Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Sugar Daddy, Dunia Hitam yang Tak Lekang Waktu
5 Juli 2018 13:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, seorang pengguna Twitter membuat ramai dunia maya lewat pengakuannya saat menjalin hubungan spesial dengan seorang pria yang lebih tua. Dia menyebut si pria sebagai seorang sugar daddy.
ADVERTISEMENT
Tidak diketahui pasti sejak kapan istilah ini muncul. Namun dalam suatu kolom di Reporterherald, istilah sugar daddy disebut berasal dari kisah pernikahan seorang pengusaha gula yang kaya raya asal Amerika Serikat bernama Adolph Spreckels. Adolph menikah dengan seorang perempuan yang berusia 24 tahun lebih muda, Alma, pada tahun 1908.
Di Indonesia, fenomena sugar daddy bukanlah hal baru. Menurut psikolog Elizabeth Santosa sugar daddy sudah ada sejak lama namun dengan istilah yang berbeda.
“Itu sih bukan hal baru ya. Cuma berbeda istilah saja, karena (sugar daddy) itu kan istilah dari luar (negeri). Korbannya itu bisa remaja, buat jajan, buat shopping, buat senang-senang, bisa buat sekolah,” ujar Elizabeth saat berbincang dengan kumparan.
ADVERTISEMENT
Elizabeth mengatakan, selain uang, banyak faktor yang menyebabkan seorang perempuan bisa terjerat hubungan dengan sugar daddy. Bukan rahasia lagi memang, bila penanda hubungan semacam ini adalah banyak pemberian uang ataupun hadiah dari daddy kepada baby-nya.
“Kalau baby-nya kebanyakan memang karena uang ya, tapi bisa juga karena tren, senang-senang,” papar Elizabeth.
Selain itu, ia menekankan bahwa terdapat peran orang tua dalam terjalinnya suatu hubungan antara sugar daddy dan sugar baby . Kurangnya perhatian orang tua, disebutnya menjadi faktor pemicu seorang anak rela menjadi sugar baby terlebih jika masih berusia remaja.
ADVERTISEMENT
Pola gaya hidup, menurut Elizabeth menjadi poin penting dalam lingkaran hubungan daddy dan baby. Ia membandingkan, dahulu keterbatasan ekonomi jadi alasan perempuan untuk menjadi seorang baby, namun belakangan, hal itu juga dilakukan oleh mereka yang dari kalangan berada.
“Kalau sekarang, lebih kepada pemenuhan gaya hidup hedonis. Karena banyak dari mereka yang sebenarnya orang tuanya mampu, cukup untuk sekolah dan makan. Ini untuk memenuhi gaya hidup hedonis dan hura-hura saja,” tuturnya.
Apa yang diucapkan Elizabeth senada dengan pengalaman seorang perempuan muda asal Jakarta , sebut saja namanya Ralina. Kepada kumparan, Ralina yang masih berstatus mahasiswi itu mengaku bahwa konflik dalam keluarganya membuat dirinya rela memutuskan menjadi seorang sugar baby.
“Mereka (orang tua) enggak bisa ngasih apa yang aku butuh. Kayak perhatian itu gampang enggak perlu pakai uang, enggak perlu minjam ke bank, itu saja susah banget dikasih. Waktu saja enggak berharga banget buat anak yang mereka buat dulu, mereka sayang sebenarnya sama aku tapi kurang perhatian saja susah, apa-apa uang," ujar perempuan berusia 20 tahun itu saat berbincang dengan kumparan, Jumat (30/8).
ADVERTISEMENT
Apa yang dialami Ralina hanyalah segelintir kisah yang mungkin juga dialami oleh perempuan-perempuan seusianya. Sudah sewajarnya orang tua sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas perkembangan perilaku anak mengubah pola asuh mereka.
Jangan lewatkan kisah Sugar Daddy melalui tautan di bawah ini.