Derita Perempuan dalam Jerat UU ITE

23 Mei 2017 16:07 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Derita Perempuan dalam Jerat UU ITE (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Derita Perempuan dalam Jerat UU ITE (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Baiq Nuril masih mendekam di tahanan. Nahas betul nasib perempuan yang tinggal di Mataram, Nusa Tenggara Barat, tersebut. Ia, sederhananya, menjadi korban ketidakjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
ADVERTISEMENT
Nuril harus melalui pelecehan seksual, dipecat dari pekerjaan, dituntut oleh mantan atasannya, dan harus ditahan justru karena tuduhan penyebaran konten asusila yang jelas-jelas tak ia lakukan.
Masalahnya, kasus Baiq Nuril itu bukan satu-satunya. Ia bukan yang pertama, dan tak mungkin jadi yang terakhir.
Petisi Save Ibu Nuril (Foto: change.org)
zoom-in-whitePerbesar
Petisi Save Ibu Nuril (Foto: change.org)
Sejak UU ITE ditandatangani tahun 2008, telah tercatat 38 kasus di mana perempuan menjadi pihak terlapor dalam kasus berdasarkan UU ITE. Alasan pihak lain melaporkan perempuan-perempuan tersebut bermacam-macam, namun 33 persennya adalah terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan/pelecehan seksual yang sedang mereka alami.
Yang menjadikan kasus-kasus tersebut menyedihkan adalah kenyataan bahwa UU ITE kerap dijadikan alat balas dendam dan barter hukum antara pihak-pihak yang tengah bertikai, terutama kasus-kasus domestik tersebut.
ADVERTISEMENT
Wisni Yetti (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wisni Yetti (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Wisni Yetti (2015)
Misalnya saja yang terjadi pada Wisni Yetti tahun 2005. Wisni adalah seorang ibu rumah tangga yang tengah menggugat cerai suaminya. Dalam proses perceraian, Wisni mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya, dan melaporkan suaminya tersebut ke polisi. Merasa terancam, suami Wisni bernama Hasta Etika mencari cara agar Wisni mau mencabut aduannya.
Laporan Wisni itu kemudian dibalas Hasta dengan melaporkan istrinya ke polisi. Pasal yang digunakan adalah dari UU ITE, yaitu Pasal 27 ayat (1) tentang penyebaran muatan asusila.
Saat itu, Hasta mengajukan barang bukti percakapan Facebook Messenger antara Wisni dan teman laki-lakinya. Ia menunjukkan percakapan-percakapan tak pantas yang terjadi di chat pribadi tersebut --meski kemudian hasil forensik digital menunjukkan obrolan keduanya tak semua asli, dan banyak bagian adalah buatan suami Wisni sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari 900 halaman print out yang dibawa ke persidangan, 300-nya belakangan diketahui adalah buatan Hasta.
Namun tetap saja, print out percakapan palsu itu dibaca di sidang Pengadilan Negeri Bandung yang berjalan terbuka.
“Isinya itu semacam sexting (sex texting), dan gilanya di pengadilan diperiksa barang bukti itu. Dalam BAP-nya jelas sekali omongan-omongan mesum-mesum itu,” ujar Damar Juniarto, Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), jaringan lembaga swadaya masyarakat yang mengupayakan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara.
Bayangkan saja, percakapan mesum, buatan orang lain, dibacakan di pengadilan, dan jelas-jelas menuduh pada Anda.
Pasal-pasal sisipan (macam defamasi, penyebaran konten asusila, dan penodaan agama) di UU ITE selalu bersifat asimetris, dan contoh yang nyata tercermin pada kasus Wisni tersebut. Sebuah pembunuhan karakter yang “dilindungi negara.”
ADVERTISEMENT
Wisni kemudian dinyatakan bersalah dengan ganjaran hukuman 5 bulan penjara.
Parahnya, suami Wisni menurut Damar sempat berujar pada Wisni bahwa apabila ia tak melanjutkan laporan KDRT ke polisi dan apabila Wisni sepakat untuk tak dapat harta gono-gini apapun dari suaminya, suaminya itu akan mencabut aduan UU ITE tersebut.
