Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Perpustakaan Jalanan: Mendobrak Gaya Baca Konservatif
17 Mei 2017 9:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Tiap hari Minggu, Thobi Yeverson telah menjadi penghuni tetap Taman Suropati selama setahun terakhir. Di pusat rekreasi yang berada di Menteng, Jakarta Pusat, ia dan teman-temannya menekuni tamasya yang tak biasa.
ADVERTISEMENT
Rekreasinya ke Taman Suropati tidak berbekal makanan-minuman untuk piknik, namun dengan membawa berkardus-kardus buku.
Setibanya di lokasi, mahasiswa 22 tahun bersama belasan temannya itu langsung menempati area tengah taman. Buku-buku yang ia bawa kemudian dijejerkan di atas kain.
Di tiang-tiang lampu taman, dibentangkan spanduk yang menandakan tujuan Thobi berkeringat bersusah payah itu: Perpustakaan Jalanan.
Sebagai penggila buku, Thobi prihatin terhadap masyarakat yang masih memiliki minat baca minus. Buku seolah menjadi ornamen suci yang dikultus tanpa punya kesempatan untuk dirayakan dengan riang gembira.
Maka bersama kawan-kawan komunitas Pecandu Buku (PB), Thobi berusaha mendobrak.
“Ada orang minat bacanya tinggi, tapi kurang bisa menjangkau buku. Kami di sini menghadirkan buku-buku filsafat, puisi, teenlit pop, sampai buku anak-anak,” ujar Thobi ketika ditemui kumparan (kumparan.com), Minggu (14/5).
ADVERTISEMENT
Indonesia memang mengidap penyakit literasi rendah. Hasil studi World’s Most Literate Nations yang diterbitkan Central Connecticut State University menunjukkan Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara --kedua dari peringkat terbawah setelah Bostwana.
Menyedihkan, jika itu benar. Sementara para pendiri bangsa Indonesia ialah para penggila buku yang melahap berbagai jenis buku.
Thobi mengajak masyarakat untuk membaca buku bersama. “Kenapa nggak nularin virus membaca ke orang lain,” ujarnya.
Di Perpustakaan yang dikelola Thobi dan rekan-rekannya, terhampar 100-an buku dari bermacam genre. Banyaknya pilihan membuat siapapun bisa mampir ke perpus miliknya. Entah itu orang tua beserta anaknya, remaja yang sedang dirundung rindu, atau mahasiswa yang sedang kritis-kritisnya.
ADVERTISEMENT
Semua buku dibeli Thobi dan rekan-rekannya dari kantong sendiri. “Semua persiapan dari kami. Buku merupakan koleksi pribadi milik teman-teman. Kami juga menyiapkan ini semua dengan sukarela,” kata Thobi yang menggemari buku sastra dan filsafat.
Bagi Thobi, sumbangan buku akan sangat berarti bagi ia dan kawan-kawan pegiat perpustaan jalanan.
“Kami terbuka dengan segala bentuk donasi. Kami sangat ingin menambah koleksi buku kami. Terakhir kami menerima dua kardus novel dari seorang pengunjung,” ujarnya.
Dalam perjuangan meningkatkan minat baca tersebut, Thobi tidak sendiri. Keresahan Thobi adalah keresahan kolektif. Dan kebetulan, Thobi tergabung dalam komunitas pembaca yang bernama Pecandu Buku.
Jaringan inilah yang secara serempak menggelar perpustakaan jalanan di berbagai kota. Jaringan PB juga menggeliat di Purwokerto, Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Analis Hasby, mahasiswi semester 6, memiliki semangat yang sama untuk memperjuangkan literasi lewat perpustakaan jalanan.
“Purwokerto hanya memiliki satu perpustakaan daerah. Akses terhadap ruang baca dan buku sangat minim di sini, makanya kami berusaha membuat buku hadir di tengah masyarakat,” kata dia.
Ketika buku-buku terjejer kaku di rak-rak sunyi gedung perpustakaan, perpustakaan jalanan membuat buku berada di keramaian. Mendobrak gaya lama perpustakaan yang identik dengan petugas yang marah ketika pengunjung berisik, atau pembaca yang menyendiri di antara tumpukan buku, atau kungkungan ruangan persegi.
Analis dengan pegiat perpustakaan jalanan menabrak pakem tersebut. Mereka berusaha agar buku bisa dibicarakan di ruang publik, agar buku bisa lebih hidup dan bermanfaat.
Kisah perpustakaan jalanan di Purwokerto bermula dari kegiatan lapak serentak pada Hari Buruh 1 Mei 2016. Analis menyumbangkan energi untuk mengadakan kegiatan serupa di kota tempat tinggalnya --ikut dalam rangkaian 20 kota lainnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau di perpustakaan biasa, kita sering sibuk sendiri dengan buku kita. Berbicara keras-keras pun akan dimarahi oleh penjaga. Yang berbeda dari perpustakaan jalanan adalah proses interaksi antarpembaca,” kata dia.
