Bebal Tak Berkesudahan

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
8 Desember 2020 3:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi koruptor. Foto: Sabir Laluhu.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi koruptor. Foto: Sabir Laluhu.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 yang dilangsungkan di 270 daerah akan berlangsung pada Rabu, 9 Desember 2020. Presiden Joko Widodo pun telah menetapkan hari pelaksanaan Pilkada Serentak pada 9 Desember 2020 sebagai hari libur nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2020. Beleid ini ditandatangani Presiden pada 27 November 2020.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan pemilihan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota secara serentak pada tahun ini bersamaan dengan masih berlangsung pandemi COVID-19 mendapat sorotan banyak kalangan. Ada yang mengkritisi dan meminta agar dihentikan. Tapi ada juga yang memberikan dukungan tetap dilaksanakan. Meski begitu, tulisan ini tak ingin masuk dalam perdebatan Pilkada Serentak dihentikan atau dilanjutkan.
Yang tak boleh dilupa oleh kita semua adalah tanggal pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, 9 Desember, bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Disadari atau tidak oleh KPU dan pemerintah, tanggal yang sama tersebut tentu menyimpan makna bahwa pelaksanaan pilkada tahun ini harus dilakukan secara berintegritas serta calon yang dihasilkan benar-benar memiliki semangat dan bisa menjalankan pemerintahan antikorupsi.
ADVERTISEMENT

Peringatan KPK

KPU bersama KPK bahkan melakukan berbagai kegiatan pembekalan dan sosialisasi pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 berintegritas. Kegiatan dilaksanakan baik secara langsung dengan turun ke berbagai daerah maupun secara virtual. Lima pimpinan KPK bahkan turun gelanggang untuk memberikan pencerahan dan peringatan. KPK mengingatkan agar masyarakat di setiap daerah memilih calon kepala daerah sesuai dengan rekam jejak.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango memberikan peringatan sangat keras agar para calon kepala daerah termasuk calon petahana agar tidak boleh main-main apalagi melakukan dugaan korupsi jelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Bahkan Nawawi menggariskan, dari sisi penindakan maka KPK sedang melakukan penyelidikan terhadap beberapa pasangan yang ikut di dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020. Pernyataan disampaikan Nawawi saat acara "Pembekalan Cakada Provinsi Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat" yang dilakukan secara virtual pada Kamis, 5 November 2020.
ADVERTISEMENT
Kurang dari sepekan setelah omongan Nawawi, Ketua KPK Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri bahkan memberikan isyarat bahwa KPK akan menciduk dua orang kepala daerah, "Nanti minggu depan lihat saja nanti. Minggu depan ini ada dua orang lagi bupati dan wali kota." Pernyataan ini diutarakan Firli kala acara "Pembekalan Calon Kepala Daerah Provinsi Kepulauan Riau, Lampung, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)” secara virtual pada Selasa, 10 November 2020.
Di tengah hiruk-pikuk persiapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentak. Empat kali lembaga antikorupsi ini melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Dua di antaranya terdapat dua kepala daerah yang dibekuk. Keduanya yakni Wali Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat periode 2017-2022 Ajay Muhammad Priatna dan Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah periode 2016-2021 Letkol Sus TNI AU (Purnawirawan) Wenny Bukamo.
ADVERTISEMENT
Khusus Wenny Bukamo, dia dibekuk tim gabungan penyelidik dan penyidik KPK di Kabupaten Banggai Laut sekitar pukul 13.00 WIB pada Kamis, 3 Desember 2020. Bersama Wenny ada juga 15 orang yang ditangkap, di antaranya tim sukses (timses) Wenny, calon wakil bupati Banggai Laut Ridaya Laode Ngkowe, dan beberapa pengusaha.
Tim KPK menyita uang tunai sekitar Rp 2 miliar dalam kardus untuk Wenny dan diduga berasal dari Komisaris PT. Bangun Bangkep Persada (BBP) Hedy Thiono, Direktur PT. Antarnusa Karyatama Mandiri (AKM) Djufri Katili, dan Direktur PT. Andronika Putra Delta (APD) Andreas Hongkiriwang. Uang ini diduga untuk memenangkan rekanan/perusahaan tertentu dalam tender beberapa proyek infrastruktur pada Dinas PUPR Pemerintah Kabupaten Banggai Laut Tahun Anggaran 2020. Uang dugaan suap tersebut diduga akan dipakai untuk logistik Pilkada Serentak 2020.
ADVERTISEMENT
Keberadaan timses dan dugaan peruntukan penggunaan uang itu jelas tidak mengherankan. Wenny adalah calon bupati Banggai Laut petahana. Dia maju berpasangan dengan calon wakil bupati Ridaya Laode Ngkowe dan diusung PDIP dalam gelaran Pilkada Serentak 2020. Wenny tak lain adalah Ketua DPC PDIP Kabupaten Banggai Laut periode 2019-2024.
