Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Masa kuliah Arie Sudjito pada 1990-an awal atau dalam kurun waktu Orde Baru berkuasa, dilalui dengan penuh tekanan. Mendapat kesempatan berkuliah di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Djito tak mendapat apa yang ia inginkan sebagai mahasiswa.
ADVERTISEMENT
“Kuliah di masa itu jarang menemui perdebatan kritis. Mulai dosen hingga kurikulum jarang ada yang memberi ruang,” kenang Djito ketika berbincang dengan kumparan (kumparan.com), Minggu (21/5).
Mahasiswa generasi Djito umumnya memiliki kisah serupa: nalar kritis tak terwadahi, energi dan kreativitas tersia-siakan.
Jangankan ruang untuk mengekspresikan kejengahan terhadap penguasa, menjadi mahasiswa biasa dengan kemurnian intelektual pun hampir mustahil saat itu.
Kampus dikekang kebijakan Orde Baru yang melarang segala macam aktivitas mahasiswa. Kembalinya organisasi kampus tidak menolong hasrat mahasiswa kala itu.
“Ada aturan pelarangan organisasi politik kampus. Meski pemerintah kembali memperbolehkan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), tetap saja itu dianggap penggembosan,” kata Djito.
Pada 1989, setelah lama tidak memiliki organisasi kampus, mahasiswa akhirnya diizinkan untuk kembali berorganisasi. Namun, struktur kelembagaan tetap berada di bawah rektorat.
ADVERTISEMENT
Beberapa kampus menolak kehadiran SMPT dan mendirikan Dewan Mahasiswa yang lebih otonom. Djito termasuk salah satu penggerak di UGM kala itu.
Ambisi Djito mandek oleh tekanan penguasa. Setiap upaya kritis yang dilakukan dia dan rekan-rekan sejawatnya selalu terbentur oleh peraturan kampus.
“Waktu 1990-an awal, negara masih represif. Demonstrasi dan ruang-ruang kampus itu nggak ada. Kami nyusun buku dan seminar ya pasti dihajar sama Orde Baru,” kata Djito.
Djito tak berlebihan dengan ceritanya. Jelas terlihat betapa proses penggulingan Soeharto didahului oleh rentetan pengorbanan mahasiswa. Belum lagi proses pendisiplinan terhadap perguruan tinggi guna menghindarkan mahasiswa dari aktivitas yang mengancam.
Laporan Human Rights Watch berjudul Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto Barrier menyebutkan bahwa pengekangan dunia akademik adalah warisan paling kronik dari Orde Baru. Pengekangan itu dilakukan dalam berbagai rupa.
ADVERTISEMENT
Dengan Soeharto sebagai presiden, setiap mahasiswa sejak mengisi formulir pendaftaran kuliah, lalu saat memilih bacaan kuliah, sampai melakukan kegiatan ekstrakurikuler, semua diatur seksama.
Orde Baru memang paranoid terhadap mahasiswa. Gara-garanya, ketika belum 10 tahun Soeharto berkuasa, ia harus dibuat pusing oleh segerombolan mahasiswa lewat aksi massa mereka. Dimulai dari kampanye golongan putih pada Pemilu 1971. Lalu yang paling terkenal adalah aksi Malapetaka 15 Januari atau biasa disebut Malari pada 1974 --demonstrasi mahasiswa menolak modal asing saat PM Jepang berkunjung yang berujung kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta.
Malari membuat mahasiswa seketika menjadi aktor garang di mata pemerintah. Ketakutan terhadap mahasiswa direspons dengan aturan Normalisasi Kehidupan Kampus Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK BKK) yang dikeluarkan Kemendikbud era Daoed Jusuf.
ADVERTISEMENT
Mulailah kampus digempur oleh budaya Orba. Yang paling kentara adalah buku. Tak kurang dari 2.000 judul buku yang dilarang oleh pemerintahan Soeharto. Buku diperlakukan seperti obat-obatan --disadur sedemikan rupa, dan yang berbahaya akan dibuang jauh-jauh.
Ada jalur birokrasi bagi akademisi yang hendak mengajukan judul buku yang ingin dibaca. Setidaknya izin harus dipenuhi dari berbagai lembaga, mulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Koordinasi Intelijen Negara (kini BIN), Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, sampai Kejaksaan.
Kenapa seketat itu? Bagi Orde Baru, ideologi negara yang tak terbantahkan dijadikan dalih. Gagasan seperti Marxisme-Leninisme, kritik terhadap agama, menyerang tokoh negara, dilarang sama sekali dicetak di atas buku.
Pemerintah kala itu tak segan mendisiplinkan siapapun yang melanggar. Salah satu catatan HRW terkait buku yaitu peristiwa tahun 1989 di mana tiga mahasiswa dipenjara karena menyebarkan novel Pramoedya Ananta Toer yang waktu itu dilarang. Atas “kenakalan” tersebut, mereka dihukum 8-9 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Karena pengekangan terlampau ketat, mahasiswa harus melalui jalur bawah tanah untuk mendapat asupan gagasan seperti yang mereka harapkan. Meski letupan keberanian muncul, para mahasiswa harus lebih dulu berhadapan dengan buasnya aparat.
