Konten Media Partner

Mengenal Enam Pahlawan Perempuan Asal Aceh

10 November 2022 14:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cut Nyak Dhien dalam bingkai foto di rumahnya. Foto: Adi Warsidi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Cut Nyak Dhien dalam bingkai foto di rumahnya. Foto: Adi Warsidi/acehkini
ADVERTISEMENT
Aceh menjadi daerah yang sangat agresif melawan penjajahan Belanda hingga Jepang. Sejumlah pahlawan dari Tanah Rencong terus dikenang sampai sekarang. Semangat mereka menjaga tanah lahirnya patut dicontoh.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia saban 10 November mengenang para pahlawan yang telah berjuang dan berjasa bagi negara ini. Meskipun berperang dan memimpin pasukan, tidak semua pahlawan adalah laki-laki. Di Aceh misalnya, ada Cut Nyak Dhien hingga Cut Nyak Meutia yang menempuh jalan pedang: perang melawan penjajah Belanda.
Momentum Hari Pahlawan Nasional ini, acehkini memperkenalkan enam pahlawan perempuan dari Aceh.

1. Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Aceh Besar, pada tahun 1848. Ia adalah istri dari Teuku Umar yang juga seorang Pahlawan Nasional dari Aceh. Mereka dikenal sebagai suami istri yang tangguh melawan penjajah Belanda, terlibat dalam banyak peperangan.
Setelah Teuku Umar wafat pada 11 Februari 1899 di Meulaboh, Aceh Barat, Cut Nyak Dhien terus memimpin pasukan gerilya Aceh dari hutan ke hutan.
ADVERTISEMENT
Setelah bertahun-tahun memimpin perang, kesehatannya menurun dan penglihatannya mulai kabur. Salah satu panglima, Pang Laot Ali merasa kasihan dengan kondisinya, lalu membuat perjanjian dengan Belanda. Syaratnya, Belanda harus merawat Cut Nyak Dien.
Belanda setuju, kemudian Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di bawah pengawasan Belanda, Cut Nyak Dhien tetap berkomunikasi dengan para pejuang. Hal ini diketahui oleh penjajah, kemudian diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat pada tahun 1906.
Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 di pengasingan pada usia 60 tahun, makamnya terpelihara dengan baik di Sumedang sampai sekarang. Sebagai penghargaan atas perjuangan Cut Nyak Dhien, pemerintah mengangkat Cut Nyak Dhien sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106/TK/1964 tanggal 2 Mei 1964.
ADVERTISEMENT

2. Cut Nyak Meutia

Cut Meutia. Dok. wikipedia
Cut Nyak Meutia adalah seorang pejuang wanita pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Ia lahir di Keureuto, Aceh Utara, pada 15 Februari 1870. Semasa hidupnya, Cut Meutia berperang bersama pasukan Inong Balee melawan penjajah Belanda.
Ia gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Alue Kurieng, Aceh Utara, pada 24 Oktober 1910. Makam Cut Meutia berada di kawasan hutan lindung Gunung Lipeh, Ujong Krueng Keureutoe, Pirak Timu, Aceh Utara.
Ia menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 1964 tahun 1964. Pada Desember 2016, Pemerintah Republik Indonesia mengabadikannya dalam uang rupiah baru nominal Rp1.000.

3. Laksamana Malahayati

Laksamana Malahayati. Foto: Wikipedia
Laksamana Malahayati adalah pejuang perempuan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Nama aslinya Keumala Hayati. Pada tahun 1585–1604, ia menjabat sebagai Kepala Pengawal Istana, Panglima Rahasia, dan Panglima Protokol Pemerintahan dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Malahayati memimpin 2.000 pasukan Inong Balee (tentara perempuan Aceh) untuk berperang. Pada 11 September 1599, Malahayati membunuh pemimpin pasukan perang Belanda, Cornelis de Houtman dalam pertempuran di atas kapal di perairan laut Aceh.
Makam Laksamana Malahayati terletak di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2017 tanggal 6 November 2017.

