Hizbut Tahrir di Turki: Eksis Meski Diberangus

10 Mei 2017 11:09 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Menteri Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto. (Foto: Dok. Humas Kemenko Polhukam)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto. (Foto: Dok. Humas Kemenko Polhukam)
Melalui konferensi persnya, Senin (8/5), Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto menyatakan pemerintah Indonesia akan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia. Wiranto menyebut kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri ideologi negara, yakni Pancasila. Selanjutnya pemerintah akan menempuh jalur hukum untuk membubarkan HTI.
ADVERTISEMENT
Usai pernyataan resmi pemerintah itu, muncul komentar yang menuding pemerintah Indonesia bersikap anti-Islam. Timbul anggapan bahwa pembubaran HTI adalah bentuk pembungkaman pemerintah terhadap Islam.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, upaya pemerintah membubarkan HTI bukan berarti pemerintah anti-ormas Islam atau anti-Islam.
“Langkah hukum untuk membubarkan HTI bukanlah upaya pembubaran ormas yang melakukan gerakan dakwah keagamaan, tetapi upaya membubarkan ormas yang melakukan gerakan politik untuk mengganti ideologi negara. HTI adalah gerakan politik, bukan dakwah keagamaan. Ini harus digarisbawahi,” kata dia, Selasa (9/5).
Senada, Wakil Presiden Jusuf Kalla turut menyebut, konsep kekhilafahan yang diusung HTI tidak sesuai dengan konsep kenegaraan RI. Sebab Hizbut Tahrir akan menjalankan konsep kekhilafan dalam negara demokrasi.
“Paham yang dijalankan HTI adalah kekhalifahan. Artinya kembali kepada zaman lalu, di mana kepala pemerintahan merangkap pimpinan agama,” ujar JK.
ADVERTISEMENT
Pengamat sosial dan terorisme yang juga Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, mengatakan “Publik menilai seperti itu (pemerintah anti-Islam) sekalipun pemerintah dengan strategi komunikasi yang ambigu mengatakan bahwa bubarkan ormas Islam tidak berarti anti-Islam. Ini kan aneh, karena substansi dari seluruh agenda HTI itu dakwah Islam dan tidak terlibat politik praktis.”
Harits yang juga mantan Ketua Lajnah Tsaqafiyah HTI menuturkan, HTI fokus pada edukasi masyarakat muslim dengan ajaran Islam. “Sekalipun di antara ajaran Islam itu terkait soal kepemimpinan atau kekhilafahan,” ujarnya.
Menurut Harits, pemerintah tidak hanya terlihat anti-Islam, tapi juga tampak bernafsu mengkriminalisasi ide khilafah. “Padahal hakikatnya khilafah itu term dan bagian dari substansi Islam,” papar Harits.
ADVERTISEMENT
Meski sebagian orang menganggap pembubaran HTI merupakan sikap anti-Islam, sebagian lainnya mengapresiasi dan memandangnya sebagai sikap tegas dan nyata pemerintah dalam menjaga Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[Baca: ]
Dan apa yang yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap HTI, sebenarnya juga pernah dilakukan oleh pemerintah negara-negara lain.
[Lihat: ]
Massa Hizbut Tahrir di Eropa (Foto: hizb-australia.org)
zoom-in-whitePerbesar
Massa Hizbut Tahrir di Eropa (Foto: hizb-australia.org)
Apabila pembubaran HTI oleh pemerintah Indonesia dianggap anti-Islam, lantas apakah pemerintahan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lain yang melarang keberadaan Hizbut Tahrir di wilayah kedaulatan mereka masing-masing, juga patut mendapat tudingan serupa?
Arab Saudi, misalnya. Negara yang menjalankan hukum konstitusi berdasarkan syariat Islam, melarang Hizbut Tahrir karena menganggapnya sebagai ancaman. Juga Turki, negara sekuler yang menjadi lokasi kekhalifahan Islam terakhir --Kekhalifahan Utsmaniyah, yang melarang Hizbut Tahrir dan menyebutnya sebagai organisasi teroris.
ADVERTISEMENT
Laporan International Crisis Group berjudul Radical Islam in Central Asia: Responding to Hizb ut-Thahrir pada Juni 2003 menyebut Hizbut Tahrir bukanlah organisasi keagamaan, melainkan partai politik dengan Islam sebagai ideologi.
Hizbut Tahrir hendak membangun kembali kekhilafahan historis untuk mempertemukan semua tanah muslim di bawah pemerintahan Islam, dan membangun negara yang mampu menjadi penyeimbang kekuatan Barat.
Hizbut Tahrir menolak usaha kontemporer untuk mendirikan negara-negara Islam, dan menegaskan bahwa Arab Saudi dan Iran yang notabene mengklaim diri sebagai negara Islam, tidak memenuhi kriteria yang diperlukan sebagai negara Islam.
Presiden Recep Tayyip Erdogan. (Foto: REUTERS/Murad Sezer)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Recep Tayyip Erdogan. (Foto: REUTERS/Murad Sezer)
Di Turki, Hizbut Tahrir atau yang dikenal juga sebagai Partai Pembebasan dilarang karena terlibat aksi kekerasan dan merencanakan Konferensi Khilafah di Istanbul pada 5 Maret 2017. Setahun sebelumnya, Hizbut Tahrir juga menggelar konferensi serupa di ibu kota Turki, Ankara.
ADVERTISEMENT
Konferensi bertajuk “Mengapa Dunia Membutuhkan Kekhilafahan” itu diagendakan berlangsung di distrik Topkapı, Istanbul --lokasi markas besar Kesultanan Ottoman atau Turki Utsmaniyah dahulu berada.
Namun konferensi tersebut dilarang oleh pemerintah Turki. Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang banyak diidolakan muslim dan kerap disebut sebagai pemimpin muslim yang ideal dan representatif, tetap mengambil sikap tegas terhadap Hizbut Tahrir,
Tak hanya melarang berlangsungnya Konferensi Khilafah tersebut, pemerintah Turki juga menahan Mahmut Karr, Kepala Media Hizbut Tahrir Wilayah Turki yang menjadi penanggung jawab rencana agenda konferensi tersebut.
[Baca: ]
Konferensi Khalifah Hizbut Tahrir di Turki. (Foto: hizb-ut-tahrir.info)
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi Khalifah Hizbut Tahrir di Turki. (Foto: hizb-ut-tahrir.info)
Dalam blog pribadinya, jurnalis Abdullah Bozkurt pernah menulis sejarah dan perkembangan Hizbut Tahrir di Turki. Ia memaparkan, Hizbut Tahrir mulai berkegiatan dan mengambil tempat di Turki sejak akhir 1960-an sebagai kelompok Islam yang kecil dan tidak efektif.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, dan selama bertahun-tahun sesudahnya hingga kini, Hizbut Tahrir di Turki dipantau secara ketat.
Hizbut Tahrir menegaskan kembali eksistensinya di Turki pada September 2005 ketika mereka mengadakan demonstrasi di Masjid Fatih, Istanbul. Dalam demonstrasi tersebut, para anggota Hizbut Tahrir menyerukan untuk melembagakan kembali khilafah dan meneriakkan slogan-slogan melawan pendiri negara sekuler Turki, Mustafa Kemal Atatürk.
Pada 2009, polisi Turki menahan hampir 200 tersangka anggota Hizbut Tahrir dalam sergapan serentak di 23 provinsi di Turki atas tuduhan menjadi anggota sebuah organisasi yang dilarang. Mereka juga dituding merencanakan serangan berdarah terhadap warga sipil.
Kelompok tersebut, menurut polisi Turki, berencana melakukan serangan besar atau makar di İstanbul pada hari peringatan pelepasan kekhalifahan. Kekhalifahan Utsmaniyah dihapuskan oleh Atatürk pada 3 Maret 1924 dan diganti dengan negara sekuler.
ADVERTISEMENT
Pada Juni 2011, jaksa memerintahkan lagi polisi untuk melakukan operasi terhadap markas Hizbut Tahrir di lima kota. Dalam operasi tersebut, polisi berhasil menahan 17 orang, termasuk Serdar Yılmaz, anggota Hizbut Tahrir yang diduga bertanggung jawab atas rencana makar di Istanbul.
