Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Siapa cawapres Joko Widodo ?”
Pertanyaan itu seolah menjadi hantu, bukan saja bagi para oposan tapi juga mereka yang menjadikan tebak-tebakan ini sebagai taruhan (tentu bukan Piala Dunia saja yang bisa jadi ajang taruhan). Sejak jauh hari, karakter wakil yang dicari untuk mendampingi Jokowi di laga keduanya tampak jelas: sosok seperti Jusuf Kalla .
ADVERTISEMENT
Pengusaha yang telah 20 tahun malang melintang di pemerintahan itu memiliki kriteria yang disukai koalisi partai pendukung Jokowi. Berasal dari wilayah timur Indonesia, memiliki dukungan logistik, dekat dan diterima berbagai kelompok Islam, paham ekonomi, dan tidak mungkin kembali berlaga di 2024 sehingga memberi kans sempurna bagi kemunculan tokoh muda lima tahun mendatang.
“Partai-partai ini kan memiliki libido besar ‘untuk menjadikan kadernya capres di 2024’. Sehingga mungkin saja kebanyakan parpol menginginkan sosok wapres Jokowi tidak memiliki peluang besar untuk bisa maju di 2024,” ujar Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, kepada kumparan, Rabu (18/7).
Selain itu, JK juga memiliki tingkat keterpilihan paling tinggi di antara nama-nama yang bererdar. Survei Charta Politika pada 13-19 April mendudukkan JK di posisi teratas dengan tingkat keterpilihan 11,8 persen. Litbang Kompas bahkan mencatat elektabilitas pria berusia 76 tahun itu mencapai 15,7 persen.
ADVERTISEMENT
Jika mengikuti kriteria yang diajukan JK terkait wakil untuk Jokowi, “Pokoknya harus menambah (elektabilitas), minimal 15 persen,” maka hanya ia seorang yang memenuhi syarat itu. Sebab, dari sepuluh nama yang beredar, menurut Romahurmuziy, tidak ada satu pun yang bisa menambah elektabilitas secara signifikan.
“Kontribusi elektabilitasnya itu--the one and only--dari Jokowi,” ujar Ketua Umum PPP yang akrab disapa Romy di Gedung Nusantara I Kompleks DPR RI, Jakarta, Kamis (19/7).
Memilih kembali Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi menjadi pilihan paling aman dengan ongkos--politik ataupun materi--lebih murah untuk mencapai kemenangan. Satu-satunya yang mengganjal JK untuk kembali berlaga adalah: aturan hukum.
ADVERTISEMENT
“Ada yang mengusulkan saya ikut lagi, tentu saya berterima kasih. Tapi kita harus kaji baik UUD kita,” ujar JK menanggapi namanya yang kembali masuk bursa cawapres Jokowi pada akhir Februari.
Sebelumnya, JK sempat ditemui oleh Jokowi di kantor wakil presiden pada awal Februari. Sumber kumparan di Istana menyatakan, Jokowi secara implisit menanyakan peran apa yang akan diambil JK pada Pemilu 2019 nanti.
Setelah menghela napas dan tersenyum, JK menjawab ia siap jika diperlukan. Tetapi JK meminta Jokowi untuk mencari nama lain lebih dulu.
Mencari Celah
“Bahwa pada prinsipnya kami sangat mendukung permohonan prioritas yang diajukan oleh pemohon untuk dapat diputus sebelum pendaftaran capres-cawapres yang dimulai pada 4-10 Agustus," tulis JK dalam salinan permohonan sebagai Pihak Terkait dalam gugatan uji materi UU Pemilu yang dilayangkan oleh Partai Perindo.
ADVERTISEMENT
Di antara para kandidat cawapres Jokowi, JK menjadi satu-satunya orang yang telah dua kali menjabat sebagai wakil presiden, yakni periode 2004-2009 dan 2014-2019. Dua kali menjadi wakil presiden secara tidak berturut-turut dianggap menjadi celah untuk diperdebatkan dan membuka kemungkinan ia kembali turung gelanggang.
Juru Bicara JK, Husain Abdullah, kepada kumparan menyatakan keikutsertaan JK sebagai Pihak Terkait itu atas permintaan Perindo. Namun, Perindo membantah menjalin komunikasi dengan Jusuf Kalla.
Sementara kuasa hukum JK, Irmanputra Sidin, mengatakan, “Pak JK juga tidak bisa menutup mata kehendak-kehendak partai politik pemenang pemilu untuk mengajukan beliau sebagai wakil presiden.”
JK tengah ber‘tiki-taka’, dan ia kudu berburu waktu. Pasalnya, tenggat pendaftaran capres-cawapres untuk Pemilu Presiden 2019 tinggal tiga minggu. Maka kali ini ia harus turut serta memperkuat status gugatan.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, uji materi pembatasan masa jabatan dalam UU Pemilu sempat diajukan Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi (Perak) dan Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) sebulan yang lalu. Gugatan ini ditolak Mahkamah Konstitusi karena pemohon tak memiliki legal standing.
Dikutip dari Majalah Tempo , kuasa hukum penggugat Dorel Amir tengah melobi partai-partai baru agar mau menggugat. Sebab permohonan uji materi ini, menurut Mahfud MD, hanya bisa dilakukan oleh pihak berkepentingan, yakni partai politik, Susilo Bambang Yudhoyono, atau Jusuf Kalla sendiri.
Selang sepuluh hari setelah gugatan Perak dan FSPS ditolak, Perindo mengajukan gugatan serupa. “Agar bisa memberikan alternatif pilihan kepada Pak Jokowi… agar politik tidak gaduh,” ujar Sekjen Perindo Ahmad Rofiq kepada kumparan, Kamis (19/7).
Bagi para penggugat, penjelasan Pasal 169 huruf (n) dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sedikit berbeda dengan apa yang tertulis dalam UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Syarat calon presiden dan wakil presiden dalam UU Pemilu berbunyi, “Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Sementara Pasal 7 UUD 1945 berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.”
“Dalam penjelasan UU Pemilu itu ada kalimat, yang dimaksud dengan dua kali itu adalah secara berturut-turut dan tidak berturut-turut … penjelasan pasal 169 huruf (n) itu melanggar Undang-undang Dasar 1945,” ujar pengacara Perindo, Ricky Margono, saat berbincang dengan kumparan, Jumat (20/7).
Sementara Irmanputra Sidin menilai frasa ‘hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan’ itu berlaku untuk presiden, mengingat sejarah 32 tahun pemerintahan Soeharto yang kelewat lama.
ADVERTISEMENT
“Apakah frasa ini juga untuk wakil presiden? Jawabannya, tidak. Karena wakil presiden hanya pembantu presiden--sama halnya dengan menteri,” ujar Irman--berdasarkan versi dia tentu saja.
Namun menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, aturan pembatasan masa jabatan merupakan amanat Reformasi agar kekuasaan harus dibatasi. “Sebenarnya telah jelas, pembatasan masa jabatan dua periode saja.”
Tanpa peduli berturut-turut atau tidak berturut, dosen hukum tata negara Universitas Padjadjaran Bilal Dewansyah mengatakan, “Yang penting apakah ia sebagai individu untuk satu jabatan yang sama itu sudah dua kali masa jabatan atau belum.”
Artinya, untuk jabatan yang sama, presiden dan wakil presiden hanya memiliki jatah dua kali masa jabatan.
ADVERTISEMENT
Jadi seharusnya, pembatasan masa jabatan itu berlaku untuk presiden maupun wakil presiden. “Karena itu satu jabatan sebenarnya, yang bernama lembaga kepresidenan. Di dalam lembaga itu ada dua pejabat, presiden dan wakil presiden,” papar Bilal.
Tujuan pembatasan itu demi menghindari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
Baik Refly ataupun Bilal berpendapat, kecil kemungkinan gugatan Perindo dikabulkan MK. Sebab, menurut Bilal, “Kalau ditafsirkan harus berturut-turut, berarti itu sangat mudah sekali untuk diselundupkan secara hukum.”
“Pak Jusuf Kalla sudah dua kali menjabat wakil presiden. Tidak berturut-turut tapi jatahnya dua kali. Jadi dia punya jatah atau punya kesempatan hanya untuk menjadi presiden karena dia belum pernah menjadi presiden,” pungkas Bilal.
Di Sela Upaya Lain
ADVERTISEMENT
Menjadi kingmaker atau maju sebagai capres?
Pilihan itu sempat menyambangi JK setidaknya tiga bulan terakhir ini. Meski sempat melontarkan keinginan untuk beristirahat, JK tidak benar-benar diam.
Awal Mei, Sandiaga Uno sempat menemui JK sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Koordinator Tim Pemenangan Prabowo. Menurut Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, pertemuan itu untuk meminta restu agar Anies Baswedan mendampingi Prabowo di Pilpres 2019.
Sejak lama Jusuf Kalla memang dikenal dekat dengan Sandi maupun Anies. Universitas Paramadina menjadi simpul ikatan di antara ketiganya.
Pada 2007 hingga 2015, Anies sempat menjadi rektor Universitas Paramadina. Sementara Sandi sampai saat ini masih tercatat sebagai Bendahara Umum, dan JK menjabat Ketua Dewan Pembina Yayasan Paramadina .
Desas-desus JK akan menjadi kingmaker bagi Anies pun berembus kencang. Keduanya terlihat sering bersama-sama dalam satu mobil. Mulai dari meninjau venue Asian Games pada Jumat (29/6), menghadiri acara halalbihalal PBNU pada Selasa (3/7), serta silaturahmi PP Muhammadiyah keesokannya di hari Rabu (4/7).
ADVERTISEMENT
Kebersamaan Anies-JK itu, bagi Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi, adalah hal wajar. Sebab, Anies adalah ‘kesayangan’ JK .
Dalam wawancaranya bersama kumparan , Sabtu (7/7), JK tak menyanggah kedekatannya dengan Anies sebagai sesama pengurus Paramadina dan tetangga di Menteng, Jakarta Pusat. Anies pun selalu meminta wejangan kepadanya.
“Saya selalu bilang, kalau kamu (Anies) berhasil di DKI, maka kamu mudah untuk naik ke yang lebih tinggi lagi,” tutur JK. Baginya, nasib Anies akan lebih pasti di 2024, dengan syarat keberhasilan di DKI Jakarta jadi prioritas.
Menjadi capres merupakan pilihan lain yang sempat menyambangi JK. Tawaran itu datang ketika ia bertemu Susilo Bambang Yudhoyono di Kuningan, Senin malam (25/6).
ADVERTISEMENT
Saat itu SBY menjamu JK yang datang bersama istrinya, ditemani Ani dan si anak emas, Agus Yudhoyono. Selain membicarakan cucu, dikutip dari Majalah Tempo, SBY melempar sinyal akan mendukung JK maju sebagai calon presiden.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, wacana mengusung JK-AHY pun menguat di kalangan Demokrat. Wacana yang kemudian ditolak JK karena menurutnya, “Bagaimana pula saya harus berkampanye untuk melawan Jokowi?”
Padahal pada 2009, ketika SBY maju untuk kali kedua, JK bersama Wiranto berani ikut serta dalam pemilu presiden. Tapi ia harus menelan kekalahan, dan mempersilakan pasangan SBY-Boediono dan Megawati-Prabowo untuk maju ke putaran kedua.
Kuasa dan Kuasa
Tiga pemilu, dua kali menjadi wakil presiden, dan 20 tahun malang melintang di pemerintahan sudah JK nikmati. Berbagai jabatan telah ia genggam, seperti Ketua Dewan Masjid Indonesia, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Ketua Umum Palang Merah Indonesia, hingga Ketua Dewan Pembina Yayasan Paramadina.
ADVERTISEMENT
Jika pun tak menjadi wakil presiden, JK sudah cukup menancapkan pengaruhnya dari timur ke barat, mulai dari urusan bisnis, politik, hingga sosial kemasyarakatan.
Tapi, “Bius kekuasaan itu dahsyat,” ujar salah satu politisi di lingkaran koalisi Jokowi.
------------------------
Simak rangkaian ulasan mendalam Cawapres Pilihan Jokowi di Liputan Khusus kumparan.
Anda juga bisa menilai para tokoh yang layak menjadi capres-cawapres di sini .