3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

"Naik Kelas", Metafora Praktik Korupsi di Indonesia

Taufiq A Gani
ASN, peminat bidang teknologi informasi, literasi dan perpustakaan, reformasi birokrasi, dan ketahanan nasional.
2 Maret 2025 11:16 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini adalah sebuah refleksi yang muncul setelah mencuatnya kasus dugaan korupsi di lingkungan anak perusahaan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru-baru ini. Seorang petinggi perusahaan itu ditangkap, diduga terlibat dalam praktik yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Reaksi publik pun bermunculan di sosial media: “Kenapa korupsi selalu berulang?” “Mengapa pejabat yang sudah bergelimang fasilitas masih tergoda untuk menyalahgunakan kewenangan?”
Tindak Pidana Korupsi, Gambar dari CreativeArt@Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Tindak Pidana Korupsi, Gambar dari CreativeArt@Freepik
Namun, jika kita mau melihat lebih dalam, pertanyaan ini bukan hanya soal moral individu atau kelemahan sistem hukum. Korupsi—baik dalam skala besar maupun kecil—sebenarnya bukan sesuatu yang terjadi secara instan. Tidak ada seseorang yang tiba-tiba menjadi pelaku korupsi ketika menduduki jabatan tinggi. Dalam banyak kasus, korupsi adalah proses yang berlangsung bertahap, seperti seseorang yang ‘naik kelas’ dalam dunia birokrasi.
ADVERTISEMENT
Penggunaan naik kelas sebagai metafora untuk praktik korupsi dimaksudkan untuk memperjelas proses seseorang menjadi pelaku korupsi. Bagaimana korupsi kelas PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sebagai petty corruption tumbuh naik menjadi kelas universitas sebagai mega corruption. Kita ikuti diskusinya berikut ini.
Dari PAUD hingga Universitas: Proses Bertahap Menuju Korupsi Besar
Perbincangan di media sosial beberapa waktu lalu menarik perhatian saya. Banyak orang membagikan pengalaman dan refleksi tentang bagaimana korupsi sering kali dimulai dari hal-hal kecil, sesuatu yang tampaknya “wajar” dalam dinamika kerja birokrasi sehari-hari.
Masa awal, saya ibaratkan seperti di tingkat "PAUD" dalam korupsi, biasanya hanya sebatas cari kwitansi kosong untuk pertanggungjawaban keuangan. Saat masih menjadi aktivis mahasiswa di perhimpunan mahasiswa, atau baru bekerja sebagai staf di instansi pemerintah, seseorang bisa mulai belajar bagaimana membuat laporan keuangan agar “sesuai prosedur”, meskipun uangnya sudah digunakan tanpa bukti resmi.
ADVERTISEMENT
Saya ibaratkan kemudian naik kelas, masuk tingkat SD, praktik ini berkembang. Seseorang yang sudah mulai mengurus anggaran belajar teknik sederhana seperti menambahkan angka dalam kwitansi atau memanipulasi harga barang dalam pengadaan kecil.
Naik kelas ke tingkat SMP, seseorang mulai berinteraksi dalam kelompok, misalnya menjadi bagian dari Tim Pokja Pengadaan Barang dan Jasa, yang sudah memiliki sertifikasi pengadaan. Budaya “10 persen” mulai dikenal dan dianggap hal biasa, entah untuk memperbesar dana taktis, membiayai jamuan tidak resmi, atau mengakomodasi kepentingan atasan dan kolega.
Di tingkat SMA, seseorang sudah menduduki jabatan struktural seperti kepala satuan kerja (Satker) atau pejabat eselon 2. Pada titik ini, ia tidak lagi hanya sekadar mengikuti sistem, tetapi mulai mengarahkan sistem. Alokasi anggaran tidak hanya sekadar untuk operasional kantor, tetapi juga untuk mengakomodasi gaya hidup, relasi sosial, bahkan kepentingan politik.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, mereka yang sudah "naik kelas" ke tingkat Universitas dalam dunia korupsi adalah mereka yang telah menjadi pejabat tinggi, direksi BUMN, atau pimpinan lembaga negara. Mereka sudah terbiasa dengan mekanisme anggaran dan memiliki kepercayaan diri tinggi karena telah bertahun-tahun melakukannya tanpa konsekuensi serius. Mereka tidak lagi sekadar mengikuti sistem, tetapi sudah menciptakan sistem yang memungkinkan korupsi terjadi secara sistematis.
