Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Siapa tak kenal Chairil Anwar? Hampir semua orang di Indonesia, tua dan muda, tahu atau setidaknya pernah mendengar namanya. Sebab dialah penyair legendaris Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penyair-penyair muda Indonesia, tak bisa tidak membaca karya-karyanya, termasuk Adimas Immanuel, Beni Satryo. dan Dea Anugrah. Dengan ketiganya, tim kumparan berbincang menjelang haul Chairil Anwar yang jatuh hari ini, Jumat (28/4).
Perbincangan dengan Dimas, sapaan Adimas Immanuel, berlangsung tatap muka di Fitzroy Cafe, Jakarta Selatan, pada Rabu (26/4). Sementara dengan Bensat alias Beni Satryo dan Dea Anugrah, kami balas-berbalas surat elektronik pada Kamis (27/4) dan hari ini.
Dimas adalah penyair kelahiran 1991. Ia lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Salah satu buku puisi yang pernah ia terbitkan berjudul Di Hadapan Rahasia (2016). Puisi-puisi Dimas, menurut orang-orang, kerap membuat para pembacanya ikut merenung.
Sementara Bensat ialah lelaki kelahiran 1988 lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Bensat yang berprofesi sebagai jurnalis sempat menerbitkan buku puisi berjudul Pendidikan Jasmani dan Kesunyian (2016). Banyak orang menyebut puisi-puisi dalam bukunya kerap menerbitkan gelak tawa.
ADVERTISEMENT
Dea, yang pernah menerbitkan buku puisi berjudul Misa Arwah (2015) juga lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Seperti Bensat, lelaki kelahiran 1991 itu kini juga bekerja sebagai penulis di sebuah media berbasis di Jakarta.
Baik Dimas, Bensat, maupun Dea memiliki keunikan dan kekhasan pada puisi mereka masing-masing.
Pekan ini kami berbincang tentang sosok Chairil Anwar yang wafat 67 tahun lalu. Dan tentu saja ketika membahas Chairil, terangkat pula segala hal terkait puisi.
Apa pendapatmu tentang puisi-puisi Chairil Anwar?
Dimas: Dalam kepengarangannya yang singkat 6,5 atau 7 tahun, dia menghasilkan hanya 70 puisi --yang mana saya bisa membanggakan puisi saya jauh lebih banyak dari Chairil, tapi nggak lebih terkenal dari Chairil.
ADVERTISEMENT
Itu kan bukti bahwa sedikit tapi berkualitas. Usia menulis pendek, tapi berkualitas sepanjang masa. Dan yang menarik adalah sebenarnya: semakin tahun berganti, kok nama Chairil malah semakin besar. Harusnya kan kalau ada pembaruan, Chairil itu hilang digantikan dengan penyair-penyair yang baru. Ternyata malangnya, penyair setelah Charil, bahkan sampai saya pun, masih ada di bawah bayang-bayang Chairil.
Bensat: Chairil membikin puisi dari bahan-bahan bermutu tinggi. Ia memilih, menimbang, memeram, dan mengupas kata-kata dengan cermat dan tangkas. Bukan mengandalkan tenaga dalam. Puisi-puisinya juga tak segan-segan menabrak aturan umum yang berlaku buat mencapai kesedapan bahasa.
Dea: Ada anggapan umum bahwa Chairil membongkar tradisi penulisan puisi berbahasa Indonesia dan mendirikan tradisi baru di atasnya. Kupikir, anggapan itu tak tepat. Yang ia lakukan sebenarnya adalah memperluas dan memperkaya tradisi tersebut. Chairil memahami syair, pantun, dan kuatrin secara baik, tetapi sebagaimana Amir Hamzah yang ia kagumi dan pekerjaannya ia teruskan, Chairil menemukan cara-cara baru untuk mengolah bentuk-bentuk lawas tersebut.
ADVERTISEMENT
Apa kamu setuju Chairil adalah penyair terbaik Indonesia?
Dimas: Definisi baik itu apa? Dibicarakan banyak orang? Sampai sekarang Chairil iya, (dibicarakan orang). Bukunya aja terus-terusan kan ada di Gramedia.
