Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Implementasi Deep Learning, Apa yang Harus Kemendikdasmen Perhatikan?
20 Desember 2024 14:31 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Tantan Hadian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dua pendekatan pembelajaran yang mencuat dikemukakan oleh Pak Mendikdasmen, yaitu pendekatan surface learning dan deep learning, telah menjadi pembicaraan yang sangat menarik di kalangan para praktisi, pemerhati, dan ahli pendidikan.
ADVERTISEMENT
Pendekatan pembelajaran secara mendalam yang dikenal dengan istilah deep learning disinyalir akan diterapkan dalam perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia pada tahun ajaran 2025–2026. Dalam pendekatan tersebut, Mendikdasmen Pak Abdul Mu’ti mencontohkan bahwa pendidik harus memberikan pendekatan pembelajaran dengan tiga 'ful-ful', yaitu mindful, meaningful, dan joyful.
Apakah pendekatan surface learning itu salah, tidak tepat, atau keliru? sehingga Pak Mu’ti kemudian melontarkan perlunya pendekatan deep learning. Tentunya tidak, Pak Mu’ti tidak berbicara bahwa pendekatan surface learning itu salah. Ibarat kita ingin tahu sesuatu, kita harus mengenal luarnya terlebih dahulu sebelum mendalami isinya, begitupun dalam pendidikan.
Yang kurang tepat adalah ketika siswa hanya mengenal surface dari setiap ilmu yang mereka pelajari tanpa mengetahui inti atau kedalaman ilmu tersebut.
ADVERTISEMENT
Deep learning pertama-tama memerlukan kemampuan untuk mengingat dan menggunakan pengetahuan serta keterampilan dasar (Webb, 2005). Pendekatan "tradisional" seperti menghafal dan latihan berulang dapat membekali siswa dengan landasan ini (Hattie, 2012). Namun, masalahnya adalah pengajaran dan pembelajaran sering berhenti di tingkat permukaan (surface).
Merrilyn Goos mengemukakan bahwa surface learning menjadi prasyarat deep learning. Deep learning sendiri mencakup hal-hal esensial seperti mengembangkan ide, mendeteksi pola, menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam konteks baru atau dengan cara-cara kreatif, serta bersikap kritis terhadap argumentasi dan bukti nyata dalam pembelajaran.
Taksonomi Bloom, yang mengkategorikan tingkat pemahaman dan pembelajaran dalam enam tingkatan hierarkis dari rendah ke tinggi: remembering, understanding, applying, analyzing, evaluating, dan creating, memiliki relevansi erat dengan pendekatan surface learning dan deep learning dalam pendidikan. Surface learning berada pada tingkatan remembering dan understanding, sedangkan deep learning sudah berada minimal pada tingkatan understanding, applying, analyzing, evaluating, dan creating.
ADVERTISEMENT
Apakah pendekatan deep learning ini merupakan pendekatan yang baru? Jawabannya juga tentu tidak. Dalam kurikulum nasional kita bajkan sebelum Kurikulum Bebasis Kompetensi (KBK) pun pendekatan ini sudah ada dan sudah mencoba untuk dilaksanakan. Walaupun dalam pelaksanaannya masih mengalami kendala.
Maka sangat wajar jika Pak Mu’ti mengemukakan bahwa deep learning dan tiga 'ful-ful' nya bukanlah kurikulum pengganti Kurikulum Merdeka, tetapi sebuah pendekatan dan metode dalam pembelajaran yang harus diimplementasikan dalam kurikulum apapun untuk menyongsong generasi Indonesia Emas.
Namun demikian, menurut hemat penulis, jika deep learning ingin berhasil maka ada beberapa poin yang harus berubah diperhatikan:
Pertama: Jumlah pelajaran per semester harus dikurangi.
Kurikulum Merdeka tidak ubahnya seperti kurikulum sebelumnya. Bahkan, di beberapa jenjang jumlah pelajaran justru lebih banyak. Sebagai contoh, di kelas 10 siswa SMA diwajibkan mempelajari lebih dari 14 mata pelajaran, karena di lapangan pelajaran IPA tetap dipelajari secara terpisah, yaitu Kimia, Fisika, dan Biologi, tidak terintegrasi. Begitu pula dengan IPS yang mencakup Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, dan Geografi.
ADVERTISEMENT
Bahkan dengan adanya pembelajaran Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), sebagian sekolah menganggap P5 ini seolah menjadi mata pelajaran baru. Ada koordinator gurunya, waktunya terpisah, dan nilainya pun terpisah dari nilai rapor biasa, yaitu terdapat nilai rapor P5.
