Konten dari Pengguna

KLB Dispensasi Nikah, (Bukan) Anak yang Salah?

Syafbrani ZA
X Cekgu II Suami penuh waktu dan penulis paruh waktu II Menulis buku, diantaranya: UN, The End... dan Suara Guru Suara Tuhan II Ketua Umum PTIC DKI 2021/2026 II Bergiat di Univ. Trilogi - Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Univ. Riau
8 Februari 2023 16:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafbrani ZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perkawinan anak. Foto: Shutter Stock via kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perkawinan anak. Foto: Shutter Stock via kumparan.com
ADVERTISEMENT
Di balik jumlah kasusnya yang fantastis, namun jika ditelusuri tragedi pernikahan usia anak adalah fakta dilematis yang sebenarnya masih bersemayam kuat di tubuh kehidupan kita. Batasan usia minimal memang telah diperbaharui, hanya saja itu tidak otomatis menjadi kekuatan untuk menekan lajunya pernikahan usia anak. Ada ‘jalan keluar’ yang dilegalkan. Dispensasi nikah.
ADVERTISEMENT
Di situlah salah satu letak dilema tersebut. Ketika dispensasi nikah diberikan, kesan adanya batasan usia yang secara legal telah ditetapkan menjadi pudar. Akibat selanjutnya potensi pernikahan anak justru semakin meningkat. Toh ada dispensasi?
Sebaliknya, ketika tidak diperbolehkan akan berdampak pada munculnya benturan psikologis, sosial, maupun budaya. Apalagi ketika jalan nikah siri menjadi pilihan.
Harus diakui, bertahun-tahun sudah drama pernikahan dini ini muncul. Hampir setengah abad kemudian, negara ini baru bersepakat untuk melakukan revisi atas usia perkawinan.
Sebelumnya batas usia perkawinan untuk laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Kini melalui UU No. 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur minimal kedua calon mempelai harus berusia 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Tentu, mengubah ‘kebiasaan’ tidak semudah mengubah pola pandang terkait usia pernikahan ini. Apalagi ketika proses edukasi hanya sebatas sosialisasi, sulit untuk berharap capaiannya signifikan. Sementara itu, berbagai ‘pemicu’ hadirnya pernikahan dini datang dari berbagai sisi.
Bahkan harus diakui lagi, baik secara sengaja ataupun tidak, banyak medium-medium yang terlibat. Singkat cerita, kita baru tersentak ketika angka dispensasi nikah mulai mencuat dengan jumlahnya yang telah mencapai puluhan ribu kasus itu. Itu pun kalau tersentak, kalau tidak? Merasa biasa-biasa saja?
Dalam siaran persnya, KemenPPA mengungkapkan satu tahun setelah batas perkawinan dinaikkan terjadi lonjakan permohonan dispensasi nikah. Meskipun dua tahun kemudian, yakni 2021 dan 2022 dinyatakan terjadi penurunan. Namun sayangnya, penurunan itu tidak membuat angka permintaan dispensasi nikah menjadi ramping. Badilag (Badan Peradilan Agama) mencatat permohonan dispensasi nikah pada tahun 2021 mencapai 60 ribuan, sedangkan tahun 2022 ada sekitar 50 ribuan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pemerintah sendiri melalui Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA) hanya berani membuat target penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74% pada tahun 2024 dan 6,94% pada tahun 2030.
Target tersebut secara tidak langsung menandakan persoalan anak ini belum bisa dituntaskan secara sempurna. Padahal, di sisi lain kita sedang semangat membangun mimpi-mimpi yang fantastis: Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045.
Nah, terlepas sudut pandang mengenai target penurunan angka perkawinan anak tersebut. Pastinya mulai saat ini, sudah saatnya semua elemen masyarakat saling berkolaborasi untuk bergerak. Tidak hanya saling mengarahkan telunjuk semata.