Analis sering menyambangi pengunjung yang mampir. Jika ada pengunjung tertarik dengan salah satu judul buku, ia dan pegiat lain akan berbincang dan berbagi bacaan. Dialog semacam ini juga disebut dilakukan oleh pegiat perpustakaan jalanan lainnya.
Selain menggelar buku, perpustakaan jalanan berusaha menjadikan dirinya sebagai pusat kegiatan. Perpustakaan jalanan di Purwokerto misalnya berlokasi di tengah hiruk pikuk kermaian alun-alun kota. Di sudut perpustakaan, disediakan kertas dan pensil agar anak-anak bisa mampir dan mewarnai.
Menggebrak ke ruang publik untuk menularkan kebiasaan membaca memang menjadi keharusan. Pegiat lainnya adalah Ivana Kurniawati, penyelenggara perpustakaan jalanan Surabaya.
Setiap Minggu Sore, Ivana dan kawan-kawan dari Aliansi Literasi Surabaya menggelar perpustakaan jalanan di Taman Bungkul, Surabaya.
ADVERTISEMENT
“Banyak orang punya minat tapi kesulitan akses. Padahal setiap kota punya fasilitas. Masyarakat terlalu lama menganggap buku eksklusif,” tuturnya.
Sebagai mahasiswi perantau, Ivana semula bukan pembaca.
“Saya sadar buku hanya dipandang sebagai hobi. Ia bisa saja membosankan,” ceritanya ketika dihubungi kumparan, Senin (15/5).
Masuk kuliah ke Universitas Petra Surabaya, Ivana mulai melihat buku sebagai kebutuhan.
“Ternyata pengetahuan lengkap bisa didapat dari buku. Artikel hanya akan memenuhi asupan pengetahuan sempit, sedangkan dengan buku wawasan kita meluas. Buku bisa menggerakkan tubuh, cara pandang, dan cita-cita.”
Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer menjadi buku yang ia khatamkan pertama kali. Rasa kebutuhan yang mendesak membuatnya mengambil jalan untuk ikut berjuang menjadi pegiat literasi.
Perpustakaan Jalanan menjadi pilihan jalan untuk berjuang.
ADVERTISEMENT
“Kami mendekatkan buku ke masyarakat. Kami hadir ke ruang publik yang tiap hari berkegiatan di masyarakat. Anak kecil, orang tua, pedagang kecil, komunitas anak muda, dan berbagai lapisan masyarakat lainnya ada di sana.”
Bagi Ivana, bergerak di dunia literasi tidak dalam dunia yang sunyi. Meski diam, dalam hati manusia berkecamuk untaian kata demi kata.
“Aku suka melihat orang lain membaca. Bahkan ketika aku harus meminjamkan buku yang sangat aku suka,” celetuk Ivana.
Beberapa kali Perpustakaan Jalanan dibredel oleh aparat karena dianggap melanggar aturan. Kejadian yang paling membekas adalah pembubaran perpustakaan di Taman Cikapayang, Bandung, pada 20 Agustus 2016.
Disinggung mengenai kemungkinan pembredelan, Ivana mengaku bahwa semuanya ia lakukan dengan niatan baik. Pengelola perpustakaan memenuhi perizinan dari pengelola, benar-benar menjalankan kegiatan yang layak, dan terus menjaga ketertiban.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, para pegiat perpustakaan tidak mengalami masalah berarti. "Jika ada masalah dengan aparat itu hanya soal menjaga kelestarian taman. Seperti bagaimana kami mengikat spanduk di pohon, bagaimana mengelola sampah dari kertas pamflet kita. Kita berhubungan baik," cerita Ivana.
Namun, jika kemungkinan buruk berupa kriminalisasi dan represi benar-benar terjadi, Ivana mengaku siap pasang badan. “Selama buku-buku kami tidak diambil, ya kami tidak apa-apa. Bahkan saya mending dipukuli daripada buku diambil,” tegasnya.
Perkataan ini bukan aksi nekat semata. Ivana mengambil posisi tegas guna menunjukkan bahwa pembredelan adalah noda bagi gerakan literasi. Ivana hanya ingin menyampaikan ke publik bahwa tidak ada buku yang berbahaya dan layak diperlakukan seperti kriminal.
Thobi, Analis, dan Ivana, adalah secuil harapan di tengah rendahnya minat baca Indonesia. Di mata mereka, orang-orang yang penuh sesak di ruang publik bukan ceruk menggiurkan untuk mendapat keuntungan pribadi. Mereka berpikir tentang orang banyak, bahwa buku dapat mewarnai dunia yang dirundung gelap.
ADVERTISEMENT
Simak pula: