Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Faktor Penguasaan Wilayah oleh Masyarakat Jawa dalam Babad Tanah Jawi
11 Juni 2022 12:25 WIB
Tulisan dari Sylvia Hapsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi kekuasaan Jawa, terdapat ideologi "manunggaling kawula lan gusti" yang berarti hubungan pemimpin dengan rakyatnya adalah hubungan yang simetris. Kawula merupakan sebutan untuk rakyat atau hamba yang berstatus rendah dalam masyarakat. Sedangkan gusti merupakan sebutan raja atau pemimpin yang berstatus sosial tinggi di suatu wilayah. Status tersebut dapatkan sejak mereka lahir (mengacu pada garis keturunan). Misalnya seseorang lahir di keluarga biasa, maka orang tersebut akan tumbuh menjadi rakyat biasa yang berstatus rendah pula. Selain dari faktor kelahiran, ada juga dari faktor usaha mereka sendiri untuk mendapatkan status yang lebih tinggi. Namun faktor usaha ini jarang sekali ditemui, karena masyarakat jawa menerima status mereka dengan menganggap taat terhadap raja atau pemimpin sama posisinya dengan ketaatan terhadap tuhan. Dan ada anggapan jika menentang raja itu sama halnya dengan melawan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Dalam Suratman (1989), raja dianggap sebagai wakil Tuhan, sumber hukum, serta pelindung wilayahnya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa faktor keturunan Raja juga dapat memperpanjang masa kekuasaanya dalam masyarakat Jawa.
Setiap pergantian kekuasaan pasti akan dibarengi dengan munculnya wahyu kraton. Wahyu kraton adalah restu gaib dari para leluhur dan alam semesta. Masyarakat Jawa meyakini, bahwa mereka yang menerima wahyu adalah sosok pemimpin sejati yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan hidup rakyatnya.
Dalam tradisi masyarakat Jawa penerimaan wahyu Keraton merupakan faktor kesengajaan yang diciptakan melalui karya sastra istana untuk mengokohkan posisi raja. Pergantian kekuasaan raja sebenarnya berasal dari keturunan keluarga maupun kerabat raja.
Pujangga atau pembuat karya sastra pada waktu itu memiliki ideologi yang didominasi oleh pemikiran raja dan lingkungan istana. Karya sastra yang dibuat pun juga berisi kepentingan kerajaan. Contohnya seperti karya sastra yang dibuat untuk mengokohkan kesakralan serta legitimasi kewahyuan raja.
Pujangga atau pembuat karya sastra pada waktu itu memiliki ideologi yang didominasi oleh pemikiran raja dan lingkungan istana. Karya sastra yang dibuat pun juga berisi kepentingan kerajaan. Contohnya seperti karya sastra yang dibuat untuk mengokohkan kesakralan serta legitimasi kewahyuan raja.
ADVERTISEMENT
Karya sastra sejarah memiliki tiga unsur yaitu menceritakan asal-usul Raja, kisah pembukaan suatu negeri, dan kedatangan Islam di nusantara, yang dimana ketiga unsur tersebut tidak terlepaskan dari mitos sebagai pelengkapnya. Karya sastra pada masa kerajaan didominasi oleh suluk, serat, dan babad yang menggabungkan nilai ajaran tasawuf, etika, dan mistis kejawen. Pada masa inilah sastra seperti babad tanah djawi sebagai representasi kultural budaya keraton yang bercorak Islam.
Babad Tanah Jawi adalah salah satu contoh karya sastra sejarah yang menceritakan pembukaan suatu wilayah negeri sekaligus menjelaskan asal-usul Raja-raja Jawa semenjak pra-Islam sampai Kerajaan Mataram Islam. Dalam sastra sejarah seperti Babad Tanah Jawi, tradisi kekuasaan masyarakat Jawa sangat jelas ditunjukkan dalam bentuk-bentuk kesakralan yang akan menguatkan penerimaan kekuasaan pada keturunan raja-raja Jawa. Babad Tanah Jawi juga menunjukkan bahwa sistem kelas atau kasta pada masa pra-Islam dihidupkan kembali dalam bentuk cerita sejarah untuk menopang kekuasaan wibawa kraton sebagai pusat pemerintahan di tanah Jawa.
ADVERTISEMENT