Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pembubaran HTI Berpotensi Picu Perdebatan Sengit
10 Mei 2017 17:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Langkah itu dikecam oleh pengamat sosial dan terorisme yang juga Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya. Ia menyebut pemerintah amat politis.
ADVERTISEMENT
“Pembubaran ormas sudah diatur dalam UU, dan langkah pemerintah kurang konsisten dengan mekanisme perundang-undangan yang ada,” kata Harits, Selasa (9/5).
Dalam konferensi pers awal pekan ini, Senin (8/5), Menkopolhukam Wiranto mengatakan ada 3 alasan yang jadi landasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk ambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Ketiga, aktivitas yang dilakukan HTI nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
ADVERTISEMENT
Ketiga poin tersebut, menurut Harits, lemah bahkan prematur. “Argumentasi pemerintah dan bahkan bukti-bukti yang disiapkan Polri bahwa HTI melakukan pelanggaran, menyebabkan benturan sosial, dan sebagainya, sangat mungkin lemah dan di ranah pengadilan bisa rontok.”
Harits mengklaim, HTI dan Hizbut Tahrir lain di luar negeri tidak pernah punya catatan terlibat dalam aksi kekerasan dan terorisme sebagai organisasi.
“Andaikan ada, itu personal atau oknum yang latar belakangnya pernah bersentuhan dengan ide-ide HT. Prinsip perjuangan HT tidak menempuh jalan kekerasan apalagi teror. HT mengadopsi metode dakwah pemikiran dan politik,” kata Harits.
Selain Indonesia, banyak negara lain yang juga melarang keberadaan Hizbut Tahrir di wilayah mereka, termasuk negara Islam seperti Arab Saudi maupun negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Mesir dan Turki.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, kata Harits, meski Hizbut Tahrir dilarang di negara-negara berpenduduk Islam, justru tidak demikian di negara-negara Barat.
Harits mencontohkan, “Di Inggris, sering muncul gagasan atau wacana pelarangan HT oleh pemerintah. Tapi karena HT tidak terlibat dan tidak mendukung aksi kekerasan dan terorisme, wacana itu rontok.”
Menurut Harits, jika di Indonesia HTI dibubarkan dengan tolok ukur sejauh mana keselarasan HTI terhadap Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar utama bangsa, hal itu berpotensi akan melahirkan perdebatan sengit.
“Bisa berbalik kepada status quo,” ujar Harits.
Status quo bisa lahir karena timbulnya banyak perdebatan dan pertanyaan, seperti misalnya apakah pemerintah saat ini secara substansial telah mengelola negara, segenap tumpah darah, dan seisi tanah air ini sesuai Pancasila dan UUD 45?
ADVERTISEMENT
Dan juga apakah poin-poin pertimbangan atas pembubaran HTI oleh pemerintah juga diterapkan pada kasus dan entitas lain di luar HTI?
Harits berpendapat, pembubaran HTI secara politis oleh pemerintah adalah langkah vulgar dan berpotensi melahirkan kegaduhan yang tak perlu.
“Hal itu sekaligus menunjukkan ketidaksiapan rezim menghadapi dialektika pemikiran progresif yang berkembang dan bergulir di tengah masyarakat,” imbuhnya.
Lebih jauh Harits menuding, “Jika pemerintah tetap memaksakan diri (membubarkan HTI), maka ini indikasi rezim telah menjadi fasis. Dan kekuasaan dibuat mengabdi kepada kepentingan politis opurtunis.”
Berseberangan dengan Harits, pengamat politik Muhammad Qodari berpendapat kebijakan pemerintah hendak membubarkan HTI bukan bentuk sikap fasis.
“Kalau pemerintah mengobrak-abrik markas HTI dan memukuli anggota-anggota HTI, itu baru fasis,” ujarnya, Rabu (10/5).
Menurut Qodari, sikap pemerintah sudah tepat karena dilakukan dengan menempuh jalur pengadilan, bukan melalui bentuk pemaksaan dan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah, kata dia, memang punya tugas untuk menentukan ormas mana saja yang perlu ditindak melalui jalur hukum demi keutuhan bangsa dan negara.
Qodari sendiri berpandangan ideologi HTI memang bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terkait anggapan sebagian masyarakat yang menyebut pembubaran HTI adalah bentuk sikap anti-Islam, Qodari berpendapat pemerintah perlu menunjukkan sikap yang bertentangan dengan anggapan tersebut.
“Caranya ya dengan menempuh proses hukum yang benar,” kata dia.
Jika ada pertanyaan mengapa pemerintah membubarkan HTI dan tidak membubarkan ormas-ormas lainnya, Qodari mengatakan itu bagian dari pertimbangan pemerintah.
Barangkali pula, ujarnya, pembubaran HTI adalah langkah awal pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas lain yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.
ADVERTISEMENT