Pernyataan hampir serupa disampaikan Nawawi saat konferensi pers yang dihelat KPK pada Jumat malam, 4 Desember 2020. Konferensi pers ini digelar untuk menjelaskan kronologi penangkapan, konstruksi kasus secara umum, dan penetapan enam orang tersangka termasuk Wenny Bukamo.
Nawawi Pomolango menegaskan, sejak awal proses Pilkada Serentak 2020 sebenarnya KPK telah menjalin kerja sama dengan KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menyampaikan Pilkada yang berintegritas. Bahkan KPK juga telah melakukan pertemuan dengan seluruh penyelenggara pilkada dan peserta pilkada di 270 daerah pilkada untuk mewujudkan Pilkada Berintegritas.
ADVERTISEMENT
"KPK berharap apa yang dilakukan Kepala Daerah ini menjadi pelajaran bagi kepala daerah lainnya untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama. KPK mengapresiasi dan berterima kasih kepada masyarakat dalam melaporkan dugaan tindak pidana korupsi kepada KPK. Undang-Undang menjamin perlindungan terhadap pelapor tindak pidana korupsi," ujar Nawawi.
Pernyataan seperti yang disampaikan Nawawi Pomolango dan Firli Bahuri, hakikatnya sudah berkali-kali keluar dari mulut para pejabat KPK pada Kedeputian Bidang Pencegahan serta para pimpinan KPK periode-periode sebelumnya. Dari Kedeputian Bidang Pencegahan, ada Deputi Bidang Penindakan KPK Pahala Nainggolan.
Jika masih tak percaya, lacak saja kegiatan dan tindakan pencegahan KPK serta pernyataan para pimpinan KPK periode-periode sebelumnya melalui mesin pencari. Kita tentu akan melihat dengan terang dan jelas misalnya pernyataan Inspektur Jenderal Polisi (Purnawirawan) Taufiequrachman Ruki, Tumpak Hatorangan Panggabean, M. Busyro Muqoddas, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, Indriyanto Seno Adji, Johan Budi Sapto Pribowo, Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, Thony Saut Situmorang, Alexander Marwata, hingga Inspektur Jenderal Polisi (Purnawirawan) Basaria Panjaitan. Atau silakan lacak pula omongan dua juru bicara KPK sebelumnya yakni Johan Budi Sapto Pribowo dan Febri Diansyah.
ADVERTISEMENT

Banyak Contoh, Nirkesadaran

Penangkapan terhadap Wenny Bukamo di saat proses pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 nyatanya dan faktanya bukan satu-satunya kepala daerah dan/atau calon kepala daerah yang menjadi pelakon korupsi bersamaan dan/atau setelah pilkada serentak dihelat.
Ilustrasi tersangka korupsi saat ditahan KPK. Foto: Sabir Laluhu.
Saat penyelengaraan Pilkada Serentak 2018, bahkan ada sembilan orang calon kepala daerah baik saat masih menjadi kepala daerah maupun mantan kepala daerah yang ditangani. Sembilan orang ini secara keseluruhan telah menjadi terpidana. Enam antaranya bermula dari OTT.
Mereka yakni calon gubernur Sulawesi Tenggara sekaligus Wali kota Kendari periode 2012-2017 Asrun, calon gubernur Lampung sekaligus Bupati Lampung Tengah 2016-2021 Mustafa, calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) sekaligus Bupati Ngada 2016-2021 Martin Dira Tome, calon bupati Subang sekaligus Bupati Subang 2016-2018 Imas Aryumningsih, calon bupati Tulungagung sekaligus Bupati Tulungagung 2013-2018 Syahri Mulyo, dan calon bupati Jombang sekaligus Bupati Jombang 2013-2018 Nyono Suharli.
ADVERTISEMENT
Saat Pilkada Serentak 2017 juga ada calon kepala daerah petahana maupun bukan petahana yang ditangani KPK baik melalui mekanisme OTT maupun bukan OTT. Dari unsur petahana, ada Wali kota Cimahi periode 2012-2017 Atty Suharti yang ditangkap melalui OTT. Kepala daerah sekaligus calon atau bukan calon petahana yang ditetapkan tersangka tanpa OTT di antaranya Bupati Buton 2012-2017 Samsu Umar Abdul Samiun.
Di tahun 2017, ada beberapa kepala daerah yang juga diciduk KPK meski bukan maju sebagai calon petahana saat Pilkada Serentak 2017. Di antaranya Gubernur Bengkulu 2016-2021 Ridwan Mukti, Bupati Batubara 2013-2018 OK Arya Zulkarnain, dan Wali kota Tegal 2013-2018 Siti Masitha Soeparno.
Nama-nama kepala daerah dan mantan kepala daerah di atas hampir keseluruhan merupakan para penerimaan suap. Yang menjadi pemberi suap hanya Samsu Umar Abdul Samiun. Berdasarkan fakta-fakta persidangan terungkap bahwa para kepala daerah terpidana penerima suapsaat penyelengaraan pilkada maupun setelah pilkadadilakukan untuk beberapa kebutuhan dan kepentingan.
ADVERTISEMENT
Di antaranya, satu, untuk kebutuhan logistik pilkada serentak hingga biaya 'perahu' (rekomendasi) yang disampaikan ke salah satu partai pengusung. Kebutuhan logistik di antaranya untuk biaya kampanye, biaya serangan fajar, biaya alat peraga, hingga kendaraan operasional. Dua, mengembalikan uang yang telah dikeluarkan saat pilkada sebelumnya. Tiga, menjadi kompensasi bagi pengusaha (kontraktor) yang menjadi pemberi sumbangan biaya pilkada dengan proyek-proyek di lingkungan pemerintah daerah. Empat, menjadi kompensasi bagi timses atas jasanya saat pilkada baik berupa jabatan maupun proyek di pemerintah daerah.
KPK bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beberapa tahun silam telah meluncurkan hasil penelitian ihwal pilkada dan sistem demokrasi dan partai politik. Di antara hasil penelitian yakni satu calon kepala daerah mengeluarkan biaya yang fantastis saat pilkada, mencapai Rp 65 miliar per pasang calon. Kementerian Dalam Negeri pun menyebut satu pasangan calon kepala daerah selevel kabupaten/kota membutuhkan Rp 25 miliar hingga Rp 30 miliar.
ADVERTISEMENT
Contoh para kepala daerah yang ditangkap, ditersangkakan, dan dibawa ke pengadilan hingga berstatus terpidana atau mantan terpidana serta peringatan dari KPK secara kelembagaan dan para pimpinan KPK nyata seolah tak membuat Ajay Muhammad Priatna dan Wenny Bukamo kapok. Bebal tak berkesudahan sepertinya ini pun berlaku bagi para kepala daerah yang sebelumnya dijerat KPK. Musababnya kepala daerah sebelumnya pun telah diingatkan KPK. Bahkan Ridwan Mukti selaku Gubernur Bengkulu yang berinisiatif menggandeng KPK untuk menyelenggarakan pencegahan korupsi dan penandatanganan nota kesepahaman, jauh sebelum dia dicokok.
Tingkah pongah bahkan terlihat dari sosok terpidana Bupati Nganjuk periode 2013-2018 Taufiqurrahman. Taufiqurrahman diciduk tim KPK setelah menerima suap pada Rabu siang, 25 Oktober 2017 di sebuah hotel di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Penangkapan terhadap Taufiqurrahman terjadi sehari setelah Taufiqurrahman hadir di Istana Negara pada Selasa, 24 Oktober 2017. Selasa itu, Presiden Joko Widodo mengumpulkan para bupati, wali kota, dan gubernur seluruh Indonesia untuk memberikan arahan.
ADVERTISEMENT
Dalam arahannya, Presiden menyampaikan bahwa para kepala daerah tidak perlu takut dengan OTT yang dilakukan KPK jika tidak berbuat salah. Presiden juga mewanti-wanti agar para kepala daerah berhati-hati dan jangan ada yang main-main soal uang apalagi APBD. Pemerintah akan menciptakan sistem pencegahan korupsi di daerah agar tidak rentan terjadi korupsi.
Meminjam pernyataan Rektor Universitas Sembilanbelas November (USN) Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), Azhari bahwa kepala daerah definitif maupun calon kepala daerah mestinya sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, ketika menjadi kepala daerah maka orang tersebut akan berbuat dan mengabdi bagi masyarakat banyak bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok.
Dalam konteks sedikit berbeda ada pula Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan yang ditangkap pada Rabu, 25 November 2020, telah menjadi tersangka, dan ditahan. Saat pertama kali menjadi Menteri, Edhy sesumbar bahwa Presiden Joko Widodo tak salah memilih Edhy menjadi Menteri dan Edhy tak akan membuat Presiden malu. Faktanya Edhy malah menerima dugaan suap, ditangkap, hingga menjadi tersangka dan ditahan KPK.
ADVERTISEMENT
Suap yang ditransaksikan sejumlah Rp 9,8 miliar, USD 100.000, dan Rp 436 juta. Suap Edhy dkk diduga terkait dengan dengan pengurusan izin di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan pengiriman kargo benih lobster (benur) ke luar negeri melalui PT. Aero Citra Kargo (ACK). KPK menemukan fakta bahwa PT. ACK diduga merupakan milik Edhy yang dibuat secara nominee atau menggunakan nama orang lain.
Belum genap 14 hari, rakyat Indonesia seperti menyaksikan tajamnya “pisau” penindakan KPK. Tim KPK menghentak dengan melakukan OTT di Bandung dan Jakarta pada Sabtu dini hari, 5 Desember 2020. Total ada enam orang diciduk KPK. Satu di antaranya adalah Matheus Joko Santoso selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Sosial (Kemensos) sekaligus pemilik pemilik PT. Rajawali Parama Indonesia (RPI).
ADVERTISEMENT
Saat OTT, tim KPK menyita uang tunai yang simpan di dalam 7 koper, 3 tas ransel dan amplop kecil yang jumlahnya sekitar Rp14, 5 miliar dalam pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing. Masing-masing yaknk sejumlah sekitar Rp11, 9 miliar, sekitar USD 171.085 (setara Rp 2,420 miliar), dan sekitar SGD 23.000 (setara Rp 243 juta).
