Setelah Yusril Gagal Bebaskan Ba’asyir

28 Januari 2019 9:42 WIB
comment
59
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus kumparan: Siapa Mau Bebaskan Ba’asyir
 (Foto: Herun Ricky/kumparan, AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Siapa Mau Bebaskan Ba’asyir (Foto: Herun Ricky/kumparan, AFP)
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo geram. Raut kesal terpancar dari wajahnya setelah mendengar laporan rapat terkait dampak pernyataan Yusril Ihza Mahendra soal Abu Bakar Ba’asyir bisa bebas tanpa syarat ‘hanya’ karena alasan kemanusiaan. Masalahnya, pembebasan Ba’asyir sebagai terpidana terorisme harus memenuhi satu syarat pokok—setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Usulan membebaskan Ba’asyir memang sempat disampaikan Yusril, Penasihat Hukum Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin, kepada Jokowi di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, di sela latihan debat pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor 01 itu, Rabu (16/1).
Saat itu, Yusril menyampaikan kondisi Ba’asyir—tokoh yang kerap dilekatkan dengan berbagai aksi teror—sudah sepuh dan sakit-sakitan. Jokowi pun menjawab, “Sila dikomunikasikan. Kalau alasan kemanusiaan, saya setuju. Kasih opsi apa rekomendasinya, seharusnya bagaimana.”
Belum ada keputusan apa pun malam itu. Namun, berita bergulir liar setelah Yusril kembali menemui Ba’asyir untuk kali kedua di Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (18/1).
Di sana Yusril menyatakan bahwa Ba’asyir akan dibebaskan tanpa syarat apa pun. Pada hari yang sama, pernyataan Jokowi di Pondok Pesantren Darul Arqam Garut yang berbunyi, “Intinya pertimbangan faktor kemanusiaan, termasuk kondisi kesehatan. Beliau (Ba’asyir) sudah sepuh” seakan menegaskan apa yang disampaikan Yusril.
ADVERTISEMENT
Ba’asyir layak dibebaskan tanpa syarat-syarat yang memberatkan.
Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir di Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya)
zoom-in-whitePerbesar
Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir di Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya)
Esok harinya, Sabtu (19/1), Yusril bersama Tim Kuasa Hukum Ba’asyir menggelar konferensi pers di The Law Offices of Mahendradatta, Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, untuk memastikan isu pembebasan pentolan Jemaah Islamiyah tersebut.
Yusril menjelaskan, Ba’asyir memang berhak bebas bersyarat pada 13 Desember 2018 karena telah menjalani 2/3 masa hukuman. Namun, syarat untuk memperolehnya adalah dengan menandatangani ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila.
“Ba'asyir sudah bilang kalau memang harus taat Pancasila (yang) sejalan dengan Islam, kenapa tidak taat pada Islam saja. Pertimbangannya (bebas) adalah kemanusiaan dan penghormatan kepada seorang ulama,” ujar Yusril.
Ia kembali mengatakan, Presiden Jokowi telah setuju untuk meringankan syarat pembebasan Ba’asyir yang sakit dan renta.
ADVERTISEMENT
“Sekarang Presiden ambil alih, Presiden punya kebijakan—‘Kebijakan saya, ini (Ba’asyir) dibebaskan.’ Artinya dia (Jokowi) menyampingkan peraturan menteri. Peraturan menteri itu dari segi hukum adalah aturan kebijakan. Karena di aturan kebijakan, yang tertinggi (sebagai) pengambil kebijakan adalah presiden, kalau presiden mengesampingkan, ya selesai,” papar Yusril Sabtu itu.
Anak Abu Bakar Ba'asyir, Abdul Rochim, di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anak Abu Bakar Ba'asyir, Abdul Rochim, di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Harapan di hati Ba’asyir dan keluarga membubung tinggi. Abdul Rochim, putra ketiga Ba’asyir, tersenyum dan menangis haru membayangkan bisa kembali berkumpul bersama ayahnya yang telah berusia 81 tahun.
