Ambisi Muluk PKS

7 Mei 2018 7:58 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
29
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah pendukung dari Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO/Sonny Tumbelaka)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pendukung dari Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO/Sonny Tumbelaka)
ADVERTISEMENT
Sudah hampir lima bulan PKS mengeluarkan sembilan nama kader terbaiknya untuk dipinang partai koalisi jadi calon presiden atau calon wakil presiden. Sudah hampir lima bulan pula sembilan nama tersebut ‘dianggurkan’, belum jelas apakah akan jadi diusung atau tidak.
ADVERTISEMENT
Wajar bila jadinya petinggi PKS ribut, tubruk sana tubruk sini. Presiden PKS Sohibul Iman, misalnya, secara terbuka memberi ‘deadline’ pada Gerindra, partai koalisi terdekatnya. ‘Ultimatum’ itu berbunyi: Gerindra harus memilih calon wakil presiden dari deretan nama tadi sebelum Ramadan.
“Kami memberikan waktu pada Gerindra. Nanti mereka milih siapa ya terserah,” ucap Sohibul di Bekasi, Jawa Barat, Minggu (29/4).
Sebelum Ramadan. 13 Mei. Seminggu lagi.
Kesalahan yang Sama
Sikap keras dan mendesak PKS bisa dipahami. Dalam beberapa gelaran politik akbar terakhir, PKS dan kader-kadernya hanya jadi pelengkap. Ia, meski rutin mengeluarkan deretan nama calon untuk diusung bersama partai koalisi, selalu terpental di menit akhir.
Nasib buruk tersebut dimulai pada Pemilu Presiden 2009. Oktober 2008, Ketua Majelis Syuro PKS saat itu, Hilmi Aminuddin, mengeluarkan delapan nama capres yang semuanya merupakan kader PKS.
ADVERTISEMENT
Ujung-ujungnya, PKS berkoalisi dengan Demokrat yang mengusung petahana Susilo Bambang Yudhoyono. Dan alih-alih mengambil satu dari delapan nama kader PKS, SBY justru memilih orang nonpartai, Boediono, sebagai calon wakil presiden.
Pada Pilpres 2014 pun demikian. Februari 2014, Hilmi mengajukan Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, dan Ahmad Heryawan sebagai capres dari PKS. Pada akhirnya nama-nama tersebut tak pernah secara resmi diajukan sebagai capres atau cawapres.
PKS yang ketika itu mendukung Prabowo Subianto sebagai capres, bernasib serupa 2009. Kursi cawapres Prabowo malah ditempati Hatta Rajasa dari PAN yang capaian suaranya bahkan jauh lebih sedikit dari PKS. Ironis.
Nasib buruk PKS soal kursi wakil tak berhenti di Pilpres, tapi merembet ke Pilkada. Pada Pilkada DKI Jakarta 2017, setelah kader PKS Mardani Ali Sera berkali-kali tampil sebagai cawagub mendampingi Sandiaga Uno, ia kemudian justru tersingkir oleh Anies Baswedan yang dinilai punya peluang lebih baik di menit terakhir.
ADVERTISEMENT
Jangankan Mardani, Sandiaga saja saat itu harus rela menyerahkan kursi cagub ke Anies. Sebab ini soal elektabilitas. Logisnya, semua kalkulasi politik memang tunduk pada perhitungan matematis.
Dengan deretan riwayat pahit itu, PKS kini mengulangi tradisi serupa jelang gelaran Pilpres 2019.
Ambisi PKS di Pilpres 2019 (Foto: Putri Sarah A/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ambisi PKS di Pilpres 2019 (Foto: Putri Sarah A/kumparan)
Di luar, PKS tentu saja bilang mereka legowo. Puji-pujian dari mitra koalisi yang bilang bahwa PKS adalah otak di balik kejayaan, juga sedikit menyejukkan hati.
Namun, ini politik. Pencalonan sosok kader partai di arena politik tertinggi adalah segalanya. Di lanskap politik Indonesia yang amat mementingkan seorang figur untuk mendongkrak keterpilihan partai, kembali dikorbankannya figur-figur PKS adalah mimpi buruk. PKS tak mau mengulangi kesalahan yang sama.
Apalagi pada 2019, pemilu legislatif dilaksanakan serentak dengan pilpres. Jadi, figur PKS di kursi cawapres tentu ikut mengerek pendapatan suara partai di pileg. Itulah kenapa penting bagi PKS memastikan Prabowo memilih wakil dari orang-orang yang ia sodorkan.
ADVERTISEMENT
Penempatan tokoh internal partai di posisi kunci, capres atau cawapres, akan secara langsung berpengaruh ke kondisi psikologis kader. Inilah jaminan militansi dan semangat juang kader yang tak putus dalam memenangkan partai di pemilu.
Untuk mengamankan ‘jatah’ kursi cawapres, PKS juga sempat melemparkan ‘ancaman’ secara halus ke Gerindra, bahwa ia masih mungkin beralih koalisi membentuk poros baru bersama Demokrat seperti yang digagas SBY.
PKS mengisyaratkan, yang penting bagi mereka Jokowi punya lawan di Pilpres 2019, entah apakah lawan itu berjumlah satu (Prabowo) atau dua (Prabowo dan seorang tokoh yang diusung Poros Ketiga).
Cacat Strategi
Apa lacur, PKS bukanlah partai besar. Capaian suara mereka di pileg dari tahun ke tahun bisa dibilang stagnan sejak berubah nama dari Partai Keadilan pada Juli 2002.
ADVERTISEMENT
Tahun 2004, perolehan suara PKS mencapai 7,34 persen. Angka itu naik 0,54 persen pada 2009, namun turun ke 6,79 persen di 2014. Saat ini PKS cuma menguasai 40 kursi DPR (35 persen dari presidential threshold), lebih sedikit sembilan kursi ketimbang PAN yang sama-sama menjadi calon terkuat koalisi Gerindra.
Itu semua, tentu saja, bukan posisi yang terlalu baik bagi PKS. Belum lagi elektabilitas sembilan nama yang diajukan PKS juga melempem ketimbang pesohor politik lain. Berdasarkan survei Indikator yang dipublikasikan awal Mei, tidak ada satu pun kader PKS di antara sembilan nama itu yang masuk 10 besar simulasi survei top of mind.
Praktis hanya Anis Matta (urutan 13) dan Ahmad Heryawan (urutan 17) yang masuk dalam 25 besar calon presiden versi survei tersebut. Capaian itu masih kalah dengan sosok-sosok yang jelas tidak mungkin mencalonkan diri sebagai presiden seperti Ridwan Kamil (urutan 9) yang saat ini jadi calon gubernur Jawa Barat, atau bahkan Basuki Tjahaja Purnama (urutan 11) yang saat ini mendekam di bui.
ADVERTISEMENT
Menurut Mahfudz Siddiq, anggota DPR dari Fraksi PKS, keterpilihan minim PKS ini sedikit banyak disebabkan sikap PKS sendiri. Menurutnya, kebijakan dan kultur yang dianut PKS tidak menunjang kader-kadernya untuk melejitkan pamor seperti tokoh partai lainnya.
Yang pertama soal fokus 2019. Mahfudz menilai, PKS salah menyusun prioritas. Menurutnya, dengan target 12 persen suara, PKS harus lebih mementingkan gelaran pemilu legislatif ketimbang pemilu presiden.
“Buat apa memenangkan capres/cawapres yang belum tentu dari partai kami, tetapi di pileg target partai enggak tercapai?” kata mantan Ketua Fraksi PKS itu.
Lebih jauh, Mahfudz menilai fokus PKS pada Pilpres 2019 itu pun tak dibarengi strategi yang tepat. Ia mencontohkan kebijakan partai yang melarang sembilan capres PKS bersosialisasi maupun membentuk tim sukses. Padahal, menurutnya, sembilan figur tersebut seharusnya bisa berkeliling dan bersosialisasi hingga akhirnya dapat menarik gerbong suara PKS di pemilu legislatif.
ADVERTISEMENT
“Tapi kan aturan main di PKS justru tidak begitu. Sembilan orang ini harus duduk manis diam. Jadi kayak pengantin di rumah gitu, (nunggu) dipingit,” ujarnya, mengkritik.
Meskipun demikian, tak semua nama yang dicalonkan PKS itu benar-benar diam. Dibanding yang lain, hanya mantan presiden PKS Anis Matta yang tergolong aktif mempromosikan diri ke khalayak.
Sohibul Iman dan Anis Matta. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan; Instagram @broanismatta)
zoom-in-whitePerbesar
Sohibul Iman dan Anis Matta. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan; Instagram @broanismatta)
Deklarasi dukungan pencapresan Anis Matta oleh relawan Anis Matta Pemimpin Muda (AMPM) secara bergantian dilakukan dalam dua bulan terakhir. Dari Bandung, Semarang, Bali, hingga Toraja. Maka tak mengagetkan apabila nama Anis Matta masih lebih populer di beberapa survei, melebihi Ahmad Heryawan yang berstatus Gubernur Jawa Barat.
Namun begitu, aksi deklarasi Anis Matta malah mendapatkan tentangan dari partainya sendiri. Sehari sebelum deklarasi AMPM di Bandung, Dewan Pengurus Wilayah PKS Jawa Barat mengeluarkan maklumat yang memerintahkan kader-kadernya tak menghadiri acara deklarasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Anis Matta, menurut pengamat sekaligus kader PKS Arief Munandar yang pernah menerbitkan disertasi berjudul Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader PKS (2011), punya gaya yang khas ketimbang kebanyakan kader PKS.
Arief pun setuju dengan pendapat Sohibul, bahwa boleh saja Anis Matta progresif dalam meningkatkan elektabilitas, namun keaktifan Anis tersebut bukanlah tradisi PKS.
“Kalau Pak Aher tuh nggak pernah mempromosikan diri sendiri. Kalau ada orang bagus, kader PKS yang lain yang akan mempromosikan dia dan mengangkat namanya. Itu kultur PKS,” kata Arief kepada kumparan di Depok, Rabu (25/4).
Persis itulah yang dikritik Mahfudz. “Apakah kalau partai dakwah, kadernya tidak boleh bersosialisasi? Yang dipahami Pak Anis Matta, PKS ini parpol, dan kalau ingin memimpin negara ya harus kampanye dan bikin relawan. Sosialisasi sesuai prinsip dakwah.”
ADVERTISEMENT
Ultimatum
Di tengah angka elektabilitas yang tak begitu menjanjikan bagi PKS, belum pastinya Gerindra mengangkat satu dari sembilan kader mereka sebagai cawapres Prabowo, menjadi beban tambahan bagi PKS. Oleh sebab itu, dengan memberikan batas waktu kepada Gerindra, PKS berharap untuk lebih cepat memastikan porsi kursi dan segera melancarkan taktik menghadapi Pileg 2019.
“Sebagaimana Gerindra perlu koalisi, kami juga perlu. Kan sangat penting untuk merawat kerja sama ini dengan saling menghormati,” kata Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid, Kamis (3/5).
Gerindra sendiri santai saja menanggapi tenggat waktu yang diberikan PKS. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan komunikasi antara kedua partai terus berjalan, diwakili oleh Sandiaga Uno dan Mustafa Kamal.
ADVERTISEMENT
“Soal wapres, tentu akan diputuskan oleh Pak Prabowo bersama pimpinan partai koalisi nanti,” ujar Andre.
Seminggu setelah batas waktu dikeluarkan oleh Sohibul, belum ada komitmen tegas dari Gerindra untuk memilih kader PKS sebagai cawapres Prabowo. Malahan, komentar Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono menegaskan kekhawatiran PKS.
Arief berpendapat, Anies Baswedan lebih tepat mendampingi Prabowo di kursi cawapres. Tapi, imbuh Arief, “Sembilan nama (cawapres PKS) ya tetep dipikirkan.”
Lagi-lagi ini kembali ke soal elektabilitas. Dari berbagai hasil survei, Anies Baswedan terpantau memiliki elektabilitas lebih tinggi ketimbang calon-calon dari PKS.
Arief merasa, pun bila Anies akhirnya ‘diseret’ menjadi cawapres Prabowo, PKS tak bakal terlalu keberatan. “Kan nanti wakil gubernurnya bisa PKS,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Maksud Arief tentu saja kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta yang akan ditinggalkan Sandiaga Uno bila ia naik menjadi Gubernur Jakarta, selepas Anies Baswedan pergi mendampingi Prabowo di kontestasi Pilpres.
Itu, tentu saja, juga belum pasti. Hanya ‘bila’. Satu skenario di antara deretan yang ada. Sebab sebelum awal Agustus saat tenggat waktu pendaftaran capres-cawapres, semua rencana masih mungkin berubah.
Ambisi muluk PKS akan berhadapan dengan realitas.
❖ ❖ ❖
Endus aroma PKS ‘Pecah’ di Liputan Khusus kumparan.