Pandemi dan Krisis Data Bansos

Tardi Setiabudi
Tardi Setiabudi lahir di Lebak bertempat tinggal di Kampung Kandangsapi Desa Kandangsapi Kecamatan Cijaku Kabupaten Lebak. Saat ini aktif sebagai pemerhati sosial masyarakat desa dan pengajar di STISIP Setia Budhi Rangkasbitung Kabupaten Lebak
Konten dari Pengguna
30 Juli 2021 20:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tardi Setiabudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pandemi dan Krisis Data Bansos
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Warga di desa saya berbondong-bondong ke Kantor Desa ingin mengambil Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Pemerintah. Kabarnya, bantuan tersebut hanya untuk warga yang terkena dampak COVID-19, eits bukan warganya ya tapi ekonominya yang dihantam. Tentu, merupakan suatu kebahagiaan bagi masyarakat di desa terutama yang berpenghasilan rendah. Apalagi di masa Pandemi COVID-19 sedang surutnya mencari uang yang disebabkan sebagian aktivitas dibatasi. Namun di balik itu, tidak semua warga mendapatkan kebahagiaan itu, justru malah sebaliknya.
ADVERTISEMENT
***
Ada seorang ibu-ibu yang belum tua-tua amat menghampiri saya sambil mengeluh karena tidak mendapatkan bantuan sosial dari Pemerintah. Sementara tetangga dekatnya mendapatkan bantuan. Entahlah, apakah ia iri kepada tetangganya ataukah kecewa kepada pemegang otoritas di wilayah itu. Ia hanya bisa melihat tetangganya berbondong-bondong menuju Kantor Desa seperti nonton sinetron yang beradegan sedih dan kemarahan di televisi. Rasa kecewa dan sedih terlihat dari raut wajahnya saat saya memandangnya.
Jujur saya pun bingung apa yang harus saya lakukan waktu itu. Sementara, saya hanya seorang rakyat biasa, dan tidak punya pengaruh apapun yang bisa mengabulkan keinginannya. Saya tahu, ibu itu termasuk kategori ekonomi yang sama seperti orang-orang yang mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Namun saya tetap mencoba meredam dan menghibur kekecewaannya dengan mengatakan “Sabar ya nanti saya coba tanyakan dan bantu lihat data-datanya di sana.” Ia pun pulang ke rumahnya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya tidak hanya ibu itu saja yang kecewa, ada juga warga yang ekonominya sama bahkan lebih rendah tidak mendapatkan bantuan sosial. Toh kabarnya hanya bagi warga yang ekonominya dihantam COVID-19. Ya wajar-wajar sajalah ibu itu meminta keadilan. Hanya saja, warga yang lainnya lebih banyak menggerutuk di luar sana dan membangun narasi-narasi seperti mengompori yang lainnya. Akhirnya, terjadilah berbondong-bondong mendatangi Kantor Desa dengan maksud meminta keadilan. Saya kira sah-sah saja.
Tiba-tiba saya teringat cerita teman beberapa hari yang lalu, ia mengatakan “Ada tetangga saya pekerjaannya Pegawai Negeri Sipil mendapatkan bantuan sosial dari Pemerintah berupa uang langsung masuk ke rekeningnya tanpa pengajuan dari Pemerintah Desa.” Walaaah kami mendengarnya geleng-geleng kepala kok bisa. Akhirnya, tibalah warga desa berbondong-bondong menuju ATM terdekat ngecek saldonya, berharap siapa tahu dapat "rejeki".
ADVERTISEMENT
Saya merasa, ada kejanggalan penyajian data kepada publik oleh Pemerintah. Yaitu, ketidaksinkronan Pemerintah di atas (Pusat atau Daerah) dengan Pemerintah di bawah (Pemerintah Desa). Keduanya pasti mempunyai data namun berbeda, entahlah data yang mana yang akurat. Kalau itu benar, dari situlah sumber data yang semrawut alias acak-acakan hingga membuat warga kecewa.
Padahal data yang benar adalah data terpadu mulai dari bawah sampai ke atas, harus sama walau pun tidak seratus persen. Sekarang sudah zaman canggih, harusnya tidak lagi disintegrasi data. Sehingga memudahkan warga mengetahui secara transparan, jika ada kekeliruan mudah untuk diperbaiki. Bukankah begitu harapannya.
Kalau ditelaah secara detail, data-data yang disajikan oleh Pemerintah kepada publik sepertinya data lama atau tidak update, atau hanya copy-paste saja tidak mau ribet yang penting anggarannya tersalurkan. Ini pertanda, pengelolaan data yang kurang efektif, sehingga tidak bisa melacak warga mana yang benar-benar ekonominya terhantam COVID-19. Contohnya pada kasus di atas yang sudah saya jelaskan. Dalam perspektif saya, ini seperti main lotre untung-untungan, nomor peserta warga yang keluar saat dikocok itulah yang beruntung.
ADVERTISEMENT
***
Potret keluarga miskin. Dokumentasi Lentera Maluku.
Terlintas dalam benak saya, semakin ingin tahu yang sebenarnya bukan maksud so-soan ikut campur urusan orang. Saya pun menemui teman yang kebetulan bekerja di Pemerintahan Desa sebagai Perangkat Desa. Kebetulan pula, dialah bagian yang mengurusi segala bantuan sosial. Lantas apakah saya bisa mewujudkan keinginan ibu itu? Tidak juga, saya hanya sebatas ingin mengetahui yang sebenarnya.
Dia mengatakan: “Data yang diajukan kepada Pemerintah adalah data yang objektif. Namun setelah diverifikasi oleh dinas terkait muncullah data-data yang berbeda dengan data yang sebenarnya. Adapun bantuan sosial berupa uang yang masuk ke rekening warga dari Pemerintah langsung, bukanlah kewenangan kami.”
Sudah nampak sekali, adanya sikap keegoisan data yang disajikan oleh Pemerintah. Saya rasa inilah yang disebut melanggar hak demokratis seseorang. Padahal yang lebih tahu senang dan susahnya warga ya dari Pemerintah bawah, bukan sebaliknya. Kata-kata verifikasi harusnya dapat memperbaiki keadaan supaya tidak menerjang aturan, artinya lebih terarah dan lebih jelas untuk menyinkronkan data-data yang objektif, bukan malah sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Pengalaman saya dulu, ketika ditunjuk sebagai Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) oleh Panitia Pemilihan Suara (PPS) dalam Pemilihan Umum. Tugas saya adalah mendata seluruh warga, siapa-siapa saja yang harus masuk sebagai pemilih minimal sudah berumur 17 tahun. Tentu suatu tantangan dan membutuhkan ketelitian bagi saya, bukan asal-asalan tulis ini-itu karena menyangkut suksesnya pesta demokrasi atau hajat orang banyak.
Singkat cerita, saya datangi warga satu persatu ke rumahnya dan mencatat dengan penuh kehati-hatian. Kenapa? Saya khawatir ada warga yang terlewat atau tidak tercatat ke dalam buku daftar pemilih. Bila sampai terjadi, sudah pasti masalah yang rumit akan menghampiri saya dari semua pihak. Tidak hanya itu, sudah pasti elektabilitas saya akan merosot. Bahkan tidak akan ada yang menggunakan tenaga saya lagi dalam hal semacam itu.
ADVERTISEMENT
“Ternyata owh ternyata” tidak seindah yang saya bayangkan. Data-data akurat hasil dari lapangan yang saya sampaikan kepada pengelola, hasil akhirnya malah semrawut alias acakan-acakan. Pemilih yang sudah meninggal masih saja ada di list, padahal sudah saya lenyapkan semua. Pemilih baru tidak masuk data, padahal juga sudah saya tambahkan ke list buku. Jujur saya marah tapi hanya dalam hati. Toh saya jungkir balik protes juga percuma, yang ada malah babak belur oleh sang penguasa karena so-soan idealis.
***
Dari situ saya berpandangan bahwa, Negara tercinta kita ini masih krisis data. Artinya hanya menghambur-hamburkan memori saja, nyatanya data yang disajikan selalu semrawut alih-alih program untuk masyarakat kecil. Misalnya saja isu Publik yang viral kemarin-kemarin; Data ganda di Kementerian Sosial yang ditemukan BPK sebanyak 21 juta penerima manfaat di masa pandemi COVID-19. Itu disampaikan oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini kepada DPR.
ADVERTISEMENT
Nah loh orang-orang pasti mulai berpandangan lagi “Ah itu sudah biasa pasti ada oknum-oknum yang bermain di data demi kepentingannya” Atau “dikemanakan data jutaan itu selama ini”.
Tardi Setiabudi: Pemerhati Sosial Pemerintah Desa di Kabupaten Lebak