Puisi Aku di mata Adew Habtsa seolah menunjukkan Chairil yang tercerabut, terasing dari lingkungannya. Adew merasakan kegelisahan Chairil dalam puisi tersebut.
“Kalau lihat dari latar belakangnya teh, dia seorang yang gelisah dengan situasi saat itu, situasi tahun 1943,” kata Adew.
Bagi Adew, dalam puisi Aku terdapat kesadaran religius, kegelisahan kepada lingkungannya, dan momen-momen puitik di sekitarnya. Bahkan hingga kini puisi tersebut masih relevan.
“Ihwal kejujuran, keberanian, dan pentingnya untuk mulai mengenal diri. Itu masih tetap aktual, apa seseorang itu otentik atau artifisial. Chairil Anwar itu jujur banget dan siap ditelanjangi,” ujar Adew tentang karya-karya Chairil Anwar.
Jika saja Chairil Anwar masih hidup sampai sekarang, Adew Habtsa ingin berterima kasih karena telah mewariskan spirit untuk tetap menempuh jalan sunyi dalam dunia perpuisian.
ADVERTISEMENT
“Kang, folbek IG saya, Kang,” canda Adew membayangkan keberadaan Chairil.
Kalau sampai waktuku ‘Kumau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi