Final Piala Dunia Wanita: Upaya Belanda Mendongkel Supremasi Amerika

5 Juli 2019 14:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Timnas Amerika dan Belanda akan berhadapan di final Piala Dunia 2019. Foto: AFP/Franck Fife, Thomas Samson
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Amerika dan Belanda akan berhadapan di final Piala Dunia 2019. Foto: AFP/Franck Fife, Thomas Samson
ADVERTISEMENT
Juara bertahan menghadapi juara Eropa. Di final Piala Dunia Wanita, Minggu (7/7/2019) malam WIB nanti, pertandingan itulah yang akan disajikan. Amerika Serikat adalah sang juara bertahan, sementara Belanda merupakan kampiun Eropa.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, ini adalah final ideal untuk sebuah turnamen yang disebut-sebut sebagai yang paling kompetitif dalam sejarah.
Dalam persepakbolaan wanita, ada tiga turnamen yang jadi ukuran kehebatan sebuah negara. Piala Dunia jadi turnamen pertama dan alasannya seharusnya sudah jelas. Di sinilah tim-tim terbaik dari seluruh dunia bertarung untuk berebut supremasi.
Yang kedua ada Olimpiade. Jika di persepakbolaan pria Olimpiade hanya diikuti oleh tim-tim U-23, tidak demikian dengan persepakbolaan wanita. Olimpiade, pada prinsipnya, punya level gengsi setara dengan Piala Dunia karena para pesertanya pun biasanya tidak jauh berbeda.
Lalu, ada Piala Eropa. Harus diakui bahwa sepak bola wanita, selain di Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya, berkembang paling pesat di Eropa. Buktinya bisa dilihat di Olimpiade 2016 dan Piala Dunia 2019.
ADVERTISEMENT
Di Olimpiade Rio lalu dua finalis, Swedia dan Jerman, berasal dari Eropa. Kemudian, di Piala Dunia Prancis kali ini tujuh dari delapan perempat finalis datang dari Benua Biru.
Belanda, sebagai juara Eropa, akhirnya membuktikan kehebatan perkembangan sepak bolanya dengan menembus final Piala Dunia. Bisa dikatakan, pertemuan Belanda dengan Amerika di partai puncak nanti adalah bentrokan dua kutub besar sepak bola wanita dunia.
Meski demikian, di hadapan Amerika yang sudah mengoleksi tiga gelar juara dunia dan mampu mencapai final tiga kali secara beruntun, Belanda tetap lebih layak disebut sebagai underdog. Bahkan, pemain bintang mereka, Danielle van de Donk, mengakui argumen ini. Belanda boleh saja berkembang begitu pesat dalam 12 tahun terakhir tetapi Amerika Serikat masih begitu perkasa.
ADVERTISEMENT
Sepak bola wanita di Amerika sendiri sebenarnya belum begitu berumur panjang. Pertama kali mereka memiliki tim nasional adalah pada 1985 ketika diundang mengikuti turnamen Mundialito di Italia. Akan tetapi, enam tahun kemudian, mereka sudah berhasil menjuarai Piala Dunia pertama. Selebihnya, mereka pun semakin sulit dikejar.
Caitlyn Murray, penulis buku 'The National Team: The Inside Story of the Women Who Changed Soccer' menyebutkan bahwa rahasia terbesar di balik kesuksesan Amerika di sepak bola wanita hanya satu. Yakni, sikap pantang menyerah. Meski terdengar seperti sebuah klise, hal ini sama sekali bukan omong kosong.
Suatu kali, wanita yang disebut sebagai pesepak bola terbaik sepanjang sejarah, Marta Viera da Silva, pernah ditanyai apa yang membuat Amerika sulit sekali dikalahkan. Marta pun menjawab, "Mental mereka." Artinya, ketahanan mental Amerika ini bukan pepesan kosong belaka. Buktinya pun sudah berulang kali tampak.
ADVERTISEMENT
Dengan mentalitas seperti inilah Amerika mendobrak tatanan persepakbolaan wanita. Pemain legendaris Michelle Akers pernah mengakui bahwa secara teknis para pemain Amerika pada zamannya dulu kalah jauh ketimbang mereka yang dari Eropa. Namun, semua itu bisa diatasi berkat ketangguhan mental tadi.
Ketangguhan mental Amerika sendiri pada akhirnya terwujud pada keunggulan fisik mereka. Selama bertahun-tahun, The Stars and Stripes sangat mengandalkan kekuatan serta kecepatan untuk menyakiti lawan-lawannya. Cara itu pun hampir selalu berhasil sampai akhirnya mereka dikadali oleh Marta pada 2007.
Marta, dengan gol cantiknya, menunjukkan kepada Amerika bahwa sepak bola, biar bagaimanapun juga, harus dimainkan dengan teknik. Maka, sejak itu pun paradigma sepak bola wanita Amerika berubah. Mereka mulai memainkan sepak bola yang lebih cantik, lebih rapi, dan akhirnya itulah yang jadi alasan di balik kedigdayaan mereka pada dekade 2010-an.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, sepak bola demikianlah yang masih diusung oleh Amerika. Awalnya tidak mudah karena mereka harus benar-benar menyesuaikan diri dengan sesuatu yang baru. Namun, di bawah komando Jill Ellis yang mulai melatih pada 2014, Amerika kembali menggila. Rekor 28 laga tanpa kekalahan berhasil dicatatkan Amerika di bawah rezim wanita asal Inggris tersebut.
Di bawah Ellis sendiri perubahan paradigma tadi baru benar-benar terasa ketika formasi 4-3-3 mulai diperkenalkan. Sampai 2015 lalu, ketika mereka menjadi juara dunia untuk kali ketiga, Amerika masih menggunakan formasi 4-4-2 yang tidak secair 4-3-3 dalam aplikasinya.
Ellis mulai menggunakan pakem 4-3-3 menyusul rentetan hasil buruk pada 2017 yang membuat Amerika kehilangan tampuk pimpinan rangking FIFA. Dengan formasi ini, Ellis mampu mengeluarkan potensi terbaik para pemain yang ada di skuatnya.
ADVERTISEMENT
Di lini depan, Megan Rapinoe dan Tobin Heath kini bermain sebagai penyerang sayap. Artinya, mereka menjadi lebih dekat dengan gawang lawan dan jadi kian mudah menebar teror di pertahanan lawan. Di antara mereka ada Alex Morgan yang punya kemampuan komplet sebagai seorang penyerang tengah.
Di lini tengah, Amerika memadukan ketangguhan Julie Ertz dengan energi dari Lindsay Horan dan teknik Rose Lavelle. Ertz dulunya merupakan seorang bek sentral yang piawai mengolah bola serta mengirim umpan panjang. Atas alasan itulah dia ditempatkan sebagai jangkar.
Dari Lavelle dan Horan, Amerika mendapatkan dua hal berbeda. Lavelle adalah pengatur serangan sekaligus penggiring bola yang andal. Pergerakannya, dengan ataupun tanpa bola, membuat lini tengah Amerika begitu cair dan dinamis. Sementara itu, Horan adalah gelandang box-to-box yang mampu bertahan dan menyerang sama baiknya.
ADVERTISEMENT
Saat menyerang, Amerika memang lebih banyak mengandalkan sisi sayap. Itulah mengapa, keberadaan Crystal Dunn dan Kelley O'Hara sebagai full-back amatlah krusial. Kedua pemain ini pun menawarkan dua hal berbeda. Dunn, yang dulunya merupakan seorang penyerang, lebih mahir dalam mengeksekusi kombinasi satu-dua dengan pemain-pemain di depannya. Sementara, O'Hara punya kelebihan dalam mengirim umpan silang.
Dengan keberadaan pemain-pemain ini, Ellis mampu menciptakan sistem yang begitu solid. Mereka mampu bergerak secara kolektif baik saat menyerang maupun bertahan.
Saat menyerang, para pemain biasanya melakukan overloading ke area yang digunakan untuk membangun serangan. Meski begitu, di sisi berlawanan mereka memiliki pemain yang sudah siap jika tiba-tiba ada perubahan arah.
Biasanya, Amerika lebih kerap menyerang dari sisi kiri, tempat Rapinoe beroperasi. Jika ini terjadi, maka Heath akan bergerak ke tengah untuk merusak bentuk pertahanan lawan. Hal sebaliknya pun dilakukan ketika serangan dibangun dari sisi kanan.