KPK pun kemudian menetapkan lima orang sebagai tersangka yang terbagi dalam dua bagian. Sebagai penerima suap adalah Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial, Matheus Joko Santoso, dan Adi Wahyono selaku PPK Kemensos sekaligus Kepala Biro Umum Sekretariat Jenderal Kemensos. Dua tersangka pemberi suap yakni Ardian Iskandar M (swasta), dan Harry Sabukke alias Harry Van Sabukke (swasta). Belakangan penulis memperoleh data bahwa Harry juga merupakan seorang advokat sekaligus Sekretaris Umum Badan Pengurus Cabang (BPC) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jakarta Pusat periode 2017-2020.
ADVERTISEMENT
Juliari dkk disangkakan dalam kasus dugaan suap pengadaan paket bantuan sosial (bansos) sembako penanganan COVID-19 di Kementerian Sosial RI Tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode. Khusus Matheus dan Adi juga disangkakan dengan pasal 12 huruf i Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor. Pasal ini mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan pengadaan atau pengawasan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Diduga dalam kasus ini pelaksanaan proyek tersebut dilakukan dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus.
ADVERTISEMENT
Untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar, yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari Peter Batubara melalui Adi dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar.
Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari Oktober sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari. Kalau Rp 8,8 miliar dijumlahkan dengan Rp 8,2 miliar, maka jatah dugaan suap untuk Juliari sebesar Rp 17 miliar.
Juliari dan Adi yang tak ditangkap saat OTT sudah menyerahkan diri di jam ke KPK berbeda pada Minggu, 6 Desember 2020. Secara keseluruhan, lima tersangka kini telah menghuni jeruji besi.
Juliari Peter Batubara saat pertama kali ditahan KPK usai menjalani pemeriksaan dan menyerahkan diri pada Minggu malam, 6 Desember 2020. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan.
Kurang dari 14 hari Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara tersungkur dan jadi tersangka di KPK jelas menjadi ujian sekaligus mungkin juga peringatan bagi periode kedua Presiden Joko Widodo. Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, bahkan angkat bicara ihwal langkah penindakan KPK selama sekitar 10 hari dengan di antaranya dua orang menteri menjadi “pesakitan” KPK.
ADVERTISEMENT
Ghufron memulai pernyataan dengan pembentukan KPK. Dia mengatakan, pembentukan KPK adalah wujud komitmen bangsa Indonesia untuk membersihkan korupsi. Musababnya, disadari bahwa korupsi menjauhkan pembangunan dari pencapaian tujuan besar negara yaitu adil dan makmur. Karena itulah kata Ghufron, KPK berkomitmen untuk amanah terhadap tugas tersebut untuk memberantas korupsi.
Di hadapan hukum setiap warga adalah sama baik itu bupati wali kota atau pun menteri adalah setiap orang sebagai subyek hukum. Kami berharap ini adalah yang terakhir jangan ada lagi yang masih melakukan korupsi karena KPK akan menegakkan hukum secara tegas,” ujar Ghufron melalui pesan singkat via WhatsApp kepada para jurnalis pada Minggu pagi, 6 Desember 2020.
Terhadap dua OTT serta penetapan tersangka dua menterinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara dalam dua kesempatan berbeda. Atas penetapan Juliari Peter Batubara selaku Mensos menjadi tersangka penerima suap, Jokowi menyampaikan empat poin penting sebagaimana dilansir Sekretariat Kabinet (Setkab) pada Minggu, 6 Desember. Lihat pernyataan Presiden dan video.
ADVERTISEMENT
Di antaranya, satu, menghormati proses hukum yang sedang berjalan di KPK. Jokowi menegaskan, perlu juga menyampaikan bahwa Jokowi telah mengingatkan sejak awal kepada para menteri Kabinet Indonesia Maju. Dua, Jokowi menggariskan, dia tidak akan melindungi siapa pun yang terlibat korupsi dan pemerintah akan terus konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
“Perlu juga saya sampaikan bahwa saya sudah ingatkan kepada para menteri Kabinet Indonesia Maju: jangan korupsi. Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi dan kita semuanya percaya KPK bekerja secara transparan, secara terbuka, bekerja secara baik, profesional,” ujar Presiden Jokowi.
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan

Juliari Lebih “Bengal”?

Subjudul ini ada bukan tanpa sebab. Ada beberapa indikator mengapa bisa ada. Pertama, paling konkrit, Juliari Peter Batubara mestinya mengambil tamsil dari Edhy Prabowo atau dua kepala daerah lain yang lebih dulu tersungkur. Atau, bahkan mestinya melihat lebih jauh lagi ke para kepala daerah, para menteri, para anggota DPR maupun pimpinan DPR, pimpinan DPD, hingga para anggota DPRD dan pimpinan DPRD sebelumnya yang telah lebih dulu menjadi pesakitan.
