Konten Media Partner

Bekas Krueng Aceh yang Menjadi Kuburan Korban Tsunami (4)

9 Desember 2019 17:51 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh di Desa Siron, Kabupaten Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh di Desa Siron, Kabupaten Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
Tanah lapang itu tampak hijau dengan rerumputan. Berbentuk persegi panjang, areal seluas dua hektare tersebut sekilas menyerupai lapangan sepakbola.
ADVERTISEMENT
Pohon-pohon yang rindang tumbuh menjulang di sekelilingnya. Beton setinggi sekitar 30 sentimeter membatasi tanah datar hijau itu dengan jalan kecil berlapis paving block.
Di bawah tanah datar hijau itu dimakamkan secara massal sedikitnya tercatat 46.718 korban tsunami Aceh. Proses penguburan berlangsung selama tiga bulan setelah bencana raya itu melanda Aceh pada Minggu pagi, 26 Desember 2004.
Lantas, bagaimana riwayat tanah tersebut hingga menjadi kuburan massal? Pengubur di makam itu, Muhammad Kasim (68 tahun), mengisahkan kembali jejak sungai Krueng Aceh di sana hingga menjadi pemakaman korban tsunami, kepada acehkini, pada Rabu (4/12).
Kasim menetap di Desa Gani, Ingin Jaya, Aceh Besar. Rumahnya tak begitu jauh dari pemakaman massal yang berada di Desa Siron, Ingin Jaya. Menurut Kasim, di bawah tahun 1980-an, sebagian kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar sering dilanda banjir setiap musim penghujan.
ADVERTISEMENT
Banjir terjadi akibat luapan sungai Krueng Aceh yang berhulu di Pegunungan Ulu Masen, perbatasan Kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Jaya. Krueng Aceh meliuk-liuk sepanjang 145 kilometer hingga berakhir di laut Kota Banda Aceh.
Dua warga saat menziarahi Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh di Siron, Aceh Besar, Jumat (29/11/2019). Foto: Suparta/acehkini
"Dulu asal sudah hujan dan debit air sungai meningkat, rumah-rumah di pesisir Krueng Aceh selalu banjir," kata Kasim.
Seingat Kasim, banjir sering terjadi terutama di titik sungai yang sekarang menjadi pemakaman massal. Hal itu diperparah karena sungai di titik itu terdapat kelokan dari kawasan Lubok. Erosi tebing sungai pun kerap terjadi.
Mengatasi hal tersebut, penghujung tahun 1970-an hingga awal 1980-an, pemerintah menata ulang Krueng Aceh, termasuk menambah kanal banjir. Dampaknya, sejumlah kelokan dari kawasan Lubok diluruskan hingga ke muara Alue Naga, Aceh Besar.
ADVERTISEMENT
Warga nonmuslim berdoa di Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh di Desa Siron, 26 Desember 2011. Foto: Suparta
Akibat proyek penataan itu, sungai yang berkelok di kawasan Siron kemudian ditimbun dengan tanah yang dikeruk dari sungai baru. "Sungai ini ditutup karena sering banjir, dengan dibuat sungai baru yang lebih lurus. Sungai yang ditimbun ini kemudian menjadi tanah milik negara," kata Kasim.
Dua hari setelah tsunami menerjang Aceh, ribuan mayat yang menumpuk di Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Lambaro, dimakamkan di tanah tersebut. Jaraknya sekitar seratus meter. Sekarang bekas Krueng Aceh tersebut menjadi tempat peristirahatan terakhir korban tsunami.
Sekarang pengelolaan Pemakaman Massal Siron berada di bawah Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Dan Kasim menjadi pengurus sekaligus saksi kunci keberadaan makam itu. Ia mempekerjakan sejumlah orang untuk menjaga kebersihan areal makam.
Muhammad Kasim. Foto: Habil Razali/acehkini
Di kompleks itu terdapat sebuah kantor sekretariat dan sebuah musala. Sejumlah rangkang diletakkan di bagian tengah kompleks, sebagai tempat istirahat peziarah. Di sana juga disediakan kitab Yasin. Sejumlah celengan diletakkan di sejumlah sudut kompleks.
ADVERTISEMENT
Saban hari, kompleks tersebut tidak pernah sepi. Berada persis di pinggir jalan perlintasan dari Bandar Udara Sultan Iskandar Muda menuju Kota Banda Aceh, makam itu sering disinggahi wisatawan yang berkunjung ke Aceh. Terutama turis dari Malaysia.
Menjelang peringatan tsunami, keluarga korban tsunami pun satu persatu mengunjungi makam. Puncaknya, peziarah paling ramai pada 26 Desember setiap tahunnya. Doa-doa dan tangis pecah di sana.
Wijasmin Wiseno bersama istri dari Deli Serdang saat menziarahi Kuburan Massal Tsunami di Siron, Jumat (29/11). Foto: Suparta/acehkini
Misalnya, Wijasmin Wiseno. Pria 64 tahun itu datang dari Deli Serdang, Provinsi Sumatra Utara. Saban tahun dia menziarahi pemakaman massal Siron karena meyakini adiknya yang menjadi korban tsunami dimakam di sana.
"Adik saya Kliwon Niarto hilang bersama istrinya, anak, dan kemenakan satu orang. Saya selalu ke sini, karena yakin mereka di sini," kata Wiseno, kepada acehkini, Jumat (29/11).
ADVERTISEMENT
[Tamat]