Meski begitu, Wisni menolak. Ia akhirnya bisa bebas ketika mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Bandung, setelah bukti yang diajukan tak cukup kuat untuk mendukung tuntutan Hasta karena obrolan tersebut terjadi di ranah pribadi.
Baiq Nuril (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Baiq Nuril (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Baiq Nuril (2017)
Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang ironisnya justru ganti dilaporkan oleh pelaku pelecehan.
Nuril yang pada 2012 menjadi tenaga tata usaha honorer di SMAN 7 Mataram, sempat ditelepon oleh Kepala Sekolah tempat ia bekerja. Dalam hubungan telepon tersebut, si Kepala Sekolah, Muslim, menceritakan tentang hubungan seksualnya dengan selingkuhannya.
ADVERTISEMENT
Nuril yang mendengar kepala sekolah menceritakan hubungan badan dengan selingkuhannya, merekam percakapan tersebut. Percakapan bernada mesum tersebut kemudian dibagikan Baiq Nuril pada seorang rekannya, Imam, setelah ia beberapa kali didesak untuk menyerahkan rekaman tersebut.
Dari situ, rekaman yang punya konten mesum tersebut tersebar. Aksi itu dilakukan Imam untuk menguak sisi negatif kepala sekolahnya.
Muslim kemudian dimutasi ke Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Mataram. Merasa mandek kariernya gara-gara Nuril, Muslim melaporkan Nuril dengan Pasal 27 ayat (1) atas tuduhan mentransmisikan konten asusila.
Akibat laporan Muslim tersebut, Nuril telah ditahan sejak akhir Maret 2017.
Prita Mulyasari (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Prita Mulyasari (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Prita Mulyasari (2009)
Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga yang diputus bersalah karena perkara e-mail keluhan terkait layanan RS Omni Internasional Tangerang yang dikirimnya ke teman-temannya.
ADVERTISEMENT
E-mail tersebut menyebar ke beberapa mailing list di internet. Prita dituntut oleh RS Omni dengan pasal pencemaran nama baik KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Prita sempat ditahan 3 minggu, setelah vonis 6 bulan oleh MA dianulir oleh Peninjauan Kembali, September 2012.
Perempuan dan UU ITE (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan dan UU ITE (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Tiga kasus tersebut adalah sedikit dari puluhan kasus yang menyudutkan perempuan dengan alasan tak lain karena dendam maupun barter hukum. Dari data yang dimiliki SAFEnet hingga November 2015, motif orang-orang yang menggunakan UU ITE adalah karena ia ingin melakukan balas dendam.
Perempuan-perempuan ini menjadi korban kedegilan ego dan chauvinisme laki-laki yang kerap berlindung di balik nilai dan norma untuk melakukan balas dendam. Sayangnya, derita yang dialami perempuan itu tak terhenti pada sebatas raga yang dikurung dalam penjara.
ADVERTISEMENT
“Semua orang tahu kasus Prita. Yang tidak orang tahu dari kasus tersebut adalah dia butuh lima tahun untuk dapat status bebas. Dalam proses lima tahun itu, perempuan punya status kriminal jelas susah cari kerja. Ia juga jadi jauh dengan anaknya, karena dia dipenjara dan nggak bisa ngurusin anaknya,” ujar Damar bercerita soal nasib nahas Prita Mulyasari.
Dan itu belum selesai. “Usai bebas dari penjara, Prita dicerai suaminya. Dan kasus yang sama berlaku dengan Bu Nuril.”
Bu Nuril yang mengalami pelecehan seksual justru mendapat banyak nasib nahas. Ia kehilangan pekerjaan dan ditangkap paksa oleh polisi di depan anaknya berumur 5 tahun.
“Sementara suaminya jadi berhenti kerja, karena jauh dari Gili Trawangan (tempat suaminya bekerja) ke Mataram. Jadi ia juga dimiskinkan. Kalau perempuan kena ITE, deritanya jauh berlebih,” ujar Damar.
ADVERTISEMENT
Damar Juniarto. (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Damar Juniarto. (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
Menjadi kriminal pesakitan, terbatasi gerak kariernya, terbengkalai keluarganya, persoalan ITE --mungkin-- memang berdampak parah kepada kaum perempuan.
Dan, mestikah itu dibiarkan?