ADVERTISEMENT
Tapi, nyatanya Juliari dan lima tersangka lainnya seolah tak menggubris. Mengeruk fulus dari anggaran bencana nasional jelas tak bisa dimaafkan, dari sudut pandang manapun dilihat dan dinilai. Narasi kasus Juliari dkk yang sedikit lebih banyak di atas agar kita tak lupa bahwa anggaran penanggulangan bencana termasuk dan tidak terbatas pada penanggulangan dan penanganan COVID-19 tetap sangat-sangat rentan dikorupsi.
Indikator kedua, beberapa kali kehadiran dan keterlibatan Juliari dalam kegiatan dan program pencegahan korupsi yang dilakukan KPK termasuk saat dan terkait penanganan pandemi COVID-19. Berdasarkan catatan penulis dan data KPK, sedikitnya ada empat kesempatan Juliari ikut serta. Satu, baru dua pekan resmi menjabat sebagai Mensos, Juliari menyambangi KPK dan bertemu dengan pimpinan serta jajaran Kedeputian Bidang Pencegahan KPK. Pertemuan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK pada Senin, 4 November 2019.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan, para pihak membahas tentang program pencegahan korupsi di antaranya pembaharuan dan pemanfaatan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) termasuk data warga miskin serta sinkronisasi dan koordinasi antar-kementerian. Data tersebut agar penyaluran bantuan-bantuan dari pemerintah termasuk bansos benar-benar tepat sasaran dan tak ada penyimpangan hingga untuk layanan BPJS Kesehatan.
KPK pun mengingatkan kepada Juliari dan rombongan ihwal kasus korupsi sebelumnya. Juliari juga meminta dukungan KPK untuk upaya pemberantasan korupsi termasuk pencegahan korupsi di lingkungan Kemensos. Dia pun menyampaikan komitmennya untuk mencegah korupsi.
Dua, koordinasi lanjutan saat terjadi pandemi COVID-19. KPK mengirimkan surat edaran ke pemerintah pusat, kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah. Selain itu hasil kajian dan pemantauan KPK atas pelaksanaan program penanggulangan COVID-19 termasuk kerentanan dan kerawanan bansos di berbagai daerah telah disampaikan ke pemerintah.
ADVERTISEMENT
Tiga, Juliari selaku Mensos menghadiri peluncuran fitur “JAGA Bansos” dalam aplikasi JAGA milik KPK pada Jumat, 29 Mei 2020. Aplikasi ini merupakan aplikasi untuk pencegahan korupsi berbasis android dan iOS. Peluncuran fitur dihadiri juga Ketua KPK Firli Bahuri dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh. Acara berlangsung secara virtual. Saat peluncuran, Firli dan Ateh bahkan mengingatkan kembali agar tak terjadi dugaan penyimpangan hingga dugaan korupsi terkait dengan bansos dengan beragam bentuknya.
Fitur “JAGA Bansos” menjadi sarana bagi masyarakat untuk melaporkan dugaan penyelewengan/penyalahgunaan bantuan sosial. Bukan itu saja, fitur ini juga menyediakan beragam informasi tentang bansos hingga forum diskusi. Dari laporan masyarakat, KPK melakukan analisis kemudian menyampaikan dan meneruskan ke pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga terkait untuk perbaikan.
ADVERTISEMENT
Empat, KPK bersama Juliari selaku Mensos dan jajaran menggelar pertemuan di Gedung Merah Putih KPK pada Rabu, 9 September 2020. Pembahasan para pihak secara umum tentang pengawasan dan pendampingan KPK dalam pengadaan dan penyaluran bansos hingga pemanfaatan DTKS serta apa saja yang telah dan sedang (akan) dilakukan Kemensos. Para pihak juga memastikan koordinasi para stakeholder. Lagi-lagi Juliari “menjual” omongan pencegahan agar tak terjadi dugaan penyimpangan dan dugaan korupsi.
KPK kemudian menggelar konferensi pers setelah pertemuan. Hadir saat itu Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar; Plt Juru Bicara Bidang Pencegahan KPK, Ipi Maryati Kuding; dan Juliari. Pernyataan para pihak bisa disimak melalui akun YouTube resmi KPK maupun peryataan Juliari yang dilansir website resmi Kemensos.
ADVERTISEMENT
Juliari menyatakan, Kemensos siap bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam pengawasan penggunaan anggaran. Dia mengeklaim, pihaknya berkomitmen melaksanakan tata kelola anggaran yang berdasarkan pada prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi. Juliari mengatakan, pengawasan dan bimbingan dari KPK diperlukan Kemensos. Musababnya, hal tersebut berhubungan erat dengan besarnya anggaran yang dikucurkan pemerintah ke Kemensos untuk penanganan dampak pandemi COVID-19 terkait jaring pengaman sosial (JPS). Anggaran Kemensos pada TA 2020 ditetapkan sebesar Rp 62,77 triliun.
“Kemensos memastikan membuka diri terhadap pengawasan dalam penggunaan anggaran. Kami memastikan pengelolaan anggaran memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi. Kepada KPK, kami memohon pengawalan dan pengawasan dalam pengelolaan anggaran,” kata Juliari.