Namun, apakah ini hanya faktor individu, atau ada sistem yang memungkinkan hal ini terus terjadi? Untuk memahami lebih dalam, kita harus melihat bagaimana korupsi berkembang dalam ekosistem birokrasi, menyangkut atasan dan ternyata juga daari bawahan.
Tekanan dari Atas? Tidak Juga. Tekanan dari Bawah Lebih Berbahaya
Banyak yang menganggap korupsi terjadi karena tekanan dari atasan. Namun, diskusi di sosial media tadi menunjukkan perspektif lain yang jarang dibahas: tekanan dari bawahan.
ADVERTISEMENT
Seorang kepala instansi atau pimpinan tidak hanya menghadapi tuntutan dari atas, tetapi juga dari stafnya. Di beberapa instansi, menjelang bulan puasa, seorang kepala kantor bisa dianggap "aneh" atau "tidak peduli bawahan" jika tidak berbagi sirup atau sarung.
Di lingkungan akademik atau birokrasi, seseorang bisa dianggap “tidak fleksibel” atau “kurang solider” jika terlalu kaku dalam aturan anggaran. Di sinilah budaya berbagi—yang dalam konteks sosial sering dianggap baik—bisa bergeser menjadi tekanan sosial yang mendorong praktik korupsi.
Seorang pejabat yang ingin bersih harus menghadapi bisikan di koridor kantor:
“Dulu pimpinan lama baik, selalu ada THR tambahan.”
“Kenapa tahun ini tidak ada amplop?”
Tekanan ini sering kali lebih kuat dibanding tekanan dari atasan, karena ia berhadapan langsung dengan rekan kerja sehari-hari, stafnya, bahkan lingkungan sosialnya.
ADVERTISEMENT
Lebih bahaya lagi, karena tidak ada dukungan dari stafnya sendiri, sementara stafnya punya hubungan erat dengan atasan dan dapat mempengaruhinya, maka dia akan terjepit.
Untuk lebih memahami penyebab terjadi praktik korupsi seperti dijelaskan di atas, Jack Bologne telah memformulasikannya dalam sebuah teori yang disebut GONE. Hubungannya akan didiskusikan dalam pembahasan berikut.
Memahami "Naik Kelas dalam Praktik Korupsi" dengan Teori GONE
Untuk memahami mengapa tekanan ini dapat mendorong seseorang untuk naik kelas dalam korupsi, kita bisa melihatnya melalui lensa Teori GONE yang menguraikan empat faktor utama di balik tindakan korupsi.
Teori GONE diperkenalkan oleh Jack Bologne dan menjadi salah satu kerangka kerja yang digunakan untuk memahami faktor penyebab tindak pidana korupsi. KPK juga sering mengadopsi teori ini dalam materi edukasi antikorupsi, karena memberikan wawasan tentang bagaimana individu atau kelompok terjerumus dalam tindakan korupsi.
ADVERTISEMENT
Teori ini menjelaskan bahwa korupsi terjadi akibat kombinasi dari empat faktor utama, yaitu:
Teori GONE memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang mengapa dan bagaimana seseorang bisa "naik kelas" dalam korupsi. Korupsi bukan hanya persoalan individu yang serakah, tetapi juga dipengaruhi oleh kesempatan, kebutuhan, dan justifikasi sosial yang terus berkembang.
ADVERTISEMENT
Jika kita ingin memutus siklus ini, kita harus memastikan bahwa tidak ada celah bagi seseorang untuk "naik kelas" dalam korupsi. Mulai dari kebijakan kesejahteraan yang lebih adil, sistem pengawasan yang kuat, hingga perubahan budaya birokrasi, semua elemen harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang benar-benar bersih dari korupsi.
Korupsi tidak terjadi dalam semalam, begitu pula dengan reformasi. Namun, jika kita tidak mulai bertindak sekarang, kita hanya akan menyaksikan generasi baru yang terus "naik kelas" dalam dunia korupsi.
Lingkungan birokrasi dan latar belakang pribadi sebagai pengiring tindak korupsi sudah kita diskusikan. Selanjutnya kita akan meninjau lebih dalam lagi bagaimana reformasi birokrasi dan ketahanan pribadi dapat mempengaruhinya.
Reformasi Birokrasi dan Ketahanan Pribadi Sebagai Solusi
ADVERTISEMENT
Pertanyaan besar yang muncul adalah: bisakah kita menghentikan proses ‘naik kelas’ dalam korupsi ini?
Banyak inisiatif reformasi birokrasi telah dilakukan, mulai dari digitalisasi anggaran, penguatan sistem pengawasan, hingga pembentukan lembaga antikorupsi. Namun, selama budaya korupsi masih dianggap "lumrah" dalam keseharian birokrasi, maka mekanisme formal ini hanya akan menjadi formalitas yang bisa dimanipulasi.