ADVERTISEMENT
Kala bertahan, formasi Amerika pada dasarnya berubah menjadi 4-4-1-1. Rapinoe yang sudah tidak muda lagi sengaja ditinggal menggantung di depan untuk bersiap di situasi serangan balik.
Sementara itu, Heath akan mundur dan Horan, atau Samantha Mewis, akan menutup area kiri. Di tengah, para pemain lawan utamanya akan berhadapan dengan Ertz yang tidak kenal kompromi itu.
Dengan sistem inilah Amerika mampu membendung serangan lawan-lawannya. Meski demikian, sistem ini pun bisa bobol juga.
Buktinya, di sepanjang fase gugur, gawang Alyssa Naeher sudah bobol tiga kali. Bahkan, jumlah itu bisa lebih tinggi lagi seandainya di babak semfinal gol Ellen White tidak dianulir dan sepakan penalti Steph Houghton tidak digagalkan.
ADVERTISEMENT
Artinya, meskipun Amerika begitu hebat, mereka tetap punya kelemahan, utamanya di sektor bek tengah dan penjaga gawang. Dua bek tengah Amerika, Abby Dahlkemper dan Becky Sauerbrunn punya kelemahan dalam dua hal.
Pertama, menutup celah di antara mereka. Kedua, mengantisipasi bola atas. Sementara itu, Naeher rentan akan blunder seperti yang dilakukannya di laga kontra Spanyol.
Kelemahan-kelemahan itulah yang bisa dimanfaatkan oleh Belanda. Kebetulan, kekuatan terbesar Oranje Leeuwinnen sendiri memang terletak di lini depan. Jika Lieke Martens bisa pulih, tentu saja dia akan dimainkan sejak awal oleh pelatih Sarina Wiegman. Martens akan membentuk trio maut bersama Shanice van de Sanden dan Vivianne Miedema.
Trio serang Belanda ini kualitasnya tidak kalah jauh dari trio milik Amerika. Mereka punya kecepatan, kecerdikan, dan teknik yang lebih dari cukup untuk sekadar merepotkan barisan pertahanan Amerika. Keberadaan Miedema sebagai penyerang tengah yang jangkung dan cerdik adalah mimpi buruk bagi duet Sauerbrunn-Dahlkemper.
ADVERTISEMENT
Untuk mengalirkan bola kepada trio tersebut, Belanda wajib mereplikasi apa yang dilakukan Spanyol, Prancis, serta Inggris. Ketiga negara itu berani memberi tekanan yang menghambat permainan Amerika. Dalam urusan ini, keberadaan Danielle van de Donk sebagai gelandang serang bakal sangat krusial.
Kesolidan pertahanan Amerika berpusat pada sosok Ertz yang bermain sebagai gelandang bertahan. Pada laga semifinal babak pertama, Inggris tidak mampu melakukan serangan salah satunya karena gelandang serang mereka tidak bisa melewati blokade dari Ertz.
Inilah mengapa Van de Donk bakal jadi tumpuan utama Belanda dalam melancarkan tekanan, terutama tekanan tanpa bola. Jika gembok gerbang pertahanan Amerika bisa dijebol, maka peluang Belanda untuk meraih kemenangan pun semakin besar.
Namun, Belanda juga tidak bisa fokus sepenuhnya pada serangan. Amerika adalah tim dengan reputasi pencetak gol ulung. Bagi mereka, kalau lawan mencetak tiga gol, maka mereka akan melesakkan empat gol balasan. Maka dari itu, Stefanie van de Gragt cs. dilarang keras kehilangan konsentrasi sedetik pun di laga ini.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dari semua ini dapat disimpulkan bahwa Amerika memang masih sangat pantas diunggulkan ketimbang Belanda. Apalagi, ketika sistem yang ada tidak bekerja, Ellis masih bisa memasukkan nama-nama pelapis yang kualitasnya tidak kalah tokcer macam Mal Pugh, Christen Press, atau Carli Lloyd.
Namun, Belanda adalah juara Eropa. Mereka punya pemain yang berkualitas yang sudah terbukti mampu mengantarkan gelar. Skuat mereka memang tidak sedalam Amerika, tetapi para pemain yang sudah biasa tampil seperti Martens, Van de Donk, dan Miedema dijamin akan mengerahkan lebih dari seratus persen kemampuan di laga sekali seumur hidup ini.