Indikator ketiga, Juliari sebagai Mensos membuat sejumlah aturan berbentuk keputusan menteri yang juga ditembuskan ke beberapa pihak termasuk KPK. Penulis menghadirkan satu contoh yaitu Keputusan Menteri Sosial (Permensos) Nomor: 54/HUK/2020 tentang Pelaksanaan Bantuan Sosial Sembako dan Bantuan Sosial Tunai dalam Penanganan Dampak Covid-19. Aturan ini diteken Juliari pada 16 April 2020.
ADVERTISEMENT
Indikator keempat, seperti diberitakan berbagai media massa bahwa Juliari menyatakan tak butuh kekayaan dalam menjalankan posisinya sebagai Menteri, mengingat pesan orang tua agar jujur dan berbuat saja untuk sesama tanpa pamrih, hingga penilaian Juliari terhadap orang yang melakukan korupsi sebagai orang bermental bobrok dan memalukan bagi keluarga serta upaya Juliari melakukan pencegahan korupsi di Kemensos.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengungkapkan hakikatnya KPK sudah berkali-kali mengingatkan Juliari Peter Batubara sebagai Mensos dan jajaran Kemensos agar tak melakukan dugaan penyimpangan apalagi dugaan korupsi. Peringatan tersebut bahkan disampaikan KPK sejak awal masa pandemi COVID-19. Ghufron menduga, peringatan KPK itu bisa jadi dianggap atau ditafsirkan lain oleh Juliari dan jajaran Kemensos.
“Sudah bolak-balik kita ingatkan. Tapi dianggap persahabatan kali. He-he. KPK kan sudah mantau langsung ke Kemensos. Bahkan beberapa kali ceramah,” ujar Ghufron kepada para jurnalis melalui pesan singkat via WhatsApp pada Minggu pagi, 6 Desember 2020.
ADVERTISEMENT
Ketua KPK Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri menggariskan, Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial sudah beberapa kali datang ke KPK dan bertemu dengan para pimpinan KPK dan jajaran Kedeputian Bidang Pencegahan KPK dalam rangka upaya pencegahan korupsi. Pencegahan dimaksud juga termasuk dalam penanganan COVID-19. KPK bersama Kemensos serta kementerian dan lembaga lain hingga pemerintah daerah pun sudah dilibatkan. Artinya tutur Firli, KPK sudah melakukan upaya-upaya pencegahan secara serius.
“Bapak Menteri Sosial dalam hal ini saudara JPB beberapa kali datang ke KPK, tentu itu adalah dalam rangka pencegahan,” tegas Firli saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Minggu, 6 Desember 2010.
Mantan kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Baharkam) Mabes Polri ini mengungkapkan, upaya pencegahan terkait dengan penanganan COVID-19 di antaranya, satu, Surat Edaran (SE). Masing-masing yakni SE Nomor 8 Tahun 2020 tertanggal 2 April 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dua, SE Nomor 11 Tahun 2020 bertanggal 21 April 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Data Non DTKS dalam Pemberian Bantuan Sosial ke Masyakarat. Tiga, Surat KPK terkait pengelolaan sumbangan dan bantuan masyarakat yang tidak termasuk gratifikasi.
ADVERTISEMENT
“Surat edaran tersebut menjadi panduan dan rambu-rambu agar tidak terjadi tindak pidana korupsi berdasarkan pemetaan KPK atas titik-titik rawan korupsi dalam penanganan pandemi Covid-19,” ujarnya.
Firli menjelaskan, di dalam SE Nomor 8 Tahun 2020 telah jelas KPK menyampaikan dan mengultimatum delapan aspek sebagai rambu-rambu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah saat pelaksanaan pengadaan barang jasa di masa pandemi. Delapan rambu itu di antaranya jangan pernah menerima kick back, menerima gratifikasi, berbuat curang, ada konflik kepentingan dalam pengadaan, dan membiarkan terjadinya korupsi.
“Ada delapan rambu-rambu supaya tidak terkena kasus korupsi. Disebutkan semua,” paparnya.
Kolase Surat Edaran KPK Nomor: 8 Tahun 2020. Foto: Sabir Laluhu.
Dia melanjutkan, selain itu KPK juga bersama Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh dan Juliari selaku Mensos me-launching fitur “JAGA Bansos” secara virtual pada Mei 2020. Fitur ini, kata Firli, sebagai upaya pencegahan dan pengawasan bansos di masa pandemi. Bahkan saat deklarasi fitur itu, tutur dia, hadir juga secara virtual para gubernur, bupati, dan wali kota seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Saat declare, hadir juga Menteri Sosial saudara JPB. Kita sampaikan. Jadi upaya-upaya pencegahan sudah kita lakukan,” ungkap Firli.
Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara menambah daftar panjang menteri era pemerintahan Presiden Joko Widodo sekaligus kader partai yang menjabat menteri berurusan dengan KPK. Sebelum menjadi tersangka, Edhy adalah Wakil Ketua Umum Bidang Keuangan dan Pembangunan Nasional DPP Partai Gerindra kurun 2012-2020. Sedangkan Juliari merupakan Bendahara Umum Bidang Program DPP PDIP periode 2019-2024.
Pada periode sebelumnya, dua menteri era Presiden Joko Widodo di Kabinet Kerja lebih dulu merasakan tajamnya “pisau” penindakan KPK. Masing-masing ada Menteri Sosial kurun 17 Januari hingga 24 Agustus 2018 Idrus Marham (kini mantan terpidana) dan Menteri Pemuda dan Olahraga kurun 2014-2019 Imam Nahrawi (perkara telah divonis di tingkat banding).
ADVERTISEMENT
Yang tak boleh dilupakan juga oleh kita yaitu Idrus dan Nahrawi merupakan kader sekaligus politikus senior di partai masing-masing. Idrus pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus Plt Ketua Umum DPP Partai Golkar. Sedangkan Nahrawi pernah menjadi Sekretaris Jenderal DPP PKB periode 2008-2014.
Lebih khusus untuk Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara serta Kementerian Kelautan dan dan Kementerian Sosial, jauh sebelumnya pun sudah ada contoh, yang seharusnya menjadi pelajaran serius dan berharga. Musababnya dua menteri era pemerintahan lama pun terjerembab. Masing-masing yaitu bekas terpidana Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong periode 2001-2004 Rokhmin Dahuri dan bekas terpidana Menteri Sosial dua periode kurun 2001 hingga 2009 Bachtiar Chamsyah. Perkara Rokhmin dan Bachtiar waktu itu pun ditangani KPK.
ADVERTISEMENT
Contoh nama Idrus dan Bachtiar menjadi indikator kelima. Sekali lagi, seharusnya siapa pun pejabat publik jangan sekadar omongan dan komitmen saja dalam pencegahan korupsi. Tapi bertindak. Indikator keenam, dugaan perbuatan penerimaan suap Juliari juga mencoreng nilai empati dan nilai-nilai kesetiakawanan sosial. Apalagi, 20 Desember 2020 adalah peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN).

Festivalisasi atau Gahar atau Denyut

Langkah penindakan yang dilakukan KPK kurun 10 hari terakhir serta beberapa hari dan pekan sebelumnya atau memasuki semester II tahun pertama pimpinan KPK periode 2019-2023 patut diberikan apresiasi. Alasannya, saat awal menjabat hingga semester I tahun pertama, KPK lebih khusus lima pimpinan KPK dibombardir dengan berbagai kritik karena pimpinan KPK penuh dengan gimik, ucapan, dan slogan yang tak perlu. Empat OTT secara berturut-turut kurang dari dua pekan seperti “membangunkan” kembali harapan publik ke KPK.
ADVERTISEMENT
Tapi tahukah kita bahwa OTT yang dilakukan KPK era pimpinan sebelumnya bahkan yang bertalu-talu tanpa henti pernah menuai kritik pedas dari pimpinan KPK yang sekarang menjabat maupun anggota/pimpinan DPR periode sebelumnya?.
Dari unsur pimpinan KPK yang sekarang menjabat, saat masih menjadi calon pimpinan atau baru menjabat sebagai pimpinan ada yang mengatakan bahwa KPK seperti orang mabuk hingga OTT KPK hanya hiburan. Anggota/pimpinan DPR periode sebelumnya bahkan mengutuk OTT KPK sebagai festivalisasi dan barang recehan. Siapa yang menyampaikan pernyataan-pernyataan seperti itu? Buka dan telusuri saja di mesin pencari a.k.a internet, pasti ketahuan orangnya.
Guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, punya penilaian tersendiri atas “rajinnya” KPK melakukan OTT pada akhir November hingga awal Desember 2020. Tindakan tersebut perlu diapresiasi. Tapi tutur Zainal, jika dikomparasikan OTT pada tahun 2020 dengan tahun 2019 atau tahun 2018, maka jumlahnya sangat jomplang dan menurun drastis. Berkurangnya jumlah OTT dihubungkan Zainal dengan perubahan Undang-Undang (UU) KPK dari UU Nomor 30 Tahun 2020 (UU lama) ke UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU baru) serta pemberlakuan UU baru.
ADVERTISEMENT
“Saya ingin mengatakan, kita terlalu terburu-buru kalau ada yang menyimpulkan bahwa KPK sudah kembali ke track-nya atau KPK ternyata tidak dilumpuhkan karena perubahan UU. Ini menurut saya, itu kesimpulan terlalu sumir, ya, kepagian. Saya bahkan mengatakan di berbagai media bahwa, OTT yang dilakukan KPK belakangan, itu adalah membuktikan bahwa denyut KPK masih ada. Itu saja,” tegas Zainal.
Pernyataan Zainal disampaikan saat diskusi bertajuk “Evaluasi 1 Tahun Pemberantasan Korupsi, Benarkah Sudah Kiamat?” yang dihelat Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). Tayangan diskusi secara uruh dilansir melalui akun YouTube BEM UI pada Senin, 7 Desember 2020.