Diperlukan perubahan mendasar dalam cara kita memandang sistem keuangan dan birokrasi. Bukan hanya dengan pendekatan hukum yang menindak pelaku, tetapi juga dengan membongkar mentalitas yang membenarkan korupsi sejak level paling bawah.
Beberapa solusi sudah pernah saya tulis untuk pemberantasan korupsi
Korupsi tidak bisa dicegah hanya dengan slogan, regulasi, atau kampanye anti-korupsi. Kita harus berani menolak sejak ‘kelas PAUD’ dalam dunia korupsi, sebelum akhirnya kita ikut naik kelas dan terbiasa dengan sistem yang ada.
ADVERTISEMENT
Dari seluruh analisis ini, jelas bahwa untuk menghentikan pola "naik kelas" dalam korupsi, kita perlu pendekatan yang lebih menyeluruh. Korupsi tidak bisa hanya ditangani dengan penegakan hukum yang represif, tetapi juga dengan membangun ekosistem yang menolak korupsi dalam semua level birokrasi dan masyarakat. Korupsi bukanlah sebuah keniscayaan, melainkan hasil dari pilihan individu yang dipengaruhi oleh integritas pribadi dan lingkungan sekitarnya (baca tulisan saya, Hidup Adalah Pilihan, Korupsi Juga).
Dalam berbagai tulisan saya di Kumparan, saya menegaskan bahwa solusi untuk memberantas korupsi harus berbasis perubahan sistem, keteladanan kepemimpinan, dan penguatan integritas individu. ASN sering kali terjebak dalam dilema antara kepatuhan dan tekanan dari pimpinan, yang sering kali datang dari mereka yang berlatar belakang politik (baca artikel, ASN dalam Dilema Seretan Korupsi). Oleh karena itu, ketahanan integritas bagi ASN menjadi krusial, terutama dengan mekanisme perlindungan bagi pelapor (whistleblower) yang lebih efektif dan reformasi dalam sistem pengawasan birokrasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, korupsi kecil-kecilan atau petty corruption merupakan batu loncatan yang mempercepat seseorang "naik kelas" dalam korupsi (baca artikel, Petty Corruption sebagai Kerikil dalam Reformasi Birokrasi Layanan Publik). Jika korupsi kecil dibiarkan, ia akan menjadi kebiasaan, lalu berkembang menjadi praktik yang lebih besar dan sistemik. Ini adalah alasan mengapa pendidikan antikorupsi sejak dini dalam birokrasi harus diperkuat, agar pegawai tidak terbiasa dengan praktik yang "dianggap wajar" dalam administrasi publik.
Untuk memastikan perubahan yang lebih luas, kita memerlukan pemimpin yang telah "selesai dengan dirinya sendiri"—yaitu mereka yang memiliki ketahanan moral dan tidak menjadikan jabatan sebagai alat memperkaya diri (baca artikel, Mencari Pemimpin yang Selesai dengan Dirinya Sendiri untuk Indonesia). Keteladanan pemimpin sangat menentukan keberhasilan reformasi birokrasi, karena tanpa pemimpin yang memiliki integritas, semua sistem pengawasan hanya akan menjadi formalitas yang mudah dimanipulasi.
ADVERTISEMENT
Terakhir, literasi publik adalah benteng terakhir dalam melawan korupsi. Masyarakat yang memahami hak-hak mereka dalam pelayanan publik, serta bagaimana birokrasi seharusnya bekerja, akan lebih sulit dipermainkan oleh sistem yang korup (baca artikel, Literasi dan Antikorupsi). Oleh karena itu, edukasi tentang hak warga negara, mekanisme pengaduan publik, dan transparansi anggaran harus diperkuat.
Kita harus memastikan bahwa mereka yang memulai dari "PAUD korupsi" tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk naik kelas ke level yang lebih tinggi. Dengan langkah-langkah ini, saya yakin bahwa kita bisa menciptakan birokrasi yang lebih bersih, transparan, dan benar-benar melayani kepentingan publik, bukan kepentingan segelintir elite yang ingin terus melanggengkan praktik korupsi.
Jika kita ingin memastikan bahwa tidak ada lagi generasi yang ‘naik kelas’ dalam korupsi, maka pertanyaannya adalah: di tahap mana kita akan menghentikannya? Apakah kita akan terus membiarkan PAUD korupsi berkembang menjadi sistem yang tak terkendali, atau kita akan bertindak sekarang?
ADVERTISEMENT