Konten dari Pengguna

Standar Hidup Layak RI Tidak Relevan? : Ketika Data yang Benar Disalahpahami

Sofi Zamzanah
Mahasiswa Komputasi Statistik Politeknik Statistika STIS
7 Januari 2025 10:13 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofi Zamzanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nilai standar hidup layak di Indonesia dinilai terlalu kecil (Ilustrasi oleh canva.com)
zoom-in-whitePerbesar
Nilai standar hidup layak di Indonesia dinilai terlalu kecil (Ilustrasi oleh canva.com)
ADVERTISEMENT
Data merupakan alat penting untuk mendukung kebijakan dan keputusan publik. Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis standar hidup layak di Indonesia sebesar Rp1,02 Juta per bulan. Hal itu sontak membuat publik ramai memperdebatkan angka ini, banyak yang menilai tidak relevan dengan kondisi nyata. Angka tersebut tak hanya memicu perdebatan, tetapi juga tudingan yang menyudutkan BPS sebagai lembaga statistik resmi di Indonesia, lembaga ini dinilai tidak akurat dan sering "salah" dalam merilis data.
ADVERTISEMENT
Gelombang perdebatan ini semakin memanas setelah berbagai media membahas isu tersebut. Banyak netizen mengkritik angka tersebut terlalu kecil untuk dianggap layak di era saat ini, tanpa memahami konteks dan metodologi dibalik perhitungan angka tersebut. Data BPS memang sering menjadi sasaran misinterpretasi data, yang kemudian berkembang menjadi hoaks publik. Situasi ini semakin diperburuk dengan adanya media sosial yang lebih fokus menarik perhatian publik, sehingga seringkali menyajikan informasi tidak utuh dan dikemas dalam bentuk clickbait yang menjebak. Media sosial merupakan platform yang banyak menimbulkan misinterpretasi data.
Misinterpretasi data kerap menjadi akar dari munculnya suatu hoaks yang meresahkan di masyarakat. Hal ini dikarenakan masih rendahnya literasi akan data sehingga masih banyak orang yang belum bisa memahami dan menafsirkan data dengan benar. Carlson & Johnston (2015) menunjukkan bahwa literasi data menjadi kunci dalam mengurangi risiko misinterpretasi yang dapat berdampak besar pada penyebaran hoaks. Misinterpretasi data dapat berdampak pada penyebaran informasi yang tidak akurat dan memicu kebingungan, bahkan dapat menimbulkan keresahan atau konflik. Selain dapat membuat fakta menjadi tidak jelas, misinterpretasi data juga dapat menurunkan kepercayaan publik akan data statistik resmi. Untuk mengatasi dampak dari misinterpretasi data tersebut, tentu diperlukan peningkatan pada literasi data masyarakat.
ADVERTISEMENT

Framing Media Memperparah Kondisi Minimnya Literasi Data di Masyarakat

Sebuah akun media sosial Instagram beberapa waktu yang lalu menimbulkan kontroversi setelah mengunggah informasi yang memicu misinterpretasi terkait data standar hidup layak yang dikeluarkan oleh BPS. Akun media sosial tersebut mengunggah postingan yang menyebutkan “Standar hidup yang layak di RI naik jadi Rp1,02 juta per bulan”, kemudian menimbulkan kebingungan dan misinterpretasi di kalangan netizen karena kurangnya informasi penjelas yang komprehensif tentang data tersebut. Tercipta perdebatan di kalangan netizen terkait maksud dari angka 1,02 dan kata “layak”. Beberapa dari mereka salah mengartikan angka tersebut sebagai angka yang menyatakan rata-rata biaya per bulan yang perlu dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup di Indonesia.
“Hah sejuta sebulan? Sendiri? Buset ART gua single gajinya udah hampir 3 juta”, salah satu cuitan dari netizen (Folkative, 2024). Kebingungan ini semakin diperluas karena tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait konteks, metodologi, atau cakupan dari publikasi data dalam postingan tersebut. Alih-alih memahami konteks atau metodologi yang digunakan, netizen justru langsung menyalahkan BPS atas kinerja dan hasil data yang dihasilkan meskipun hanya berdasarkan satu kalimat dalam postingan tersebut.
ADVERTISEMENT
Di era digital saat ini, media sosial telah berkembang menjadi ruang opini publik yang masif dan memungkinkan masyarakat membuat berita dan membentuk opini. Framing media memiliki pengaruh dalam memperburuk kondisi rendahnya literasi data di masyarakat. Media massa memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk persepsi publik (Kusnanti dan Yusuf, 2024). Ketika media menyajikan suatu informasi secara selektif atau terdistorsi, perspektif publik akan terpengaruh meski tanpa perlu memberikan penjelasan terkait data yang sebenarnya. Di sisi lain, media cenderung lebih fokus pada headline yang menarik perhatian tetapi kurang memperhatikan keselarasannya dengan kebenaran isi yang disampaikan. Kekeliruan dalam framing seperti ini dapat memperbesar kemungkinan misinterpretasi yang berakibat mempersulit masyarakat dalam membedakan antara kebenaran (fakta) dan pendapat (opini).
ADVERTISEMENT

