Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Joko Pinurbo dan Penangkal Racun Patah Hati
14 Februari 2017 16:52 WIB
Diperbarui 24 November 2019 2:54 WIB
ADVERTISEMENT
Ketika penyair lain tenar lewat kata “mentereng” seperti “hujan”, “malam”, dan “jalang”, Joko Pinurbo, yang biasa disapa Jokpin, memersonakan cinta lewat celana. Dan banyak benda sehari-hari lainnya.
ADVERTISEMENT
“Duka-Mu Abadi itu menginspirasi saya. Puisi ini berdasarkan banyak peristiwa sehari-hari, tapi kok bisa disajikan dengan menarik?”
Begitulah Joko Pinurbo menerjemahkan karya influensial orang lain yang kemudian membentuk arah karyanya sendiri.
Duka-Mu Abadi ialah puisi karya Sapardi Djoko Damono, pujangga terkemuka Indonesia, yang dibuat tahun 1969.
“Itulah yang sesuai dengan jiwa saya yang suka menyendiri, dan pengalaman hidup saya yang biasa-biasa saja,” ucapnya mengenai pilihan tema tulisannya.
Jokpin membacai dengan tekun karya penyair-penyair tersohor di Indonesia seperti Chairil Anwar, Subagyo Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Rendra, hingga Sapardi Djoko Damono. Ia mencatat setiap kata yang digunakan para penyair tersebut di dalam kepalanya.
Jokpin kemudian melihat, terdapat banyak hal yang tidak tersentuh dalam puisi-puisi mereka.
ADVERTISEMENT
“Lah, ini banyak juga sebetulnya benda sehari-hari yang bisa dijadikan puisi tapi kok tidak mereka kerjakan?” batinnya.
Ia kemudian bermain di area abu-abu yang belum tersentuh penulis-penulis ternama tersebut --area yang, menurutnya, sesuai dengan dirinya yang sederhana dan “tak dramatis”.
“Nah, maka muncullah celana, kamar mandi, lalu ranjang, sarung, dan sebagainya,” kata dia mengenai ciri khasnya itu.
Jokpin penasaran mengapa tema-tema tersebut terkesan amat jauh dengan puisi. Seperti ada dinding pemisah antara puisi sebagai hal yang suci agung, dengan hal-hal biasa yang rendah-kotor.
“Ya pertama-tama penasaran saja, kenapa kok kalau orang menulis puisi selalu tentang hujan, senja. Saya juga masih menulis tentang itu, tapi saya juga pingin hal-hal sehari-hari lain. Masa gak bisa ditulis?” kata dia.
ADVERTISEMENT
Jokpin tetap berkeras membawa gayanya sendiri ke dalam puisi-puisinya, dan tidak ikut terjerembab ke dalam melankolia yang menjadi arus utama karya sastra, utamanya puisi, di Indonesia.
“Hidup saya ini kan beratlah, penuh kesulitan. Saya dilahirkan dan tumbuh di tengah keluarga yang sangat sederhana. Saya ini lahir di Orde Lama, dibesarkan di Orde Baru, yang penuh kesulitan dan tekanan, minim fasilitas. Banyak hal-hal yang menyakitkan dan menyedihkanlah, yang mengendap dalam memori saya,” ujar Jokpin.
Walau begitu, Jokpin menganggap yang sudah lalu biarlah tetap berlalu. Ia tidak ingin keadaan masa lalunya tersebut justru menentukan arah karya sastranya ke depan.
“Kalau saya layani perasaan semacam itu, kalau saya tuliskan, kan jadinya puisi-puisi melankolis, yang penuh dengan perasaan sentimental yang sedih. Nah, saya tidak mau. Maka saya membuat satu gaya untuk melawan hal itu,” kata Jokpin.
ADVERTISEMENT
Tekadnya bulat sebagai penyair yang serius.
Untung saja, usahanya itu dibantu dengan lingkungan hidupnya yang penuh tawa canda.
“Setelah di SMA di Seminari di Magelang, saya melanjutkan kuliah di Yogya, bahkan hidup di sini (Yogya) sampai sekarang. Di sini, saya merasakan gaya komunikasi dan gaya pergaulan orang Yogya sehari-hari yang suka bercanda, suka humor,” kata dia, berkisah kebahagiaan hidupnya di Yogya.
Baginya, Yogya tak hanya tempat tinggal. Kota itu, beserta budaya warganya, juga menjadi inspirasi yang membentuk dia dan karyanya.
