Bagaimana Barcelona Bisa Kolaps di Anfield?

8 Mei 2019 12:07 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain-pemain Barcelona berfoto jelang laga melawan Liverpool. Foto: Reuters/Carl Recine
zoom-in-whitePerbesar
Pemain-pemain Barcelona berfoto jelang laga melawan Liverpool. Foto: Reuters/Carl Recine
ADVERTISEMENT
Senyumnya dipaksakan dan terlihat kecut, tetapi Ernesto Valverde Tejedor tak punya pilihan. Dia tidak punya hak untuk mencak-mencak karena bukan ketidakadilan yang membuat tim asuhannya terkapar. Selama satu menit, nyaris tanpa jeda, dia meminta maaf kepada mereka yang telah dia kecewakan. Valverde tahu persis bahwa Barcelona pantas kalah.
ADVERTISEMENT
"Mereka memulai laga dengan agresif, seperti yang sudah kami duga, tetapi kami tetap tidak punya alasan untuk kalah seperti ini. Memulai laga dengan keunggulan 3-0 dan akhirnya kalah 0-4 betul-betul tak bisa diterima. Sudah dua kali beruntun ini terjadi dan ini sangat menyakitkan bagi semua yang terlibat. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah meminta maaf," kata Valverde dalam konferensi pers pascalaga.
Valverde benar. Tidak ada alasan bagi Barcelona untuk kalah dengan cara seperti itu. Apalagi jika kekalahan semacam ini terjadi dalam dua tahun berturut-turut. Remontada memang masih jadi bagian dari identitas Barcelona, tetapi kali ini mereka bukan lagi pelaku, melainkan korban.
Musim lalu Barcelona bertandang ke Olimpico dengan bekal kemenangan 4-1 di Camp Nou atas Roma. Di atas kertas, Roma bukan tandingan mereka. Jangankan untuk menang, untuk mencetak gol saja seharusnya I Lupi bakal kesulitan. Namun, nyatanya Roma mampu meraih kemenangan 3-0 dan lolos ke semifinal Liga Champions berkat aturan agresivitas gol tandang.
ADVERTISEMENT
Musim ini giliran Liverpool yang melakukan remontada atas Barcelona. Kalah 0-3 pada leg pertama di Camp Nou, The Reds menjamu Blaugrana di Anfield tanpa diperkuat Mo Salah dan Bobby Firmino. Akan tetapi, Liverpool akhirnya berhasil menang 4-0 berkat gol-gol dari Gini Wijnaldum dan Divock Origi. Barcelona pun lagi-lagi tersingkir secara menyakitkan.
Perlu dicatat bahwa sebelum kalah dari Liverpool pada Rabu (8/5/2019) dini hari WIB, kekalahan dari Roma itu merupakan satu-satunya kekalahan Valverde di Eropa selama melatih Barcelona. Jika kekalahan semacam itu cuma terjadi sekali, baiklah. Barangkali itu semua cuma kebetulan. Namun, kalau sampai dua kali, itu artinya memang ada yang salah dari cara Barcelona melakukan pendekatan.
Pakem 4-4-2 yang Mengkhianati Filosofi Barcelona
ADVERTISEMENT
Berdasarkan ajaran Johan Cruijff, formasi yang ideal adalah 3-4-3. Formasi itulah yang dia gunakan di Dream Team-nya dulu dan dengan cara itu Barcelona berhasil meraih banyak trofi. Namun, mengeksekusi formasi 3-4-3 dengan sempurna adalah perkara luar biasa sulit. Salah sedikit saja sebuah tim akan dengan sangat mudah terekspos.
Maka dari itu, dengan ide bermain yang sama, pakem 4-3-3 pun kemudian menjadi alternatif. Ketika masih dilatih oleh Pep Guardiola, di atas kertas, Barcelona menggunakan formasi 4-3-3 sebagai andalan. Akan tetapi, pada praktiknya, pola 3-4-3-lah yang senantiasa tampak di lapangan. Hanya dengan dua pakem itulah identitas Barcelona bisa tampak seutuhnya.
Valverde bukannya tidak tahu hal itu. Buktinya, musim ini formasi 4-3-3-lah yang menjadi andalannya. Menurut catatan WhoScored, sudah 40 kali Valverde menggunakan formasi 4-3-3 di La Liga dan Liga Champions. Akan tetapi, mengapa pada pertandingan semifinal melawan Liverpool pakem andalan itu ditanggalkan?
ADVERTISEMENT
Valverde mendampingi Barcelona di laga melawan Liverpool. Foto: AFP/Paul Ellis
Tak seperti musim lalu, Valverde hanya dua kali menggunakan formasi 4-4-2 di Liga Champions musim ini. Yakni, saat menghadapi Liverpool saja. Hasilnya sudah terlihat. Barcelona menang sekali dan kalah sekali. Mereka pun akhirnya tidak lolos ke final karena kalah agregat 3-4.
Ada indikasi bahwa Valverde tidak percaya dengan skuatnya sendiri. Sebagai seorang mantan penyerang sayap yang pernah jadi anak asuh Cruijff, Valverde sejatinya lebih suka menggunakan tiga penyerang. Akan tetapi, di pertandingan yang begitu krusial, Valverde justru menanggalkan idealismenya itu.
Ada beberapa penjelasan mengapa Valverde memilih pakem 4-4-2 untuk menghadapi Liverpool:
Pertama, Sergio Busquets. Pada pertandingan menghadapi Manchester United di perempat final Busquets sudah terlihat kepayahan menghadapi tekanan para pemain tengah lawan. Padahal, yang dihadapi ketika itu cuma pemain-pemain United. Menghadapi gelandang-gelandang Liverpool yang energik, memasang Busquets sebagai jangkar tunggal sama saja bunuh diri. Apalagi, Barcelona sudah tak punya lagi Xavi dan Andres Iniesta yang bisa mengontrol laga dengan baik sekaligus memudahkan tugas Busquets.
ADVERTISEMENT
Kedua, Philippe Coutinho. Jika Barcelona menggunakan pakem 4-3-3, Ivan Rakitic dan Coutinho bakal menjadi pilihan utama sebagai dua gelandang di depan Busquets. Untuk Rakitic, sama sekali tidak ada masalah. Sebelumnya, pemain asal Kroasia itu sudah pernah mengantarkan Barcelona jadi juara Liga Champions sebagai satu dari tiga gelandang tengah. Namun, hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk Coutinho.
Coutinho sebelum laga melawan Liverpool di Anfield. Foto: Reuters/Carl Recine
Coutinho adalah salah satu titik lemah Barcelona. Padahal, tidak semestinya dia menjadi sebuah titik lemah. Coutinho mudah kehilangan bola tetapi malas untuk merebutnya kembali. Ini aneh karena pemain Brasil itu punya teknik dan kemampuan atletik yang baik. Namun, entah mengapa dua hal itu tidak selalu terlihat. Coutinho pun jadi tidak bisa sepenuhnya diandalkan. Tanpa Coutinho yang bisa seratus persen diandalkan, mustahil pakem 4-3-3 bisa dieksekusi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Ousmane Dembele. Pemain asal Prancis ini dibeli dengan harga 120 juta euro tetapi sama sekali tidak tampak seperti pemain yang layak dihargai sekian. Tekniknya memang bagus, begitu pula dengan kecepatannya. Akan tetapi, ada masalah sikap dan mental yang membuat eks pemain Borussia Dortmund ini tak bisa selalu jadi andalan.
Salah satu kekurangan utama Dembele adalah kemalasannya untuk melakukan tekanan terhadap lawan. Padahal, salah satu kunci utama keberhasilan pola 4-3-3 adalah kemauan untuk melakukan tekanan. Tanpa striker yang mau bekerja keras, formasi 4-3-3 itu tidak akan bekerja. Padahal, Liverpool adalah tim yang menuntut lawannya untuk bekerja keras. Itulah mengapa Valverde memilih cara konservatif.
Liga Champions Bukan Tempatnya Kaum Konservatif
Celaka bagi Valverde, Liga Champions bukanlah tempat yang nyaman bagi mereka yang memainkan sepak bola konservatif. Tanya saja kepada Juventus kalau tidak percaya. Liga Champions memang sebuah turnamen. Akan tetapi, ada perbedaan signifikan antara Liga Champions dan Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
Di Piala Dunia, tim-tim peserta memilih untuk bermain defensif dan mengandalkan serangan balik karena berbagai sebab. Mulai dari minimnya kohesivitas tim karena pemain-pemainnya jarang bertemu sampai sulitnya memperkirakan faktor nonteknis. Di Liga Champions, hal demikian tidak berlaku karena yang menjadi peserta adalah klub, bukan tim nasional.
Papan skor pertandingan Liverpool vs Barcelona. Foto: Reuters/Carl Recine
Mayoritas pertandingan Liga Champions dilangsungkan dengan format kandang-tandang. Di sana ada pula aturan agresivitas gol tandang. Dari situ saja sudah terlihat bagaimana turnamen ini sebenarnya dirancang agar tim-tim peserta memainkan sepak bola menyerang. Ini yang sepertinya tidak dipahami oleh Valverde maupun Massimiliano Allegri.
Dengan memainkan formasi 4-4-2 pada pertandingan melawan Liverpool, tujuan Valverde sebenarnya bukan meraih kemenangan, tetapi menghindari kekalahan. Di Camp Nou, dengan dukungan meriah dari hampir seratus ribu manusia, Barcelona bisa mewujudkan itu dengan kemenangan 3-0. Akan tetapi, di Anfield mereka kolaps.
ADVERTISEMENT
Dari statistik, terlihat bahwa Barcelona sebenarnya bisa unggul dalam penguasaan bola (58%) tetapi hanya mampu melepas 8 tembakan. Di sisi lain, Liverpool berhasil melepas 13 upaya mencetak gol. Ini menunjukkan ada yang salah dengan serangan Barcelona.
Idealnya, dalam formasi 4-4-2, lini tengah dihuni oleh dua gelandang dan dua pemain sayap. Akan tetapi, dalam pakem 4-4-2 milik Valverde, yang bermain semuanya adalah gelandang tengah. Permainan Barcelona pun menjadi jauh sekali dari kata dinamis. Lini tengah yang semestinya merupakan sumber kreativitas itu hanya digunakan untuk membunuh kreativitas lawan.
Messi tak bisa selamatkan Barcelona. Foto: Reuters/Phil Noble
Messi Lagi, Messi Lagi
Tanpa kreativitas di lini tengah, Barcelona pun kemudian kudu menyerang dengan cara lain. Sisi sayap, khususnya sayap kiri, adalah area favorit Barcelona untuk melakukan serangan. Di sini Jordi Alba jadi aktor utama. Assist-nya kepada Luis Suarez pada pertandingan leg pertama adalah bukti dominannya Alba dalam menjadi sumber serangan di sisi kiri permainan Barcelona.
ADVERTISEMENT
Selain Alba yang menjadi ancaman lewat overlap-overlapnya, tentu saja sumber serangan utama Barcelona adalah Lionel Messi. Dalam pertandingan di Anfield, Messi adalah satu-satunya pemain tim tamu yang patut pulang dengan kepala tegak. Messi mencatatkan 4 dribel, 3 umpan kunci, dan 5 tembakan sepanjang laga. Namun, apalah artinya kehebatan Messi jika rekan-rekannya tak mampu mengimbangi?
Ketergantungan Valverde kepada kreativitas Messi itulah yang akhirnya jadi senjata makan tuan. Cara itu sudah sering berhasil termasuk pada pertandingan leg pertama lalu. Akan tetapi, laga leg kedua ini menunjukkan bahwa sehebat-hebatnya Messi, tetap ada limit yang tidak bisa dia lewati.
***
Barcelona hanya bisa menyalahkan diri mereka sendiri atas kekalahan telak dari Liverpool yang mengubur asa mereka lolos ke final Liga Champions musim ini. Valverde adalah salah satu sosok paling bertanggung jawab dalam kegagalan ini. Akan tetapi, bukan berarti dia adalah satu-satunya kambing hitam. Ada kebobrokan fundamental yang membuat Valverde sampai tidak percaya dengan kemampuan skuatnya sendiri dan itulah hal pertama yang harus dibenahi Barcelona jika ingin kembali berjaya di Eropa.
ADVERTISEMENT