Ia segera mempersiapkan kepulangan Ba’asyir ke rumah. Pesanan makanan hingga bus jemputan disiapkan untuk menyambut kembalinya pimpinan Jamaah Ansharut Tauhid itu. Ba’asyir meminta waktu tiga hari untuk mengemas barang-barangnya.
Meski begitu, rencana tak berjalan mulus. Pembebasan Ba’asyir bergulir menjadi bola liar, membuat Jokowi kemudian meminta para menterinya segera mengkaji perkara tersebut.
ADVERTISEMENT
Maka berkumpullah Menkopolhukam Wiranto, Mensesneg Pratikno, Menkumham Yasonna Laoly, Kepala KSP Moeldoko, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, hingga Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (21/1).
Dalam rapat yang berlangsung tiga jam tersebut, berbagai pihak memberikan pandangan terkait baik-buruknya membebaskan Ba’asyir. Menurut sumber kumparan di lingkaran Jokowi, lembaga-lembaga keamanan paling tegas menolak pembebasan Ba’asyir. Alasannya: faktor keamanan.
Sore harinya, Wiranto pun melangsungkan jumpa pers. “(Pembebasan Ba'asyir) masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya, seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI, hukum, dan lain sebagainya,” kata Wiranto membaca draf siaran pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat.
Ia menekankan, “Presiden kan tidak boleh grasa-grusu dan serta-merta mengambil keputusan, jadi ya harus mempertimbangkan aspek lainnya.”
Abu Bakar Ba'asyir Batal Bebas (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Abu Bakar Ba'asyir Batal Bebas (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Sumber kumparan di lingkaran Jokowi mengatakan, Jokowi kesal dan kecewa pada Yusril ketika menerima laporan hasil rapat para menteri. Pertama, Jokowi merasa tidak pernah menyatakan dengan resmi akan memberi pengampunan kepada Ba’asyir.
ADVERTISEMENT
Kedua, Jokowi berharap Yusril menyampaikan lebih dulu hasil diskusi dengan Ba’asyir dan keluarga kepadanya sebelum menyebarkannya riuh ke media sosial.
Ketiga, faktor kemanusiaan yang dimaksud Jokowi menurut sang Presiden lebih menyoal kemudahan perawatan kesehatan untuk Ba’asyir, namun kemudian disalahartikan jadi peringanan syarat pembebasan.
Esok harinya, Selasa (22/1), di Istana Negara, Jokowi mengatakan pembebasan Ba’asyir harus ditunda. Ba’asyir baru bisa bebas jika menyatakan kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI. Alasan kemanusiaan, menurut Jokowi, tak lantas membuat aturan hukum bisa dipinggirkan.
“Ada mekanisme hukum yang harus kita lalui. Ini namanya pembebasan bersyarat, bukan pembebasan murni. Nah, syaratnya harus dipenuhi. Kalau enggak, saya enggak mungkin nabrak (aturan hukum),” ujar Jokowi. "Contoh, setia pada NKRI, setia pada Pancasila. Itu basic sekali, sangat prinsip sekali.”
ADVERTISEMENT
Kuasa hukum Ba’asyir, Muhammad Mahendradatta, mengaku bingung terkait poin kliennya enggan menandatangani surat setia kepada NKRI. Menurutnya, tim kuasa hukum sudah berulang kali menanyakan kepada Yusril syarat apa yang harus dipenuhi agar Ba’asyir bisa bebas, dan Yusril selalu mengatakan tidak ada syarat apa pun.
Mahendra mengatakan, Yusril belum pernah menyodorkan surat ikrar setia kepada NKRI kepada Ba’asyir. Menurutnya, jika dari awal Yusril menjelaskan harus menandatangani ikrar setia kepada NKRI, tentu Ba’asyir enggan menerima tawaran bebas tersebut.
“Enggak pernah dikasih surat itu kepada ustaz,” kata Mahendradatta kepada kumparan di kantornya, Cipete, Jakarta Selatan, Kamis (24/1).
Mahendra pun mempertanyakan, apakah ketentuan yang dibebankan kepada kliennya itu bagian dari Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang antara lain mengatur bahwa narapidana terorisme, narkotika, korupsi, dan kejahatan HAM berat harus menyatakan ikrar kesetiaan kepada NKRI secara tertulis sebagai syarat bebas.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, Ba’asyir divonis pada Juni 2011, sedangkan PP Nomor 99 Tahun 2012 baru terbit setahun kemudian pada November 2012.
“UUD kita kan sudah jelas-jelas menerapkan suatu ketentuan non-retroaktif—seseorang tidak dapat dituntut berdasarkan hukum yang berlaku (setelahnya),” ujar Mahendra.
Menurutnya, Ba’asyir telah menyampaikan kepada Yusril bahwa jika ingin membantunya bebas, tidak perlu dengan cara bebas tanpa syarat. Ba’asyir mengusulkan kepada Yusril agar memberinya remisi besar saat Idul Fitri mendatang.
“Saya enggak pernah meminta-minta bebas ke siapa pun. Kalau mau nolong, kasih saja remisi besok pas Idul Fitri, kan selesai. Enggak ada polemik lagi,” ujar Mahendra menirukan ucapan Ba’asyir.
Yusril Iza Mahendra. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Yusril Iza Mahendra. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Yusril menyatakan, ia hanya menjalankan tugas yang diberikan oleh Presiden. Kini ia merasa tugas itu telah selesai. Polemik yang berkembang kemudian, ia kembalikan ke pemerintah yang memiliki kewenangan.
ADVERTISEMENT
“Saya merasa, apa yang sudah ditugaskan oleh Presiden kepada saya sudah saya laksanakan seluruhnya,” ujarnya di sela acara Ulang Tahun Megawati Soekarnoputri di Grand Sahid Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (23/1).
Upaya pembebasan Ba’asyir bukan kali ini saja terjadi. Medio Maret 2018, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sempat menyambangi Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki yang didirikan Ba’asyir, dan menyampaikan usul agar Ba’asyir bisa dirawat di rumah.
Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi menyatakan, jika Ba’asyir ingin bebas maka ia bisa mengajukan grasi kepada Presiden. Namun Ba’asyir dan keluarganya enggan, sebab itu artinya Ba’asyir mesti mengakui kesalahan untuk meminta pengampunan tersebut. Padahal Ba’asyir merasa apa yang ia lakukan adalah benar.
ADVERTISEMENT
Jika pendekatan kepada Ba’asyir saat itu terkait upaya deradikalisasi dan keamanan, maka kali ini aroma politik kental tercium.
Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir di Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya)
zoom-in-whitePerbesar
Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir di Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya)
Yusril dan Ba’asyir yang tak memiliki hubungan personal, dikenal sebagai pengagum setia Mohammad Natsir—pejuang kemerdekaan, tokoh Islam terkemuka, sekaligus pendiri Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang merupakan partai politik Islam terbesar di Indonesia pada era demokrasi liberal periode 1950-1959 di bawah Sukarno.
Berkali-kali Yusril menyatakan kekagumannya kepada sosok Natsir. Disertasi Yusril di Universiti Sains Malaysia bahkan membahas M. Natsir hingga ia sempat dijuluki Natsir Muda. Sementara Abu Bakar Ba’asyir pernah direkrut M. Natsir menjadi pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Menurut sumber kumparan, saat Ba’asyir mengasingkan diri ke Malaysia sebagai Ketua Mantiqi I Jemaah Islamiyah, ia sering bertemu Yusril yang tengah menyelesaikan studi doktoralnya.
ADVERTISEMENT
“Akar pemikiran Pak Yusril dan Abu Bakar Ba’asyir itu sama, yaitu modernis. Mereka adalah orang-orang yang mendukung ideologi Mohammad Natsir,” ujar pengamat terorisme Noor Huda kepada kumparan.
Selain itu, sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang—yang kini ‘berkiblat’ ke Jokowi, manuver Yusril soal Ba’asyir ditengarai merupakan langkah politik demi mendongkrak elektabilitas PBB. Banyaknya publikasi media terkait Yusril diharapkan bisa menarik massa PBB dan meraih efek elektoral.
“Kerumitan elektoral PBB membuat Yusril harus memutar otak untuk mencari strategi publikasi jitu,” kata pengamat politik CSIS Arya Fernandes, Sabtu (26/1).
Dukungan Partai Bulan Bintang ke Jokowi pun, menurut Arya, tak lepas dari strategi Yusril. “(Dengan begitu) PBB juga akan dapat publikasi.”
Menurut pengamat politik dan pertahanan Universitas Padjadjaran, Muradi, upaya Yusril membebaskan Ba’asyir merupakan sebuah langkah politik agar ia memperoleh legitimasi dalam mendukung Jokowi. Yusril berupaya menarik gerbong pengikutnya untuk memilih Jokowi-Ma’ruf Amin.
ADVERTISEMENT
“Salah satunya dengan mendorong Ba’asyir untuk dilepas. Asumsinya, itu menjadi pembuktian bahwa pemerintahan Jokowi tidak keras terhadap kelompok (konservatif),” kata Muradi kepada kumparan.
Tapi, Yusril gagal meyakinkan Ba’asyir untuk bersumpah setia kepada NKRI.
Maka, alih-alih menarik hati kelompok konservatif untuk mendukung Jokowi, isu pembebasan Ba’asyir malah menggerogoti elektabilitas Jokowi.
Abu Bakar Ba'asyir dan Teror (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Abu Bakar Ba'asyir dan Teror (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Analis media sosial Ismail Fahmi mengatakan, isu pembebasan Ba’asyir menambah volume percakapan terkait golput di media sosial.
Sehari setelah debat, Jumat (18/1), isu Ba’asyir bebas langsung mengemuka menjadi salah satu isu utama terkait golput dengan porsi 9 persen. Dalam rentang 17-21 Januari, topik Abu Bakar Ba’asyir menyumbang 31 persen isu-isu terkait golput.
“Awalnya mereka tidak puas dengan performa Jokowi-Ma’ruf di debat. ‘Udahlah, golput aja’. Lalu muncul isu Abu Bakar Ba’asyir yang makin memperkuat alasan untuk golput,” ujar Ismail kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Direktur Advokasi dan Hukum Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Ade Irfan Pulungan, tak menyanggah efek negatif soal Ba’asyir terhadap elektabilitas Jokowi. Sebab sebagai petahana, setiap kebijakan Jokowi akan memengaruhi elektabilitasnya.
“(Soal Ba’asyir) ini kan sebenarnya kebijakan pemerintah, dan Pak Jokowi sebagai capres. Itu risiko, karena ini tahun politik,” kata dia, Jumat (25/1).
Abu Bakar Ba'asyir saat menjalani persidangan di Jakarta, 3 Maret 2005. (Foto: AFP/Adek Berry)
zoom-in-whitePerbesar
Abu Bakar Ba'asyir saat menjalani persidangan di Jakarta, 3 Maret 2005. (Foto: AFP/Adek Berry)
Pengamat terorisme Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menilai pembebasan Ba’asyir perlu dilakukan lewat kajian cukup mendalam. Sebab, menurutnya, meski usia Ba’asyir telah menginjak 81 tahun, ketokohannya tak perlu diragukan.
Ia menyatakan, Ba’asyir bisa lebih menginspirasi loyalisnya jika berada di luar penjara, karena di luar jeruji memungkinkannya untuk bebas berinteraksi dengan siapa pun.
“Saya belum melihat ada tokoh yang secara individu bisa menginspirasi orang, bahkan untuk melakukan aksi kekerasan, selain Abu Bakar Ba’asyir,” ucap Noor Huda.
ADVERTISEMENT
Apakah Ba’asyir bebas atau tidak, yang jelas pemerintah harus selalu siap dengan segala tafsir publik yang timbul.