Penyidik ​​Kepolisian Turki menemukan kelompok yang diduga makar, secara teratur didanai oleh Imameddin A.A. Barakat, warga Yordania asal Palestina yang tinggal di Israel.
Dari Berita Acara Pemeriksaan di Kepolisian, anggota-anggota Hizbut Tahrir yang ditangkap, diketahui bahwa seorang pengusaha yang bertindak sebagai kurir, Mazin Harbawi, memasuki Turki dengan membawa uang setiap dua bulan dan memberikan uangnya kepada VA, anggota yang bertanggung jawab atas rencana makar yang disebut juga sebagai Operasi İstanbul Hizbut Tahrir.
ADVERTISEMENT
Penyidik ​​percaya Harbawi telah menyelundupkan uang sekitar 40 ribu dolar Amerika Serikat pada setiap kunjungannya.
Hizbut Tahrir (Foto: Dok. hizbut-tahrir.or.id)
zoom-in-whitePerbesar
Hizbut Tahrir (Foto: Dok. hizbut-tahrir.or.id)
Berlawanan dengan petugas kepolisian yang berusaha menangkap para anggota Hizbut Tahrir, kelompok politik Islam di pemerintahan Turki justru berusaha untuk membebaskan mereka.
Pada Juli 2012, lahirlah sebuah undang-undang baru yang disetujui pemerintah. Undang-undang tersebut membuka jalan bagi pembebasan lebih dari 100 anggota Hizbut Tahrir dari penjara, termasuk para pemimpin senior mereka.
Keputusan pembebasan yang dikeluarkan setelah jam kerja pada hari Jumat itu kemudian ditentang jaksa. Saat keberatan jaksa tersebut akhirnya diajukan ke pengadilan pada hari Senin, sebagian besar anggota Hizbut Tahrir yang dibebaskan telah telanjur bersembunyi.
Pada 19 April 2004, Pengadilan Tinggi Pidana Ankara memberi penilaian yang menggambarkan Hizbut Tahrir sebagai organisasi teroris. Pada 24 April 2008, Majelis Tinggi Mahkamah Agung Turki juga mengeluarkan putusan yang mengklasifikasikan Hizbut Tahrir sebagai organisasi teroris yang mengancam keberadaan republik dan negara.
ADVERTISEMENT
Namun meski sudah dinyatakan terlarang, Hizbut Tahrir masih eksis di Turki sampai saat ini. Bahkan pada 6 Maret 2016, mereka menggelar Konferensi Khilafah di Ankara.
[Baca: ]
Pemerintah Turki kecolongan. Konferensi Khilafah digelar Hizbut Tahrir.
[Baca juga: ]
Setahun kemudian, otoritas Turki tak mau lagi kecolongan. Ketika Hizbut Tahri hendak mengadakan Konferensi Khlifah tahunan mereka pada Maret 2017, pemerintah Turki mengambil tindakan tegas.
Jumat, 3 Maret 2017, Mahmut Kar selaku Kepala Media Hizbut Tahrir Wilayah Turki ditangkap. Tiga hari kemudian, 6 Maret 2017, 300 anggota Hizbut Tahrir yang berkumpul di depan gedung pemerintahan di Distrik Fatih, Istanbul, untuk menuntut pembebasan Mahmut Karr, ikut ditahan pemerintah Turki.
ADVERTISEMENT
Tak hanya di Turki, Konferensi Khilafah juga diselenggarakan di beberapa negara lain, termasuk Indonesia. Salah satu Konferensi Khilafah terbesar yang pernah digelar di Indonesia pada 2 Juni 2013 di Gelora Bung Karno, Senayan, dengan tajuk Muktamar Khilafah Jakarta.
Konferensi semacam itu, mungkin, kini tak bakal digelar lagi di Indonesia seiring pelarangan atas Hizbut Tahrir Indonesia.
Negara-negara yang melarang Hizbut Tahrir (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Negara-negara yang melarang Hizbut Tahrir (Foto: Bagus Permadi/kumparan)