Ibu, KDRT, dan Hegemoni Kekuasaan

Syafbrani ZA
X Cekgu II Suami penuh waktu dan penulis paruh waktu II Menulis buku, diantaranya: UN, The End... dan Suara Guru Suara Tuhan II Ketua Umum PTIC DKI 2021/2026 II Bergiat di Univ. Trilogi - Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Univ. Riau
Konten dari Pengguna
22 Desember 2022 14:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafbrani ZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ibu dan Keharmonisan Dalam Rumah Tangga. Foto: jcomp/freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ibu dan Keharmonisan Dalam Rumah Tangga. Foto: jcomp/freepik
ADVERTISEMENT
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) melalui data yang dipublikasikannya menunjukkan angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Angkanya menyentuh 90% atau setara dengan 23.047 korban kekerasan yang dialami oleh perempuan. Lebih lanjut, ditemukan bahwa 57,9 persen tempat kejadiannya adalah di rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Tentu, diantara bahkan mayoritas korban tersebut adalah para istri — yang juga Ibu bagi anak-anaknya. Mengapa ini terjadi? Apapun sumber pemicunya, tapi hadirnya hegemoni kekuasaan dipandang sebagai landasan kuat sehingga pelaku merasa ‘pantas’ melakukannya. Setidaknya seperti itu kesimpulan dasar saya.
Satu detik setelah prosesi ijab qabul, secara aklamasi seorang suami secara sah langsung didaulat sebagai kepala rumah tangga sekaligus pemimpin pemerintahan di keluarga barunya. Sebagai kepala rumah tangga, tentu akan menghadirkan kuasa atas istri dan juga anak-anaknya. Sebagai pemimpin keluarga, tentu akan menghadirkan berbagai kebijakan dan arahan. Tanggung jawab penuh sekaligus kekuasaan ada di kendalinya.
Apakah kelak perjalanan kekuasaan ini menjadi cerita yang penuh kasih sayang atau sebaliknya? Penuh kemelut-kemelut kekerasan. Cara pandang terhadap kekuasaan yang dimilikinyalah akan menjadi penentu.
ADVERTISEMENT
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (UU PKDRT) sendiri mendefinisikan KDRT sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Membaca data dari realitas KDRT, khususnya kekerasan kepada istri yang datang silih berganti. Entah itu bersumber dari bisik-bisik tetangga maupun yang tayang eksklusif di layar kaca. Semuanya mengingatkan kita (setidaknya saya) akan berbagai tragedi kemanusian yang terjadi di negeri ini.
Ada tragedi menghabiskan nyawa seorang bawahan atas inisiasi atasan yang seharusnya memberikan perlindungan. Ada tragedi penangkapan narkoba yang melibatkan oknum aparat yang seharusnya bertugas memberantas peredaran barang haram ini. Serta tragedi - tragedi lain yang landasan kehadirannya tidak bisa terlepas dari adanya rasa dalam memiliki kuasa. Ada relasi antara kekerasan dan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Tidak peduli sekecil apapun bentuk kuasa yang dimiliki. Apalagi jika kekuasaan itu tak terbatas. Potensi kekerasan yang hadir bisa semakin besar. Baik berupa kekerasan yang bernuansa intimidatif, kekerasan fisik, atau yang sampai mengancam hilangnya nyawa.
Asbab Kekuasaan
Banyak hal yang menyebabkan lahirnya kekuasaan. Selain pangkat dan jabatan yang secara legal melahirkan hubungan hirarkis. Ada juga kekuasaan yang lahir karena senioritas, lebih dahulu lahir atau lebih dahulu hadir, kepintaran, kekuatan fisik atau metafisik, sampai pada tingkat 'religiusitas.' Termasuk juga kekuasaan dalam melahirkan kebijakan, kekuasaan karena kepemilikan senjata, dan kekuasaan dengan basis massa.
Di perguruan tinggi misalnya. Tempat berkumpulnya orang-orang pintar. Otorisasi dosen sebagai penentu ‘hidup - mati’ mahasiswa yang tertuang dengan angka A, B, C dan seterusnya itu kadang menjadi modal untuk melakukan tindak kekerasan. Diantaranya yang paling santer kita dengar adalah kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Termasuk relasi guru - siswa siswa di sekolah dengan apapun latar satuan pendidikannya. Tempat yang kita anggap sebagai medium untuk melahirkan humanisme ini juga sering rontok oleh tindakan oknum yang menyalahgunakan kuasanya. Tidak sedikit siswa (perempuan) yang menjadi korban.