“Makanya, saya serap gaya humor, gaya plesetannya orang Yogya, untuk jadi gaya bercerita saya dalam puisi. Supaya kalau orang membaca puisi saya itu tidak menyesali hidup tapi justru menikmatinya. Menikmati kepedihannya,” ujar Jokpin kepada kumparan, Senin (13/2).
Jokpin ingin orang-orang yang patah hati tak bunuh diri, namun terhibur oleh permainan humor yang ia selipkan di beberapa karyanya.
ADVERTISEMENT
“Humor dalam puisi itu sifatnya semacam penangkal racun supaya orang tidak dikuasai oleh perasaan pesimistis atau menderita yang berlebihan. Menjadi hiburan batin yang ringan, agar hidup itu dinikmati, disyukuri,” harapnya.
“Jadi ketika ada orang patah cinta, saya tidak akan menulis tentang patah cintanya, tetapi bagaimana orang tetap bisa menikmati cinta dengan rileks,” ucap penyair yang telah mengumpulkan karya-karyanya menjadi setidaknya 24 buku.
Jokpin mengatakan, meski puisinya yang dinilai “ringan” tersebut sudah diterima dengan baik oleh publik, ia berniat untuk mengembangkan lagi gaya puisinya sehingga mampu menerjemahkan hal-hal ke konteks yang lebih luas dan lebih penting.
“Saya sedang mempersiapkan buku puisi baru. Yang pasti nuansanya berbeda dengan celana, ranjang, kamar mandi. Temanya berbeda,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Buku itu rencananya akan terbit tahun ini, meski ia tak bisa memastikan bulan apa persisnya.
“Ini menandai fase baru kepenyairan saya. Gaya humor saya pakai, walau kadarnya mungkin berkurang. Saya memasuki tema lain. Kali ini persoalan seperti praktik beragama,” ucapnya.
Persoalan keagamaan merupakan topik baru baginya. Sebuah tema sosial yang lahir dari keresahannya sebagai warga negeri ini.
“Kita kan punya problem bagaimana menyikapi agama. Agama justru sering menjadi sumber perpecahan di negeri ini. Beberapa tahun ini jelas: sumber perpecahan itu justru bermula dari agama. Padahal agama seharusnya justru semakin merekatkan hubungan cinta, hubungan kasih sayang antarsesama,” kata dia.
“Tapi nyatanya? Nyatanya tidak. Jadi banyak konflik. Banyak ketimpangan hubungan sosial justru bersumber dari kesalahkaprahan dalam menghayati agama,” kata Jokpin.
ADVERTISEMENT
Ia menyatakan, ini justru tema cinta yang harus diusung di level masyarakat.
“Kalau Valentine seakan-akan hubungan cinta untuk lelaki dan perempuan dan anak-anak muda saja. Kalau buat saya, Valentine itu untuk mengingatkan kita akan hubungan kasih sayang. Nah, kasih sayang itu kan lebih luas dari cinta,” tuturnya.
“Justru problem bangsa ini seakan-akan ia kehilangan budaya kasih sayang. Sedikit-sedikit berseteru. Jadi kita menghadapi persoalan yang serius yaitu ke-Bhinneka Tunggal Cinta-an ini, bukan Tunggal Ika, kurang,” Jokpin berpendapat.
“Kasih sayang yang sebenarnya kan mengandaikan kerendahhatian dan kesetaraan. Jadi tidak tergantung asal-usul maupun latar belakang. Problem sosial kita sekarang ada di situ,” jawabnya.
Baginya, Bhinneka Tunggal Cinta di Indonesia sedang menghadapi tantangan. Maka hubungan kasih sayang antarsesama perlu dirayakan setiap saat.
ADVERTISEMENT
“Valentine itu artifisial. Mestinya jadi momen untuk merekatkan kembali hubungan kasih sayang antarwarga negara, bukan hanya dalam konteks percintaan muda-mudi,” kata dia.
Dangdut
(1)
Sesungguhnya kita ini penggemar dangdut.
Kita suka menggoyang-goyang memabuk-mabukkan kata
memburu dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut.
(2)
Para pejoget dangdut sudah tumbang dan terkulai satu demi satu
kemudian tertidur di baris-baris sajakmu.
Malam sudah lunglai, pagi sebentar lagi sampai, tapi kau tahan
menyanyi dan bergoyang terus di celah-celah sajakmu.
Kau tampak sempoyongan, tapi kau bilang: “Aku tidak mabuk.”
Mungkin aku harus lebih sabar menemanimu.
2001
ADVERTISEMENT