Konten dari Pengguna

Kurikulum Masa Depan Berbasis Iman dan Teknologi

Syamsul Kurniawan
Syamsul Kurniawan yang merupakan dosen IAIN Pontianak ini, merupakan lulusan tercepat dan terbaik Program Doktoral (S3) Studi Islam, Konsentrasi Kependidikan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2021.
3 November 2024 10:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syamsul Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi (Sumber: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi (Sumber: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Oleh: Syamsul Kurniawan (Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)
ADVERTISEMENT
Di tengah deru deras kemajuan teknologi, ada sesuatu yang terasa menggantung—seperti ruang kosong yang menganga, yang menuntut perhatian. Dunia kita berubah dengan sangat cepat, namun apakah hati dan jiwa manusia tetap teguh mengikuti arus yang kian deras? Pada titik ini, kita perlu berhenti sejenak, menengok ke belakang, dan bertanya: Apakah kita masih membawa iman dan moralitas dalam perjalanan ini? Atau, sudahkah kita terjebak dalam kemilau digital yang begitu menggoda namun, diam-diam, mengikis nilai-nilai kemanusiaan kita?
Teknologi telah menjanjikan kita banyak hal. Sejak pintu gerbang “Society 5.0” terbuka, dunia terhubung dengan cara yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Informasi berkejaran dalam hitungan detik, jarak terlipat di antara klik dan layar. Namun, seperti halnya Raja Midas dalam mitos Yunani, kita mulai dihadapkan pada dilema. Apa yang kita sentuh dengan teknologi sering kali berubah menjadi hal yang kita anggap berharga, tetapi dalam kecepatan dan kilauan emas itu, apakah kita menyadari bahwa apa yang benar-benar berharga bisa saja hilang, lenyap tanpa jejak?
ADVERTISEMENT
Di sinilah iman, dengan seluruh kedalaman spiritualitasnya, perlu diletakkan di depan. Bukan sebagai rem yang menghambat kemajuan, tetapi sebagai kompas moral yang mengarahkan ke mana teknologi ini kita gunakan. Pendidikan harus merespons tantangan ini dengan menciptakan kurikulum yang berani menjembatani keduanya—iman dan teknologi. Bukan tugas yang mudah, tetapi inilah saatnya pendidikan mengayomi generasi yang hidup di antara kilauan layar dan kerinduan pada makna. Teknologi hanyalah alat. Namun, jika alat ini kita gunakan tanpa iman, tanpa moralitas, maka ia bisa menjadi bumerang, menghantam balik nilai-nilai dasar kemanusiaan kita.
Moderasi Beragama Sebagai Pilar Penting
Dalam hal ini, moderasi beragama selayaknya menjadi pilar penting dalam menyusun kurikulum masa depan. Moderasi yang dimaksudkan di sini bukan sekadar tentang kepercayaan diri terhadap keyakinan yang kita pegang, tetapi juga tentang bagaimana kita menghargai perbedaan, menebar toleransi, serta memandang keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman. Dalam era digital yang kerap kali diwarnai oleh kebencian dan distorsi narasi keagamaan, kita harus mempertanyakan: Apakah teknologi membawa kita lebih dekat pada nilai-nilai kemanusiaan yang sejati? Ataukah ia justru memisahkan kita, membuat jarak yang tak kasatmata antara satu dengan yang lain?
ADVERTISEMENT
Saat kita mengajarkan anak-anak kita cara menggunakan teknologi, kita tidak boleh melupakan bahwa mereka juga harus diajarkan cara menggunakannya dengan tanggung jawab moral. Di sinilah peran moderasi beragama menjadi semakin relevan. Teknologi membuka akses tak terbatas pada informasi, namun tanpa kemampuan berpikir kritis dan moralitas yang mendalam, siswa bisa terseret arus informasi yang salah, bahkan berbahaya. Media sosial, misalnya, sering kali menjadi medium bagi narasi kebencian yang menyusup dalam balutan agama. Di sinilah pentingnya kurikulum yang tidak hanya mengajarkan kecakapan teknologi, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan seperti adil, berimbang, dan anti kekerasan.