Bensat: Penggalan lirik-lirik seperti “Nasib adalah kesunyian masing-masing,” “Hidup hanya menunda kekalahan,” atau “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar” itu masih punya tenaga di zaman ini.
Saya pernah menangis sambil naik motor saat melintas di Jembatan Kewek, Yogyakarta, setelah melihat gambar wajah Chairil berhias lirik “Mampus kau dikoyak-koyak sepi.” Lirik-lirik semacam itu tentunya tidak akan lahir dari penyair yang kurang signifikan.
Dea: Kita bisa bicara tentang pembalap karung terhebat sepanjang masa, tetapi tidak penyair atau penulis secara umum. Di mana pun di dunia ini, tak ada penulis yang berdiri di luar tradisi kesusastraan bahasanya. Setiap penulis adalah pendahulu sekaligus pelanjut kerja penulis-penulis lain. Mutu dan sumbangan setiap penulis kepada tradisi kesusastraaannya tentu tak seragam, beberapa lebih penting ketimbang yang lain, tetapi tak ada yang bisa menjulang sendirian.
ADVERTISEMENT
Lain dari pembalap karung yang kehebatannya bisa diukur berdasarkan seberapa banyak kejuaraan yang ia menangkan, bagaimana cara menentukan yang lebih baik di antara dua penyair bermutu sama dari dua masa yang berbeda?
Ketika aku mengatakan “penyair terbaik,” aku merujuk golongan. Artinya, ia meliputi banyak individu. Amir Hamzah, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Rendra, dan Sapardi adalah beberapa di antaranya.
Puisi Chairil yang paling kamu suka?
Dimas: Ada suatu momen --kebetulan karena saya Kristiani, ada puisi Chairil yang berjudul "Isa" kan. Yang Kepada Nasrani Sejati. Perenungannya dia terhadap sosok Yesus kalau di Kristen gitu. Kalau di bayangan saya waktu itu, Chairil kan seorang Muslim, tapi kenapa dia menuliskan sosok Yesus ini atau Isa dalam kepercayaannya.
ADVERTISEMENT
Saya mencari tahu, akhirnya sadar bahwa oh, ini bentuk penghormatan Chairil terhadap satu sosok yang dihormati di agamanya tapi juga dihormati di agama lain dengan cara yang berbeda penghormatannya. Ini suatu bentuk toleransi yang menyenangkan sebenarnya dalam sastra yang ditunjukkan oleh Chairil.
Bensat: "Lagu Biasa". Alasannya personal. Saya sering makan di warung sendirian dan membayangkan si aku dalam puisi itu adalah saya. Peristiwanya sepele, sebuah perkenalan di warung makan. Tapi saya merasakan sesuatu yang bergelora di sana. Saya bisa membayangkan si aku dan si ia bergetaran ketika saling melempar pandang.
Dea: “Buat Gadis Rasid”, “Tuti Artic”, “Derai-derai Cemara.”
Adakah pengaruh Chairil dalam puisimu?
ADVERTISEMENT
Dimas: Yang bisa saya ingat dari Chairil sebenarnya malah dari spiritnya. Spiritnya untuk jadi pemberontak, entah di gaya menulis sastra. Itu yang membuat saya kagum karena saya kadang masih suka terjebak sama gaya-gaya penulis puisi lama yang mana kalau di penulisan itu jelek sebenarnya. Tapi itu nggak bisa dihindarkan ketika kamu ingin meniru pujangga besar di masa lalu.
Chairil itu nggak peduli sama begitu. Ada sih mungkin puisinya Chairil yang mirip sama yang begituan (puisi lama). Tapi terlepas dari itu semua, terlepas dari hanya satu atau sedikit puisi, dia benar-benar bikin (gaya) baru.
Bensat: Saya menikmati puisi-puisi bikinan Chairil Anwar. Beberapa di antaranya saya baca lagi dan lagi saat suasana hati sedang bergejolak. Saya kira, sadar atau tidak, pasti ada lah pengaruhnya saat saya membikin puisi.