Selagi ada kuasa, selalu ada kecenderungan untuk melahirkan kekerasaan. Bisa jadi jika kita jeli, kekerasan itu juga sering muncul di lingkaran terdekat kehidupan kita masing-masing. Bahkan tanpa disadari kita menjadi bagian dari pelakunya. Melakukan karena kebetulan merasa punya kuasa.
Humanisme Kekuasaan
Cara memandang atas kuasa yang dimiliki secara sederhana bisa dianalogikan dengan melihat permainan panjat pinang. Permainan yang sering menghiasi peringatan kemerdekaan di negeri ini. Meskipun tujuannya satu dan tantangannya sama. Namun, jika dikaitkan dengan kekuasaan, ada dua sudut pandang terhadap sekelompok orang yang berupaya menuju puncak batang pinang itu.
ADVERTISEMENT
Pertama, memandang kekuasaan itu seperti mereka yang berada di puncak. Semakin tinggi posisinya, semakin berkuasalah dia. Tentu sudut pandang ini akan berimplikasi pada beban yang diberikan. Artinya, ketika semakin berada di atas maka otomatis akan memberikan beban kepada bawahannya.
Setiap pundak bawahan hanya akan menjadi beban untuk setiap yang di atasnya. Kasarnya, atas(an) berhak menginjak bawah(an).
Kedua, memandang kekuasaan itu seperti mereka yang berada di bawah. Dengan kuasa (dalam hal ini adalah otot dan semangatnya) mereka yang di bawah dengan suka rela mengorbankan pundak-pundaknya untuk diberikan beban agar para pengikutnya bisa semakin tinggi dan mencapai puncak.
Kekuasaan yang diberikan bukan untuk menginjak, tetapi ada realisasi pengorbanan dan keberanian menanggung beban sebagai bentuk tanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Cara pandang kedua itulah sebenarnya kondisi ideal yang diharapkan. Leiden is lijden. Memimpin adalah menderita. Bukan membuat perkara dengan menghadirkan berbagai bentuk kekerasan. Kewenangan bukan berarti harus diiringi dengan kesewenang-wenangan.
Sepertinya kita memang butuh imunisasi keteladan terkait bagaimana menjalankan kekuasaan tanpa harus melahirkan kekerasan. Baik dalam bentuk kepemimpinan secara struktural, maupun bentuk-bentuk kepemimpinan di berbagai lini kehidupan lainnya. Termasuk kepemimpinan dalam lingkup kelompok sosial terkecil. Rumah tangga.
Jadi ketika kekerasan, kesewenang-wenangan, dan dengan segala bentuk subtitusinya tidak pernah alpa hadir di berbagai panggung kekuasaan. Sangat tidak mungkin kita berharap KDRT itu bisa dimusnahkan.
Adanya akan selalu melingkar tanpa titik akhir. Dari satu generasi ke ke generasi selanjutnya. Dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya.
ADVERTISEMENT
Hari ini, bersempena dengan peringatan Hari Ibu, 22 Desember 2022, yang selalu dijadikan momentum untuk melakukan selebrasi kecintaan kepada sosok terbaik itu, sebaiknya juga diiringi dengan usaha untuk meningkatkan kesadaran serta komitmen diri agar bisa bersama-sama memberikan ruang aman bagi para perempuan — yang kelak juga akan menjadi sosok Ibu.
Mulai hari ini, ketika kita memiliki kuasa dengan sekecil apapun lingkupnya, apakah sanggup dilalui dengan nirkekerasan? Apalagi terhadap sosok perempuan yang lebih membutuhkan tutur lembut dan laku agung itu.
Persis seperti senandungnya Ada Band: “Karena wanita ingin dimengerti, lewat tutur lembut dan laku agung…”
Selamat merayakan Hari Ibu a.k.a Emak, Nyak, Mama...
Selamat menghadirkan 'KDRT' a.ka. Keharmonisan Dalam Rumah Tangga...
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah suami penuh waktu