Makna Sebenarnya dari Standar Hidup Layak

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit untuk mengukur capaian pembangunan kualitas hidup manusia (BPS, 2021). Salah satu dimensi penyusun pembentukan IPM adalah Dimensi Standar Hidup Layak yang dihitung melalui pendekatan pengeluaran riil per kapita per tahun. Standar hidup layak merupakan besaran barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat, dimana semakin tinggi nilainya kan menunjukkan kualitas hidup yang semakin baik. Nilai ini tidak menunjukkan batasan nilai tertentu untuk menunjukan kriteria kelayakan (BPS, 2024). Konsep yang diterapkan merupakan adopsi dari United Nations Development Programme (UNDP). Dimensi standar hidup layak didapat dengan perhitungan rata-rata pengeluaran hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang telah disesuaikan dengan inflasi dan paritas daya beli.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan IPM 2024 yang telah dirilis oleh BPS pada tanggal 15 November 2024, pengeluaran riil per kapita Indonesia adalah sebesar 12,34 juta rupiah per tahun atau senilai dengan 1,03 juta rupiah per bulan. Apabila jumlah ini dikonversi dengan harga berlaku tahun 2024, akan menjadi sebesar Rp18 juta per tahun atau Rp1,5 juta per bulan per kapita. Nilai ini merupakan gambaran rata-rata nasional yang mana tentu bervariasi antar provinsi atau kabupaten/kota di Indonesia.

Dampak Fatal Misinterpretasi Data

Misinterpretasi data statistik tidak hanya menyebabkan kebingungan, tetapi juga dapat membawa dampak yang lebih fatal dalam pengambilan kebijakan publik dan stabilitas sosial. Informasi yang salah atau disalahartikan yang tersebar di media sosial dapat membentuk opini publik yang keliru. Fenomena ini bisa berdampak fatal, karena menurut Latifah, Fatma, dan Najicha (2022), media sosial terbukti efektif untuk menyampaikan aspirasi masyarakat ke pemerintah, sehingga apa yang terjadi di media sosial akan berimplikasi pada formulasi kebijakan publik. Hal ini berpotensi menghasilkan kebijakan yang tidak tepat sasaran, yang pada gilirannya dapat memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi. Cairney & Oliver (2020) menyatakan bahwa kebijakan yang diambil tanpa pemahaman yang benar terhadap data berisiko memperburuk kondisi sosial dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ketika data disalahpahami dan informasi yang salah menyebar dengan luas dapat memperburuk ketidakstabilan sosial. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah dapat meningkat, bahkan memicu aksi protes dan kerusuhan. Jika hal ini tidak ditangani dengan hati-hati, misinterpretasi ini bisa menciptakan ketegangan sosial yang lebih besar. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan lembaga statistik resmi untuk memastikan bahwa data statistik disajikan dengan akurat dan mudah dipahami, sehingga tidak menimbulkan misinterpretasi. Meningkatkan literasi data di kalangan masyarakat juga menjadi kunci untuk mencegah misinterpretasi yang dapat berujung pada kegagalan kebijakan publik dan ketidakstabilan sosial.

Kesimpulan

Kesalahpahaman terhadap data, seperti yang terjadi pada perdebatan tentang standar hidup layak, menunjukkan betapa pentingnya pemahaman yang tepat tentang data statistik. Untuk mengatasi hal ini, masyarakat perlu peduli tentang bagaimana data dihimpun, dianalisis, dan disajikan. Selain itu, media juga harus memperhatikan cara mereka menyajikan informasi, agar tidak menambah kebingungan atau menyebarkan misinformasi. Dengan meningkatkan literasi data dan penyajian informasi yang lebih tepat, kita dapat menghindari misinterpretasi yang merugikan masyarakat dan menjaga integritas data yang digunakan untuk kebijakan publik. Ingat bahwa data tidak pernah bohong, tetapi sering disalahpahami, Oleh karena itu, mari bersama meningkatkan literasi data, menghindari framing sensasional, dan mempercayai data yang dikeluarkan lembaga resmi seperti BPS untuk membangun opini publik yang sehat.
ADVERTISEMENT
Referensi
ADVERTISEMENT