Konten Media Partner

Kisah Kasim, Lebaran Idul Adha Bersama Mayat Korban Tsunami Aceh (2)

7 Desember 2019 16:20 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Muhammad Kasim saat ditemui acehkini di Kuburan Massal Tsunami Aceh di Siron, Aceh Besar, pada Rabu (4/12). Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Muhammad Kasim saat ditemui acehkini di Kuburan Massal Tsunami Aceh di Siron, Aceh Besar, pada Rabu (4/12). Foto: Habil Razali/acehkini
Setelah bencana gempa dan tsunami melanda Aceh, hari-hari Muhammad Kasim hingga tiga bulan ke depan sepenuhnya dihabiskan di antara ribuan mayat. Pria 68 tahun itu berangkat sejak pagi, lalu pulang pada tengah malam ke rumah. Sekitar seratus hari sejak peristiwa tsunami, Kasim menjadi penghantar korban tsunami ke tempat peristirahatan terakhir: liang kubur.
ADVERTISEMENT
Kasim menetap di Desa Gani, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Aceh. Rumahnya tak begitu jauh dengan lokasi pemakaman massal korban tsunami Aceh di Desa Siron, Ingin Jaya. Kelak, di pemakaman massal itu dikuburkan sedikitnya 46.718 korban yang tercatat.
Proses penguburan korban gempa dan tsunami mulai dilakukan sejak dua hari setelah peristiwa tsunami. Kasim persisnya bertugas menjadi pengurus semua hal di lokasi penguburan di Siron. Ia dibantu dua orang operator alat berat jenis backhoe, pengeruk liang kubur.
Selama tiga bulan itu, Kasim menguburkan sekitar 1000 hingga 3000 mayat korban tsunami per hari. Ia bertugas dari pagi hingga malam hari. Prosesi penguburan dilakukan secara darurat. Tidak ada perlakuan sakral di sana.
ADVERTISEMENT
Mayat-mayat diangkut dengan mobil dam truk, lalu ditumpahkan ke liang kubur dengan kedalaman tujuh meter dan lebar yang sama. Satu liang bisa berisi ratusan kantong mayat. Mayat ditimbun hingga kedalaman liang tersisa satu meter. Di atasnya lalu baru ditimbun dengan tanah.
Namun, proses itu tak mudah seperti terdengar. Menurut penuturan Kasim, hujan deras yang mengguyur pada penghujung Desember 2004 hingga awal 2005 kala itu sempat menghambat proses penguburan. Mayat yang telah ditimbun ke liang malah bercampur dengan air hujan yang menggenang.
Warga membaca Surat Yasin di Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh di Desa Siron, Aceh Besar, 26 Desember 2011. Foto: Suparta
"Saat kami timbun liang dengan tanah, mayat yang mengambang di genangan air di liang kubur malah turut keluar mengikuti air yang mengalir ke luar, seperti air tumpah dari gelas," kisah Kasim kepada acehkini, ditemui di Kuburan Massal Siron, Rabu (4/12).
ADVERTISEMENT
Dengan kejadian itu, Kasim sempat dibuat bingung. Ketika itu sama sekali tak memungkinkan untuk menunggu hujan reda atau air genangan mengering, sementara mayat lain terus berdatangan untuk dikuburkan. Kasim memutar otak mengatasi hal itu.
Di tengah situasi darurat dan kalang kabut itu, Kasim punya ide untuk melapisi mayat dengan beragam macam dedaunan sebelum ditimbun dengan tanah. Sehingga, meski di dalam genangan air, mayat tak mengapung karena tertahan dedaunan.
"Mayat sempat keluar karena kuburan ada air. Lalu ada ide untuk melapisi mayat dengan dedaunan, agar tidak keluar dari lubang," tutur Kasim.
Selama bertugas menguburkan korban tsunami, Kasim tak punya jadwal tetap pulang ke rumah. Paling cepat ia kembali sekitar pukul 21.00 malam.
ADVERTISEMENT
Warga nonmuslim berdoa di Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh di Desa Siron, 26 Desember 2010. Foto: Suparta
Tetapi, tentunya Kasim juga pernah kembali pukul 03.00 dinihari. Kepulangan Kasim ditentukan kedatangan mobil dam truk pembawa mayat yang terakhir setiap harinya.
Misalnya saat dam truk yang membawa mayat mengalami bocor ban, maka Kasim terpaksa harus menunggu sampai mobil itu tiba di kuburan.
"Enggak mungkin ditunda sampai besok penguburan mayat di mobil itu, karena akan menumpuk mayat. Jadi saat kami pulang, mayat yang dibawa ke sini sudah dikuburkan semua," ujarnya.
Soal tidak boleh menunda penguburan mayat yang telah diangkut dengan dam truk, memang tetap harus dipatuhi oleh Kasim meski pada momen hari besar. Dalam bulan pertama penguburan, misalnya, lebaran haji Idul Adha dirayakan pada Jumat, 21 Januari 2005. Saat momen hari besar umat Islam itu, tragedi tsunami baru saja berlalu dalam angka empat pekan.
Muhammad Kasim di Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh di Desa Siron, Aceh Besar, pada Rabu 4 Desember 2019. Foto: Habil Razali/acehkini
Sementara mayat masih di mana-mana. Di tempat pemakaman, Kasim dan dua operator alat berat tak berhenti bekerja. Jumat pagi itu, ketika takbir hari raya berkumandang dari masjid di seberang jalan lokasi pemakaman massal, Kasim masih sibuk menghantarkan korban tsunami menuju tempat peristirahatan terakhir.
ADVERTISEMENT
Lebaran yang seharusnya bersuka cita, ketika itu malah menjadi hari berkabung. "Orang lain tengah salat Hari Raya Idul Adha, kami di sini terus menimbun mayat. Pekerjaan ini tak bisa berhenti, karena mayat terus berdatangan," kata Kasim.
Hari-hari selama proses penguburan mayat dilalui Kasim dengan suasana getir. Rasa itu berlangsung selama tiga bulan. Sekitar medio Maret 2005, penguburan di Kuburan Massal Siron disetop karena areal dua hektare lahan di sana telah digali seluruhnya.
Penyetopan penguburan itu bukan berarti mayat korban tsunami telah semuanya dimakamkan. Menurut Kasim, mayat yang masih terus diangkut relawan dibawa ke pemakaman massal lainnya, seperti di Lampeuneuruet dan Ulee Lheue.
Setelah selesai penguburan di pemakaman massal Siron, Kasim beberapa bulan tak mengunjungi lokasi makam itu hingga kemudian tanah lapang di sana ditumbuhi semak belukar. Tetapi, ada satu kejadian yang membuat ia kembali ke sana untuk membersihkan semak belukar dan bertahan menjadi pengelola makam itu hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa yang membuat Kasim kembali lagi setelah berselang bulan tak ke sana? Kejadian apa yang membuatnya merasa terpanggil merawat "rumah" korban tsunami itu?
[bersambung]