ADVERTISEMENT
Dea: Puisi-puisi Chairil menyediakan dasar bagi penulisan puisi berbahasa Indonesia sampai sekarang. Maka, mengingkari pengaruhnya sama dengan mengingkari fakta keras bahwa ikan lele hidup di air tawar dan bukan di semak-semak.
Tetapi penyair-penyair terbaik Indonesia setelah Chairil, sebagaimana Chairil sendiri, tahu bahwa menulis puisi bukan kerja asal-asalan. Mereka mesti mempelajari karya-karya penyair terdahulu, memadukan hasilnya dengan visi masing-masing, dan menciptakan suara yang otentik.
Apa yang ingin kamu sampaikan seandainya berjumpa Chairil?
Dimas: Bro, bikin standar jangan ketinggian. Kasihan saya, selalu di bawah bayang-bayang.
Bensat: Hai.
Dea: Biasanya aku sungkan berkenalan dengan penulis-penulis yang karyanya kusukai.
Menurutmu, seperti apa sih puisi yang bagus?
Dimas: Menurutku nggak ada tolak ukur yang lebih valid dari satu karya bagus atau nggak selain dia diingat orang yang bukan sezamannya. Yang jadi konsumsi masyarakat yang nggak baca puisi.
ADVERTISEMENT
Bensat: Puisi yang tidak jelek, hehe.
Dea: Nirwan Dewanto pernah menulis dalam salah satu esainya bahwa puisi yang bagus tak hanya minta dibaca ulang terus-menerus, tetapi juga mengubah cara kita membaca dan menulis. Aku setuju, dan aku percaya bahwa pembaca selalu berkembang.
Pada mulanya seseorang mungkin tergugah oleh, misalnya, puisi-puisi Lang Leav, tetapi di kemudian hari, seiring pertumbahan pengalaman membacanya, ia akan mengenal karya-karya lain yang lebih serius dan kaya.
Konsep “puisi yang bagus” dan “puisi yang aku ingin menuliskannya” di dalam pikiranku terus-menerus berubah seiring pengalaman membacaku.
Inspirasimu menulis puisi datang dari mana saja?
Dimas: Saya menuliskan puisi sebagai bagian dari sesuatu yang penting tapi juga remeh-temeh. Sehari-hari saja. Bisa tiba-tiba menjadi penting, misal kita marah melihat orang yang digusur rumahnya, tapi bisa juga tiba-tiba kita pun hanya membicarakan kenapa cucian banyak belum ada yang nyuci malah turun hujan.
ADVERTISEMENT
Bensat: Dari kehidupan, tentu saja. Kehidupan.
Dea: Kalau yang kamu maksud inspirasi ialah sesuatu yang tiba-tiba hadir dan menyentak seperti penyakit ayan, aku tidak mengenalnya. Sebagian besar puisi dalam Misa Arwah kutulis secara bertahap.
Mencari kalimat-kalimat yang tepat, membuat citraan, dan mengatur ritme dan bunyi, misalnya, tak pernah gampang buatku. Sudah begitu, hasilnya tak seberapa. Tapi justru itulah yang asyik.
Kapan dan di mana kamu biasanya mendapat momen puitik untuk menulis puisi?
Dimas: Nggak tahu. Secara jujur nggak tahu. Dulu sih menulis puisi ya karena terlalu nganggur. Maksudnya terlalu nganggur itu keresahan yang tunggal. Berarti itu eksistensialisme. Kenapa saya jadi manusia, kenapa saya harus hidup. Biasa, masa-masa mahasiswa belum lulus... Di kamar.
ADVERTISEMENT
Bensat: Setiap detik, di mana pun tempatnya, adalah momen puitik. Tergantung saya, apakah ingin merekam momen-momen itu ke dalam puisi atau malah menangis pada momen-momen itu. Dan saya lebih sering melakukan hal yang terakhir.
Dea: Di kos. Nggak ada waktu tertentu sih. Biasanya kukerjakan bertahap, kayak tukang bikin bangunan tapi lebih sering merobohkan ketimbang membangun. Nggak ada "momen puitik". Biasanya mulai dari gagasan aja. Kadang, mulai dari satu kalimat yang kepikiran terus.
Apa saranmu untuk orang yang ingin menulis puisi?