Zainal melanjutkan, sekali lagi OTT yang dilakukan KPK belakangan ini sebagai pertanda bahwa KPK masih bernafas (still Beating), masih berbunyi, dan masih berdenyut. Tapi ibarat manusia, kalau KPK disuruh lari sprint 100 meter atau kalau disuruh berlari maraton 42 kilometer, maka Zainal saya meyakini pasti kolaps.
ADVERTISEMENT
“Rayakan itu sebagai sebuah denyutan, bukan merayakan itu sebagai sebuah kemenangan. Terlalu cepat kalau kita merayakannya sebagai sebuah kemenangan,” ungkapnya.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM ini menggariskan, semestinya KPK punya peta jalan (road map) yang jelas dalam pemberantasan korupsi. Khusus untuk penindakan, maka seharusnya KPK membersihkan penegak hukum. Musababnya, sekalipun KPK banyak menangkap atau mentersangkakan orang tapi ketika masuk ke dalam proses penegakan hukum yang buruk, maka yang keluar tetaplah sampah.
“Yang saya khawatirkan adalah kalau kita capek nyari orang, nangkapin, tetapi masuk dalam sebuah proses penegakan hukum yang buruk, masuk dalam pengadilan yang buruk, masuk dalam penjatuhan sanksi (vonis) yang buruk, masuk dalam proses pemasyarakatan yang buruk, menurut saya, kita tidak menyelesaikan masalah. Itu tidak bisa disebutkan sebagai pemberantasan korupsi yang baik,” katanya.
ADVERTISEMENT
Dia lantas menyampaikan alasan kenapa penanganan KPK terhadap aktor dari unsur yang menjalankan penegakan hukum menjadi sangat penting. Bagi Zainal, kalau penegakan hukum bersih siapa pun dibawa hingga pengadilan maupun proses pemasyarakatan, maka yang keluar akan bersih. Untuk itu dia berharap, Kejaksaan dan Kepolisian “dibersihkan” oleh KPK. Dia meyakini bahwa di situlah konsep trigger mechanism KPK.
“Bukan di level korsup (koordinasi dan supervisi). Korsup adalah salah satu sisi. Tapi kepercayaan saya adalah bersihkan, supaya kemudian koordinasi dan supervisi bisa berjalan. Supaya kemudian mereka bisa menjadi trisula pemberantasan korupsi,” ujar Zainal.
Oke, balik lagi ke tindakan atau kinerja semester II KPK pada tahun 2020 lebih khusus empat OTT terakhir. Bisa jadi tindakan ini memang sebagai jawaban yang ingin diberikan lima pimpinan KPK periode 2019-2023 atas kritik atau cibiran atau pesimistis sejumlah pihak. Boleh juga disebut KPK sedang atau makin gahar. Silakan dan sah-sah saja.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu saya sepakat dengan Zainal Arifin Mochtar bahwa KPK masih berdenyut. Karena, yang tak boleh kita abaikan adalah tindakan atau kinerja KPK bukan semata hasil kerja pimpinan semata. Pasalnya, ada para personel tim KPK yang bekerja di balik layar. Jika disebutkan satu persatu nama beserta rekam jejaknya, maka mungkin akan menjadi satu tulisan tersendiri bahkan buku berjilid-jilid. Banyak dari mereka tak pernah berharap sanjungan dan pujian. Karenanya, mereka yang masih bertahan di KPK perlu didukung untuk memberikan sumbangsih terbaik bagi bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.
Kebebalan seperti contoh-contoh di atas rasanya tetap akan terulang, jika pencegahan korupsi masih sekadar retorika, pakta integritas hanya semata tulisan, dan janji/sumpah jabatan hanya ucapan tak berbekas. Bebal yang tak berkesudahan juga jelas dimulai dari niat dan pikiran, atau dengan kata lain, korupsi sejak dalam pikiran. Pencegahan korupsi tak bisa hanya disematkan di pundak KPK tapi juga pemerintah, partai politik, para kepala daerah, kalangan dunia usaha, dan masyarakat secara bersama-sama dan berkesinambungan. Semoga peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia), 9 Desember, bukan sekadar perayaan dan formalitas.
ADVERTISEMENT
Jika melihat para pelakon korupsi baik yang ditangani KPK maupun Kejaksaan atau Kepolisian, rata-rata adalah orang terpelajar. Mereka memiliki gelar pendidikan yang mentereng bahkan ada yang profesor. Mestinya mereka, dengan mengutip pernyataan Pramoedya Ananta Toer, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.” Sebagai tambahan, adil merupakan bagian utama dari nilai-nilai integritas yang telah sejak lama disampaikan, dikampanyekan, dan diingatkan KPK secara terus-menerus, berkelanjutan, dan berkesinambungan. Dan karena itulah, meminjam pernyataan Pramoedya tadi, para pejabat publik termasuk para amtenar sudah harus berintegritas sejak dalam pikiran dan niat apalagi dalam tindakan.[]