Djito ingat betul betapa terbelenggunya mahasiswa saat itu, baik di luar dan di dalam. “Saya ingat ketika membuat tulisan di pers mahasiswa, lalu diberedel oleh Kejaksaan.”
Harapan untuk menghapus mendung di kampus sempat bersinar kala Soeharto resmi turun 21 Mei 1998. Bagi gerakan perlawanan saat itu, membebaskan rakyat dari belenggu otoritarianisme termasuk dalam agenda reformasi. Kebebasan akademik yang mengagungkan ilmu pengetahuan jadi cita-cita bersama.
“Jadi hari ini, kalau kita memperjuangkan kebebasan akademik, itu ya salah satu visi Reformasi,” beber Djito.
ADVERTISEMENT
Sudah 19 tahun Orde Baru runtuh, namun kondisi kampus masih jauh dari angan-angan Reformasi. Meski telah berhasil menggulingkan otoritarianisme dan mengusung demokrasi, kampus lebih jadi tempat para ilmuwan duduk nyaman di menara gading.
Djito yang saat ini telah menjadi staf pengajar di almamaternya menyayangkan bagaimana perguruan tinggi justru masih jadi alat kepentingan lain.
“Jika dahulu semua kampus harus menurut pada negara dan penguasa, saat ini pasar.”
Di era keterbukaan dan kebebasan berekspresi menjadi gaung yang terus disuarakan, tekanan tak menghilang. Djito melihat kampus sering diteror oleh pihak lain.
“Tapi memang otorotitarianisme masih tersisa sampai sekarang, bentuknya konservatisme. Represi yang dilakukan oleh extra-state (nonnegara). Contohnya milisi-milisi sipil yang mewarisi watak Orde Baru, dan itu masih tersisa. Mereka mengganggu diskusi dan merepresi kegiatan aksi. Itu sebenarnya metamorfosis ideologi lama Orde Baru,” kata Djito.
ADVERTISEMENT
Hal senada diungkapkan Rizky Alif Alvian, Pimpinan Dewan Mahasiswa Fisipol UGM. Ia melihat kampus makin jauh dari realita masyarakat. Perkuliahan dijalankan lebih untuk kepentingan industri.
“Kampus justru semakin mengikuti agenda riset pasar dan negara. Jika kebebasan akademik ditujukan untuk menciptakan iklim akademik yang memungkinkannya untuk mengembangkan agenda pengetahuan, kampus nampaknya belum bisa melakukan itu,” ujar Alif.
Alif sebagai mahasiswa yang aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan, selain harus berhadapan dengan gaya kampus yang pragmatis, juga berhadapan dengan tekanan dari luar.
Di kampus memang ada kebebasan setelah Reformasi. Namun hambatan yang paling utama adalah pendangkalan. Visi perguruan tinggi, kritik Alif, mestinya tak hanya fokus pada industri pengetahuan dan pendidikan lalu lupa sebagai produsen gagasan.
Fisipol UGM pernah beberapa kali mengalami tekanan organisasi massa karena konten diskusi yang disebut sensitif. Pada 18 Desember 2014, pemutaran film Senyap (Look of Silence) karya Joshua Oppenheimer yang menceritakan tentang pembantaian massal 1965, terusik oleh puluhan anggota ormas yang khawatir dengan kebangkitan komunis.
ADVERTISEMENT
Pembubaran semacam itu, kata Alif, tak hanya bentuk communist-phobia, tapi juga ketakutan terhadap aktivitas mahasiswa yang sering menggoyang kepentingan modal.
“Pemberangusan sering kali terjadi. Paling banyak terhadap diskusi seputar marxisme. Tapi isu HAM dan reforma agraria juga dapat tekanan.”
Permasalahan serupa tak hanya terjadi di UGM. Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menunjukkan, insiden ormas masuk kampus telah jamak terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2014 hingga 2016.
Komunis terus menjadi isu hangat. Saat film Senyap sedang diputar dan didiskusikan, ormas yang merasa terusik ramai-ramai mencoba membubarkan. Pun film Samin vs Semen yang menceritakan tentang konflik agraria, diintimidasi ketika diputar di Universitas Brawijaya pada 5 Januari 2015.
ADVERTISEMENT
Kembali ke laporan HRW, fakta mengenai pemberedelan dan teror di kampus yang merupakan watak Orde Baru, masih terwarisi hingga sekarang.
Reformasi 1998 agaknya tak sepenuhnya melenyapkan Orde Baru. Hantunya masih tinggal bergentayangan.
Seperti kata sejumlah orang, “Gerakan 1998 berhasil menumbangkan Soeharto, namun tidak menuntaskan Orde Baru.”
Simak pula: