Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kisah Pengubur Ribuan Mayat Tsunami Aceh (1)
6 Desember 2019 19:01 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
ADVERTISEMENT
Muhammad Kasim hanya seorang warga biasa ketika bencana gempa dan tsunami melanda Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004. Ketika hembalang gelombang menewaskan lebih dari 200 ribu jiwa, pria 68 tahun itu berada di rumahnya di Desa Gani, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Aceh.
ADVERTISEMENT
Rumah Kasim berada jauh dari garis pantai. Kala itu, dia hanya merasakan guncangan gempa yang sangat kuat, namun terhindar dari air laut yang mengamuk setelahnya.
Setelah gempa, Kasim bingung tidak karuan ketika melihat banyak orang terluka dengan bermacam rupa diboyong ke Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Lambaro, Aceh Besar.
Kantor itu tak begitu jauh dari rumahnya. Bagi Kasim, kawasan Lambaro merupakan tempat ia berlalu lalang untuk bertemu sejawatnya di warung kopi. Tapi pagi itu, ia dikejutkan dengan kedatangan ratusan orang yang terluka parah dari Kota Banda Aceh dievakuasi ke PMI Lambaro.
Belakangan, bukan hanya orang terluka, melainkan turut disusul jenazah orang-orang yang menjadi korban tsunami . Hari itu, Kasim menunda rencana ngopi bersama temannya.
ADVERTISEMENT
Meski hari libur, sebagian temannya yang bekerja di Kantor Kecamatan dan PMI, saat itu disibukkan dengan keadaan genting yang tak pernah terbayang sebelumnya. Melihat temannya menolong korban tsunami di PMI Lambaro, Kasim turut membantu.
Dua hari setelah tsunami, pada Selasa, 28 Desember 2004, korban yang meninggal akibat gempa dan tsunami semakin bertambah. Jenazah mulai menumpuk di Kantor PMI Lambaro.
Ditambah banyaknya korban luka yang hilang nyawa. Kondisi saat itu serba darurat. Petugas sempat kebingungan untuk menguburkan ribuan jenazah korban tsunami .
Sekitar seratus meter dari Kantor PMI, di Desa Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, ketika itu terdapat lahan kosong milik negara di bawah Pemerintah Aceh Besar. Tanah itu kemudian disepakati menjadi lokasi pemakaman ribuan korban tsunami .
ADVERTISEMENT
Ketika lokasi sudah tersedia, ada satu kendala dalam proses penguburan, yaitu petugas yang mengubur. Saat itu, Camat Ingin Jaya dan pekerja di Kantor PMI Lambaro, meminta tolong kepada Muhammad Kasim yang juga teman ngopi. Kasim tak menolak. Ia menerima tawaran itu. Penggalian kubur dimulai Selasa itu juga dengan menggunakan dua alat berat jenis backhoe.
"Ketika itu saya bukan relawan, tapi tersentuh hati untuk membantu," Kasim mengisahkan kepada acehkini, saat ditemui di Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh di Desa Siron, Kabupaten Aceh Besar, Rabu (4/12).
Penggalian liang pertama, dilakukan pada sebuah titik yang jika dilihat sekarang berada persis di bagian tengah areal makam seluas dua hektare itu. Lubang digali sedalam tujuh meter dengan lebar yang sama. Kedalaman liang kubur saat itu bukan diukur dengan meteran, melainkan warna tanah yang agak kehitaman berlumpur menjadi batas.
Menurut Kasim, jika ujung pengeruk backhoe sudah bertemu tanah agak kehitaman, maka setelahnya pasti bertemu dengan mata air. Demi menghindari semburan mata air di dalam liang, maka Kasim memerintahkan operator alat berat untuk menyetop pengerukan lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Setelah satu liang itu telah digali, yang pertama dikubur adalah sekitar seribu mayat yang telah menumpuk selama dua hari di Kantor PMI Lambaro. Mayat-mayat itu dibalut plastik kantong jenazah, lalu diangkut menggunakan sejumlah mobil dam truk.
Setiba di samping liang lahat, mobil dam truk mengangkat tinggi-tinggi bagian belakangnya. Jenazah-jenazah itu lalu ditumpahkan ke kuburan. Jangan bayangkan penguburan itu dilakukan seperti pemakaman mayat pada umumnya. Penguburan dalam suasana darurat itu dilakukan tanpa prosesi doa-doa, dan yang lain semacamnya.
Lubang itu terus ditimbun dengan mayat hingga tersisa kedalaman sekitar satu meter. Lalu, alat berat kembali bekerja menimbun sisanya dengan tanah. Satu lubang itu terisi ribuan mayat. Paling sedikit seribu orang. Setelah satu lubang berhasil ditimbun, baru giliran alat berat menggali lubang yang lain di sampingnya.
ADVERTISEMENT
"Lubang digali tidak berbarengan. Melainkan ketika satu lubang sudah penuh, baru digali yang lain," kata Kasim.
Tugas Kasim saat itu persis mengurus semua penguburan di makam itu. Ia yang menentukan di titik mana lubang penggalian selanjutnya. Menurut dia, kala itu tidak ada orang lain yang mau bertugas seperti itu. "Bukan tidak mau, tapi saat itu tidak ada orang yang tega melihat manusia dikuburkan seperti itu," ujar Kasim.
Lantas, mengapa Kasim berani saat itu? "Saya bukan berani, tapi ketika itu hati nurani saya seperti sudah ditutup sama Allah, jadi ketika mengubur ribuan jenazah, saya merasa biasa saja. Rasa sayang itu tidak ada lagi," tuturnya.
Dalam sehari, Kasim mengubur sekitar 1000 hingga 3000 mayat korban tsunami . Ia bertugas dari pagi hingga malam hari. Proses itu dilakoninya selama tiga bulan. Hingga kuburan massal korban tsunami Aceh di Siron, itu menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi sedikitnya 46.718 korban yang tercatat.
ADVERTISEMENT
Kini, setelah 15 tahun tsunami , Kasim menjadi pengelola pemakaman massal itu. Lantas, bagaimana kisah selama tiga bulan mengubur jenazah korban tsunami? Adakah Kasim mengalami kejadian mistis selama proses penguburan?
[bersambung]