Dimas: Saya rasa penulis-penulis muda di zaman sekarang sangat gampang untuk menghasilkan sesuatu, kayak kita comot kata ini kita comot kata itu, pengetahuan bisa sangat instan. Itu yang harus dipelajari.
ADVERTISEMENT
Dulu aja Chairil yang mungkin bisa dibilang referensinya terbatas karena nggak ada internet, bisa mikir sesuatu selama itu, kontemplasinya jauh.
Nah kita sekarang kan sudah dikasih ini nih, kegampangan itu tuh (teknologi), source-nya udah ada. Kita nggak boleh jadi instan juga dong, dalam arti menciptakan karya tuh ya harus sabar, ya itu tadi kontemplasinya.
Maksudnya saya nggak berusaha menggurui anak muda yang lagi menulis, tapi saya pribadi sih inginnya begitu. Apalagi puisi bukan sesuatu --yang kalau misalnya kayak novel, kayak cerpen, kan udah ada kerangkanya, kalau puisi itu kan benar-benar pengalaman batin, curahan hati. Jadi ya mungkin (membuatnya) bisa cepat tapi alangkah baiknya kalau lahir dari perenungan. Biar abadi.
Bensat: Sebaik-baik memulai pekerjaan adalah dengan membaca bismillah.
ADVERTISEMENT
Dea: “Sepertinya saudara keliru memilih institusi” atau, untuk orang-orang yang diberkahi kemampuan kognitif dan disiplin yang lebih baik, “Tolonglah pertimbangkan lagi, dunia sains lebih memerlukan Anda.”
Chairil pelopor Angkatan 45, menurutmu siapa penyair pelopor era millennial?
Dimas: Nggak tahu.
Bensat: Saya tidak tahu.
Dea: Tidak tahu dan, terus terang saja, aku tak peduli dengan urusan pelopor-peloporan begitu.
Bagaimana kamu mendeskripsikan puisi era kekinian?
Dimas: Zamannya tuh udah beda sih menurutku. Kalau dulu kan ada suatu yang romantik, kita belum merdeka. Kita sekarang merdeka.
Kalau sekarang sebenarnya ya kita bisa aja mengambil jalan menjadi oposisi pemerintah, menentang pemerintah. Kita bisa membela petani-petani yang tergusur atau orang-orang yang tergusur dengan membuat puisi.
ADVERTISEMENT
Tapi menurutku kerja puisi yang sekarang itu sudah kerja puisi yang berbeda. Nggak akan bisa orang meniru Chairil dengan puisi perjuangannya. Nggak akan orang bisa meniru Wiji Thukul dengan puisi buruhnya. Andai kata bisa meniru, tetap ada di bawah bayang-bayang mereka.
Perjuangan-perjuangannya adalah menawarkan suara-suara yang jauh lebih baru dari sekadar perjuangan membela rakyat kecil. Itu sih sebenarnya yang belum terumuskan.
Makanya muncul banyak suara, misalkan saya sebut nama Norman (Erikson Pasaribu) yang kemarin menerbitkan Sergius Mencari Bacchus karena dia punya suara terhadap kaum LGBT. Terlepas dari pro-kontranya, ya itu bagus karena dia menawarkan suara yang berbeda.
Bensat: Mungkin puisi-puisi yang kontekstual dengan persoalan masa kini. Apa sih persoalan masa kini? Misal, satu contoh saja, kita membeli barang yang tidak kita butuh, dengan uang yang tidak kita punya, dan untuk menyenangkan orang yang tidak kita suka. Itu persoalan paling mutakhir kan?
ADVERTISEMENT
Dea: Sekarang aku jarang sekali membaca puisi penyair-penyair muda Indonesia, kecuali beberapa yang karyanya kukenal dan kusukai sejak enam atau tujuh tahun lalu dan sedikit temuan baru yang kebetulan menarik. Mereka menulis puisi dengan cara yang berbeda-beda dan membawa gagasan yang berlain-lainan.
Kupikir, penyair-penyair Indonesia masa kini jauh lebih mudah belajar dibandingkan para pendahulu mereka. Mereka bisa membaca apa pun yang mereka inginkan.