(Bukan) Anak yang Salah
Ada fakta tragis yang juga tidak bisa kita tutupi terkait permohonan dispensasi nikah ini, yaitu pergaulan bebas. Anak-anak itu ada yang terjerumus pada perbuatan yang menyebabkan kejadian hamil di luar nikah.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi yang demikian, PR besar ini tidak akan bisa dituntaskan dengan menyalahkan mereka yang memang sudah tercebur dalam kubangan kesalahan. Termasuk juga menjadikan kelompok usia mereka hanya sebatas target edukasi. Berharap mereka segera paham, kemudian bisa menjadi seperti apa yang kita harapkan.
Padahal akar masalah itu bukan pada anak-anak. Mereka hanyalah korban dari ketidaksiapan kita dalam menata kehidupannya. Juga korban akibat ketidakmampuan kita memberikan asupan-asupan keteladanan hidup.
Tidak hanya di sekolah, rumah dan lingkungan di mana anak-anak itu beraktivitas adalah medium belajar mereka. Medium-medium inilah yang harus dievaluasi terlebih dahulu.
Apalagi di tengah terpaan kemajuan dunia informasi dan teknologi. Jangankan anak-anak yang semangat ‘ikut-ikutannya’ masih tinggi. Beragam kasus yang ditampilkan menunjukkan tidak sedikit para orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan bahkan tokoh agama menjadi gelagapan serta terbawa arus zaman. Hanyut dalam pergaulan asusila sekaligus melabrak norma agama dan hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut juga menjadi jawaban atas kekagetan orang tua dewasa ini terkait mengapa begitu akrabnya anak-anak dengan kosa kata yang berkonten ‘dewasa.’ Tentulah penyebarannya dimulai di salah satu medium tadi.
Situasi semakin parah ketika semua medium ini sudah terkontaminasi. Jangankan berharap anak-anak bisa bebas dari pengaruh pergaulan negatif. Adanya mereka justru berpotensi menjadi korban-korban tindakan asusila. Mengerikan bukan?
Biasa atau Kejadian Luar Biasa?
Kita pasti sepakat bahwa dispensasi nikah ini bukanlah peristiwa biasa. Ini adalah kabar duka yang mendalam. Ada sebab-akibat yang sangat bahaya. Baik itu sebab dispensasi nikah itu diajukan, maupun ketika dispensasi nikah itu telah diberikan. Bukan hanya bahaya bagi anak-anak itu, namun juga keberlangsungan kehidupan bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Selain menjadi salah satu cerminan terkait semakin marak dan bablasnya pergaulan bebas di usia anak. Telah diketahui bersama pernikahan usia anak juga memberikan konsekuensi bahaya pada kesehatan calon ibu, kandungan, dan bayinya nanti. Termasuk kaitannya dengan kasus gizi buruk dan stunting. Belum lagi bicara adanya potensi putus sekolah, KDRT, salah pengasuhan, kemiskinan dan lain sebagainya.
Jujur, saya (dan mungkin Bapak/Ibu yang lainnya) menunggu sekaligus membayangkan ketika fenomena dispensasi nikah ini semakin viral di media. Atau tanpa perlu menunggu viral, para pemimpin bangsa termasuk partai politik saling bergegas untuk menyampaikan keprihatinannya. Minimal melalui media sosialnya masing-masing.
Tidak berhenti di sini, bayangannya selanjutnya adalah keesokan harinya mereka juga bergegas berkunjung ke kantong-kantong daerah yang anak-anaknya menjadi pendaftar dispensasi nikah. Mengevaluasi segera atas adanya kebijakan-kebijakan yang selama ini tidak tepat sasaran.
ADVERTISEMENT
Intinya resah-resah itu mencuat.
Kita pasti sepakat bahwa ini bukan kejadian biasa. Untuk itu, kita juga harus sepakat untuk segera mendeklarasikannya sebagai ‘Kasus Luar Biasa.’ Akan tetapi, mungkinkah?
Akhir kata, mari bersama kita tuturkan harapan "Wahai Pemelihara kami, sesungguhnya kami telah berbuat zalim terhadap diri-diri kami. Jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, sungguh kami termasuk golongan orang-orang yang rugi."