Pendidikan berbasis iman dan teknologi harus membangun siswa yang mampu berpikir kritis, yang mampu melihat setiap informasi dengan mata hati yang jernih. Mereka perlu belajar bahwa iman tidak menghalangi kemajuan, melainkan memberikan arah yang jelas untuk mencapainya. Tanpa iman, kita bisa tersesat di antara hiperrealitas yang diciptakan oleh teknologi, seperti yang diingatkan Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1994). Hiperrealitas ini menjebak kita dalam tiruan, memisahkan kita dari esensi yang sesungguhnya. Nilai spiritual agama, yang seharusnya dalam dan penuh makna, justru tereduksi menjadi sekadar simbol yang dangkal di ruang digital.
ADVERTISEMENT
Iman, dalam konteks ini, harus menjadi penjaga utama dari etika dan moralitas di era digital. Jonathan Haidt dalam The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (2013) mengingatkan bahwa moralitas manusia tidak bersifat individualis, melainkan bersifat sosial—ia tumbuh melalui interaksi dan kerja sama. Di sinilah moderasi beragama berperan: sebagai panduan untuk memastikan bahwa moralitas kita tidak kaku, tetapi juga tidak terperosok dalam relativisme yang tak berprinsip. Moderasi adalah keseimbangan antara keyakinan kuat dan penghargaan terhadap perbedaan. Moderasi mengajarkan kita untuk tetap teguh dalam iman, tetapi juga merangkul perbedaan dengan penuh penghormatan.
Teknologi, meskipun canggih, hanyalah sarana. Kurikulum masa depan harus mempersiapkan generasi muda untuk tidak hanya memahami teknologi secara teknis, tetapi juga secara moral. Tanpa kompas iman, teknologi bisa membawa kita pada kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Kita bisa jatuh dalam perangkap ilusi kemajuan, di mana kita berpikir bahwa semakin canggih teknologi yang kita kuasai, semakin maju pula peradaban kita. Padahal, kemajuan yang tidak dibarengi oleh nilai-nilai moral dan spiritual bisa berubah menjadi bencana.
ADVERTISEMENT
Moderasi beragama menekankan pada sembilan pilar utama: kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghargaan kepada tradisi. Pilar-pilar ini harus dihidupkan dalam kurikulum yang kita susun untuk masa depan. Mengajarkan siswa untuk menghargai tradisi bukan berarti menolak inovasi. Justru, di dalam penghargaan terhadap tradisi, kita bisa menemukan kebijaksanaan yang memandu bagaimana menggunakan teknologi dengan bijak.
Dunia digital yang terus berubah menuntut kita untuk bersikap lebih terbuka terhadap keberagaman. Teknologi memungkinkan kita terhubung dengan berbagai budaya dan agama di seluruh dunia. Kurikulum yang kuat akan memanfaatkan teknologi ini untuk mempromosikan dialog lintas agama, bukan memecah belah. Dalam pendidikan berbasis iman dan teknologi, siswa harus diajarkan untuk menghargai perbedaan, menolak kekerasan, dan mempromosikan perdamaian.
ADVERTISEMENT
Kita berada di ambang masa depan yang penuh tantangan sekaligus harapan. Pendidikan masa depan harus mampu menyatukan iman dan teknologi dalam harmoni yang sempurna. Iman bukanlah beban yang harus ditanggalkan demi mengejar kemajuan, melainkan cahaya yang memandu kita untuk mencapai kemajuan yang sejati—kemajuan yang adil, berimbang, dan manusiawi.
Jika kita gagal dalam tugas ini, kita mungkin akan terjebak dalam tragedi Midas yang baru. Teknologi yang kita banggakan akan berubah menjadi penjara bagi nilai-nilai kemanusiaan. Kurikulum masa depan harus memastikan bahwa “jari di layar” generasi muda selalu dipandu oleh “iman di hati.” Hanya dengan cara ini, kita dapat membangun dunia yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga kaya secara moral dan spiritual. ***
ADVERTISEMENT