Dengan masih banyaknya jumlah mata pelajaran per semester, menurut hemat penulis, beban siswa terlalu tinggi sehingga sulit bagi mereka untuk belajar secara mindful, meaningful, dan joyful.
Jika deep learning diprogramkan secara serius oleh Pak Mu’ti, maka sebaiknya jumlah pelajaran tiap semester diatur untuk dikurangi, terutama pada jenjang menengah.
Pengurangan bukan berarti menghilangkan, melainkan diatur agar tidak muncul pada setiap semester. Sebagai contoh, jika di kelas 11 dalam Kurikulum Merdeka ada 13 mata pelajaran, maka di semester ganjil cukup 6 mata pelajaran, dan di semester genap 7 mata pelajaran dengan jumlah jam yang lebih banyak tiap mata pelajaran (penjumlahan semester ganjil dan genap).
ADVERTISEMENT
Menurut hemat penulis, beban siswa cukup dengan mempelajari 6–7 mata pelajaran tiap semester agar lebih memungkinkan dilakukannya pembelajaran deep learning. Ini yang belum dilakukan pada kurikulum sebelumnya.
Kedua: Jumlah topik atau bahasan tiap mata pelajaran dikurangi.
Padatnya topik yang harus dikuasai siswa menjadi salah satu kendala terealisasinya deep learning. Akibatnya, siswa hanya memahami permukaan tiap mata pelajaran.
Diperlukan diskusi mendalam mengenai hal ini antara para ahli di bidang masing-masing (melibatkan perguruan tinggi) dan para praktisi pendidikan seperti guru mata pelajaran, untuk merumuskan topik-topik yang bermakna dan menjadi bekal siswa setelah lulus dari sekolah.
Beberapa materi atau topik yang kurang relevan dan tidak dibutuhkan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun sebagai bekal masa depan siswa, dapat direduksi sehingga fokus pada materi-materi yang esensial saja.
ADVERTISEMENT
Hal ini akan memberikan ruang yang cukup kepada siswa dan guru untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara mendalam sesuai dengan yang disampaikan oleh Pak Mendikdasmen.
Ketiga: Pelatihan Kompetensi Guru
Tidak bisa dipungkiri, keberhasilan pembelajaran sangat bergantung pada peran guru dalam proses tersebut. Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya, yaitu: Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Profesional, dan Kompetensi Sosial
Setidaknya ada dua kompetensi yang dapat dilatih oleh pemerintah, yaitu kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Kedua kompetensi ini, apa pun nama kurikulumnya, harus terus dilatih secara berkesinambungan.
Tentunya pelatihan yang diberikan harus merata kepada setiap guru tanpa memberikan labeling tertentu. Pelatihan yang dilakukan harus relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan guru untuk melaksanakan tugas pembelajaran di kelas.
ADVERTISEMENT
Keterampilan abad ke-21, seperti kemampuan berkolaborasi, berkomunikasi, memecahkan masalah, dan berpikir kritis, yang harus dimiliki siswa saat ini, hanya dapat dicapai jika guru memiliki kompetensi pedagogis yang baik.
Pendekatan deep learning hanya dapat diterapkan oleh guru yang memiliki kompetensi profesional yang baik, yang memahami struktur dan kedalaman materi secara mendalam, sehingga dapat membimbing siswa untuk mempelajari materi lebih dalam dengan pendekatan pedagogis yang tepat.
Keempat: Kewajiban jam mengajar guru 24 jam tatap muka harus ditinjau ulang.
Kewajiban guru yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 20 antara lain meliputi:
• Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
• Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
ADVERTISEMENT
Kewajiban guru bukan hanya melaksanakan pembelajaran tatap muka di kelas, tetapi juga berbagai tugas lain sebagaimana tercantum dalam undang-undang guru dan dosen tersebut.
Kewajiban 24 jam tatap muka harus direvisi dan disesuaikan dengan kondisi lapangan, terutama mengingat banyak tugas tambahan yang diemban oleh guru. Memang, beberapa tugas tambahan guru dapat dihitung dan disesuaikan dengan tambahan jumlah jam pelajaran, namun masih banyak tugas tambahan yang belum diakomodasi.
Sebagai contoh, banyak guru yang ditugaskan menjadi bendahara sekolah karena tidak ada bendahara dari staf tata usaha. Selain itu, ada pula guru yang menjadi staf wakil kepala sekolah, pembina atau pelatih ekstrakurikuler, dan wali kelas.
Dengan adanya tugas tambahan tersebut, waktu guru untuk melayani pembelajaran kepada siswa menjadi terbatas. Oleh karena itu, revisi kewajiban mengajar 24 jam diperlukan, sehingga kepala sekolah dapat menyesuaikannya dengan kondisi di masing-masing satuan pendidikan.
ADVERTISEMENT