Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Merawat Naskah Kuno, Menghargai Sejarah Bangsa
17 Mei 2017 12:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Sejarah Nusantara tak sesempit buku pelajaran. Di masa lalu, gugusan kepulauan di khatulistiwa ini tak hanya diisi oleh cerita-cerita perlawanan terhadap penjajahan. Banyak kisah-kisah yang menunjukkan peradaban nenek moyang nan adiluhung.
ADVERTISEMENT
Peradaban luhur nusantara banyak terekam pada naskah-naskah kuno. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendefinisikan tulisan sebagai salah satu bentuk peninggalan sejarah bangsa. Sebut saja Prasasti Telaga Batu di Palembang, Prasasti Ciareuteun di Jawa Barat, dan Prasasti Sriwijaya di Sumatera.
Onggokan batu-batu itu bukan sekadar batu, tapi berisi pahatan huruf demi huruf yang menyiratkan pesan yang merekam kearifan masa lampau.
Selain prasasti, tulisan dari masa yang lalu banyak ditemui lewat naskah. Naskah kuno dapat berupa karya sastra seperti syair, hikayat, legenda, dan kitab-kitab. Contoh naskah kuno adalah Kitab Sutasoma dan Negarakertagama dari Kerajaan Majapahit, dan Kitab Tajussalatina dari Kerajaan Melayu.
Ketika kita “menghamba” filsafat Yunani dan segala keilmuan euro-sentris, banyak karya yang lahir di tanah Nusantara dan memiliki sumbangsih penting hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Kita mengenal Babad Tanah Jawi, buku yang lahir tahun 1700-an. Buku kuno ini menceritakan betapa subur makmur kepulauan yang saat ini menjadi negeri yang kita tempati.
Kita cukup beruntung karena Babad Tanah Jawi yang sempat dibawa ke luar negeri, telah diedarkan di Indonesia sejak era Presiden Sukarno. Buku ini juga dicetak ulang dan diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.
Kekayaan literasi Nusantara tak terbatas di Babad Tanah Jawi. Kenyataan memang bercerita sebaliknya, ketika banyak kebanggaan sirna karena falsafah agung yang tidak terbaca.
Sebagian besar naskah kuno Nusantara justru berada di luar negeri. Mereka berpindah kepemilikan akibat diambil pada masa penjajahan Inggris dan Belanda.
Data dari perpustakaan Leiden University menyebutkan bahwa ada 26 ribu naskah kuno yang tersimpan di Negeri Kincir Angin. Belum lagi naskah-naskah yang tersimpan di British Library, London University, dan Oxford University di Inggris.
ADVERTISEMENT
Sebut saja Bujangga Manik dari tanah Sunda. Goresan tinta di atas 25 helai daun sawit ini mengisahkan sebuah cerita tentang pemaknaan hidup pengembara bernama Prabu Jaya Pakuan yang berkeliling Pulau Jawa. Lontar ini menceritakan falsafah hidup Jawa sebelum masuknya Islam.
Naskah lain yang paling terkenal adalah La Galigo yang berasal dari Bugis. Karya sastra kuno yang ditulis abad ke-13 ini merupakan epos terpanjang di dunia. Naskah ini ditulis dengan huruf Lontara dengan bahasa Bugis. Dengan membaca naskah ini, kita benar-benar bisa membayangkan kehidupan para petualang Bugis yang menggenggam tradisi luhur.
Namun narasi ini mentok di sudut-sudut perpustakaan tanpa dihayati oleh para cucu sang penulisnya. Baik Bujangga Manik dan La Galigo mulanya tak disimpan di Indonesia. Bujangga Manik disimpan di Perpustakaan Bodleian di Oxford, Inggris.
Perlu upaya kurasi untuk memastikan naskah tetap terjaga dan bisa diakses oleh rakyat Indonesia sebagai pewaris naskah.
ADVERTISEMENT
Upaya perawatan naskah Nusantara sebenarnya diamanatkan ke Perpustakaan Nasional. Amanat ini tertuang di Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007. Di dalamnya, ada 7 pesan yang ditujukan kepada Perpusnas. Salah satunya terkait naskah kuno.
Anggaran Perpustakaan Nasional tahun ini mencapai Rp 540 miliar untuk menjalankan segala operasional. Anggaran itu termasuk kegiatan penaskahan.
Kepala Perpustakaan Nasional, Syarif Bando, berujar bahwa lembaganya tengah menjalankan agenda penaskahan lebih gencar lagi. “Yang pasti kami sekarang sudah mulai membenahi naskah-naskah kita yang ada di luar negeri, terutama kebanyakan di Belanda dan Inggris,” ujar Bando ketika ditemui di kantornya oleh kumparan, Jumat (12/5).
ADVERTISEMENT
Bando mengklaim, saat ini jumlah naskah yang dikelola Perpusnas dengan naskah yang masih tersimpan di luar negeri, sudah lebih banyak di dalam negeri.
Data tahun 2010 menunjukkan, Perpusnas baru memiliki 10.600 naskah kuno. Meski kini mengklaim menyimpan lebih banyak, Perpusnas masih menghitung jumlah pastinya.
“Sekaligus memastikan untuk menghitung masih berapa banyak koleksi kita yang ada di luar negeri, dan berapa yang ada di kita.”
Kepala Perpusnas yang dilantik Juni 2016 ini mengungkapkan bahwa langkah-langkah yang ditempuh untuk pengembalian naskah melalui skema government to government harus melalui jalur panjang diplomasi.
“Usaha itu akan terus kami upayakan untuk sempurna. Kami kerja sama dengan negara-negara di Asia Tenggara maupun Belanda dan Inggris,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Bando bercerita, Perpusnas belum lama ini misalnya menerima sebagian naskah dari Prancis. Pengiriman naskah dilakukan dengan cara pengiriman langsung melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris.
Tugas Perpusnas dalam pernaskahan tidak berhenti di pengarsipan. Perpusnas wajib melakukan perawatan dan diseminasi (menyebarluaskan) informasi. Salah satu langkah yang ditempuh adalah berupaya memperoleh pengakuan internasional.
Beberapa naskah yang menyumbang peradaban dapat diajukan menjadi Memory of The World yang dinaungi oleh lembaga kebudayaan PBB, UNESCO.
La Galigo menjadi salah satu naskah kuno asli Nusantara yang terdaftar di Memory of The World. Pengakuan internasional ini membuat naskah La Galigo menjadi sejajar dengan kitab Mahabarata dari India dan Homerus dari Yunani.
Perpusnas ingin lebih banyak lagi naskah yang terdaftar di UNESCO. Perpusnas juga sedang mempersiapkan ruangan sendiri untuk mempertontonkan arsip dan naskah kuno. Ruangan itu akan dibangun di lantai 4 gedung Perpustakaan Nasional.
ADVERTISEMENT
Merawat naskah kuno sama juga dengan merawat sejarah bangsa. Ini bukan perkara sepele.
Simak pula