4. Pocut Meurah Intan

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berkunjung ke makam Pocut Meurah Intan di Blora, November 2021. Foto: Humas Pemprov Jawa Tengah
Pocut Meurah Intan atau dengan nama lain Pocut di Biheue adalah perempuan pejuang Aceh. Pocut menunjukkan bahwa dia keturunan bangsawan. Sedangkan Biheue nama daerah tempat tinggalnya yang kini terletak di Padang Tiji, Kabupaten Pidie.
Suatu hari tahun 1900, Pocut tepergok sendirian oleh 18 pasukan marsose di jalanan kawasan Padang Tiji. Namun, Pocut tidak lari. Dengan pedang dan rencongnya, dia bahkan berani menyerang anggota patroli yang dipimpin Letnan TJ Veltman.
ADVERTISEMENT
Pocut mengayunkan pedang hingga mengenai beberapa marsose. Dia sendiri terkena pedang di punggung dan bahu. Tubuhnya berlumuran darah. Pocut di Biheue sedang sekarat.
Ia ditinggal Belanda. Namun, beberapa hari kemudian penjajah mendengar Pocut hendak menyerang mereka. Lalu dikirimlah utusan menemui Pocut yang masih terluka itu. Belanda mengobati pejuang rakyat Aceh tersebut.
Ia terus dipantau Belanda untuk mencegahnya kembali menggerakkan perlawanan. Setelah sembuh, ia dipenjara di Kutaraja (Banda Aceh) bersama putranya, Tuwanku Budiman. Sementara itu, putranya yang lain, Tuwanku Nurdin, terus mengobarkan perang gerilya.
Untuk menumpas perlawanan rakyat sekaligus pengaruhnya, Belanda mengasingkan Pocut ke Blora melalui Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor 24 tanggal 6 Mei 1905.
Pahlawan Aceh itu meninggal pada 19 September 1937 dan dimakamkan di Desa Tegal Sari, Blora, Jawa Tengah. Belanda menyebut Pocut sebagai heldhaftig atau perempuan berani. Pemkab Blora hingga Pemerintah Aceh telah mengusulkan Pocut Meurah Intan ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
ADVERTISEMENT

5. Pocut Baren

Makam Pocut Baren di Sungai Mas, Aceh Barat. Foto: Habil Razali
Pocut Baren lahir pada tahun 1880 dari seorang ayah bernama Cut Anmat Tungkop di Gampong Tungkop, Sungai Mas, Aceh Barat. Setelah dewasa, ia menikah dengan seorang Uleebalang. Kemudian suaminya meninggal dalam pertempuran melawan Belanda.
Namun Pocut Baren gigih melanjutkan perjuangan suaminya. Ia bergabung dengan pasukan gerilya Cut Nyak Dien. Menurut sejarah, bersama Pocut Baren selalu ada 30 penjaga laki-laki. Ia juga selalu membawa pedang.
Ketika Cut Nyak Dhien ditangkap, Pocut Baren memimpin perlawanan pasukan Inong Balee melawan Belanda. Saat terdesak, pasukan Pocut Baren memutuskan untuk menempatkan diri di sebuah gua di Gunung Mancang yang sulit dideteksi Belanda.
Pada akhirnya, Belanda mengetahui keberadaan gua itu. Tapi saat menuju ke sana, banyak penjajah Belanda tewas diserang pasukan Pocut Baren.
ADVERTISEMENT
Belanda lalu menuangkan 1.200 kaleng minyak tanah ke dalam gua, lalu membakarnya. Akibatnya, banyak pasukan Pocut Baren syahid. Pocut Baren tertembak di kaki, kemudian ditangkap dan dibawa ke Kutaraja.
Orang-orang dengan senjata di Aceh. Foto: Dok. KITLV
Selama dirawat oleh Belanda, kakinya terus membusuk sehingga diamputasi. Belanda meyakini bahwa Pocut Baren tidak bisa lagi melawan sehingga ia dipulangkan ke Tungkop, Sungai Mas. Namun semangatnya belum padam, ia berjuang dengan melafalkan pantun dan syair sebagai penyemangat.
Ia wafat di tanah kelahirannya dan dimakamkan di Tungkop, Sungai Mas, Aceh Barat.

6. Pocut Mirah Gambang di Tiro

Pocut Mirah Gambang adalah pejuang perempuan Aceh. Ia anak kandung Cut Nyak Dhien. Pocut Mirah Gambang menikah dengan pemimpin perang Teungku Chik Mahyeddin di Tiro. Suami istri ini berjuang melawan Belanda di pegunungan Pidie.
ADVERTISEMENT
Pocut Mirah Gambang gugur dalam perang di Gunong Halimon, 21 Mei 1910. Sementara suaminya Teungku Chik Mahyeddin wafat di Pucok Alue Seumi, 5 September 1910.
Selain Pocut Mirah Gambang anak dari seorang pejuang, suaminya Teungku Chik Mahyeddin di Tiro juga keturunan pemberani yang menolak takluk atas penjajah Belanda. Mahyeddin adalah anak Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, pejuang Aceh yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional dari Aceh.
Teungku Chik Mahyeddin di Tiro juga kakek dari deklarator Gerakan Aceh Merdeka, Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang menuntut kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Dalam diari selama gerilya, Hasan Tiro menulis bagaimana pertempuran kakek dan neneknya tersebut saat melawan Belanda.[]