Darurat Mental Korban Bencana

Aulya Octavia
Mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
2 Desember 2022 16:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aulya Octavia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penanganan psikologis korban bencana juga merupakan prioritas.
Foto: Pexels/parijb
Sepanjang sejarah, berbagai bentuk bencana alam telah menerjang dan mengancam wilayah Indonesia. Mulai dari bencana yang sangat fenomenal pada masanya, yaitu letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 yang diketahui memakan lebih dari 36 ribu jiwa hingga gempa bumi yang mengguncang Cianjur baru-baru ini pada 21 November 2022.
ADVERTISEMENT
Indonesia menghadapi kenyataan dilingkari oleh Ring of Fire. Pambudi N. A. melalui kajian Renewable and Sustainable Energy Reviews tahun 2018 menjelaskan bahwa sering terjadi aktivitas seismik di sepanjang “Ring of Fire” yang membentang di sekitar Samudra Pasifik dari bagian tenggara Australia sampai bagian barat daya Amerika yang menyebabkan lempeng tektonik bergeser dan memicu gempa bumi, aktivitas gunung berapi, dan potensi bencana alam lainnya. Oleh karena itu, banyak terjadi gempa bumi dan letusan gunung api di sebagian besar wilayah Indonesia.
Tak hanya itu, bencana lain yang disebabkan oleh kelalaian manusia, seperti banjir dan kebakaran juga menjadi ancaman setiap waktu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi sebanyak 2.349 banjir dan 862 kebakaran lahan di Indonesia terhitung sejak tahun 2020 sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
Setiap peristiwa bencana pastilah merenggut banyak korban. Terkadang, bencana juga menyisakan korban yang menjadi penyintas yang disertai dengan luka, trauma, dan kehilangan. Bukan hanya melukai fisik, melainkan juga berdampak negatif terhadap kesehatan mental korban.

Fenomena Psikologis Efek Bencana

Foto: Pexels/sanej-prasad-suwal-32250314
Fenomena psikologis sebagai efek dari bencana menggabungkan masalah antara reaksi korban selamat pascabencana dengan perubahan lingkungan sosial yang dialaminya. Dampak yang mempengaruhi para penyintas tidak boleh diremehkan. Bahkan, penelitian-penelitian psikologi sulit untuk menyelidiki para penyintas yang seringkali menolak penyelidikan. Mengapa demikian?

Dibalik Mental Penyintas

Pada umumnya, setiap penyintas atau korban selamat mengalami perubahan emosional. Sebenarnya bagaimana mereka memandang bencana saat itu? Kinston & Rosser (1974) menyebutkan bahwa dalam bencana parah yang datang tiba-tiba, korban mengalami ilusi sentralitas. Misalnya, dalam bencana angin puting beliung, korban percaya bahwa hanya rumah mereka sendiri yang terkena.
ADVERTISEMENT
Penelitian Kinston & Rosser (1974) menunjukkan bahwa saat itu korban berayun di antara perasaan teror dan kegembiraan, kekebalan dan ketidakberdayaan, keinginan mengabaikan bencana dan keinginan melarikan diri melalui keajaiban.
Hal-hal yang dialami korban ketika bencana menyerang, membuat mereka mengalami ‘sindrom bencana’.
Riset yang dilakukan Wallace terhadap korban bencana tornado di Worcester tahun 1954 mendapati fakta bahwa sindrom bencana menunjukkan tidak adanya emosi, penghambatan aktivitas, kepatuhan, keragu-raguan, hingga kurangnya respon dan perilaku sadar seseorang. Ini sebabnya kita sering menemukan korban bencana dalam keadaan linglung.

Kecemasan

Korban selamat merasakan takut dan khawatir yang umumnya bertahan selama beberapa waktu. Mereka mungkin berpikir bahwa bencana akan terulang kembali dan menganggap dunia bukan tempat yang aman sehingga merasa cemas ditinggal sendirian atau terpisah dari orang yang mereka cintai. Selanjutnya, reaksi psikologis berupa kesedihan timbul saat korban kehilangan sesuatu yang dicintai.
ADVERTISEMENT

Keegoisan

Kamu pasti pernah mendengar berita keegoisan korban bencana yang diberitakan melalui media massa. Kira-kira, apa yang menjadi penyebabnya?
Tak dapat dipungkiri, setiap korban selamat mengalami kepanikan. Dalam psikologi, kepanikan ini menyebabkan reaksi terhadap konflik antara impuls egois dan altruistis.
Orang-orang mulai memikirkan dirinya sendiri, menganggapnya sebagai kompetisi untuk bertahan hidup. Seolah-olah mengorbankan orang lain untuk bertahan hidup adalah hal wajar. Meskipun begitu, nyatanya sebagian besar pikiran tersebut tidak benar-benar dilakukan. Namun, pemikiran rumit itu tetap menghasilkan perasaan bersalah.

Apa Dampaknya terhadap Kesehatan Mental?

Bencana menimbulkan konsekuensi terhadap kesehatan mental korban selamat. Gangguan yang umum dialami berupa PTSD, MDD atau depresi, penyalahgunaan zat, serta gangguan mental lainnya, seperti gangguan penyesuaian, depresi, hingga gangguan kecemasan. Beberapa penyakit mental ini diuraikan oleh Goldmann & Galea (2014) sebagai berikut:
ADVERTISEMENT

Posttraumatic Stress Disorder (PTSD)

PTSD yang diterjemahkan sebagai Gangguan Stres Pascatrauma sudah terasa tak asing bagi kita. Penyakit mental ini disebabkan oleh peristiwa traumatis dan ditandai dengan mengalami kembali peristiwa tersebut melalui mimpi buruk dan/atau kilas balik. Penderita menghindari segala rangsangan yang mengingatkannya pada peristiwa tersebut.
Dengan demikian, tak heran jika PTSD dialami korban pascabencana. Bahkan, menurut penelitian, penyakit mental pascabencana ini dialami baik korban langsung maupun petugas penyelamat dan populasi umum.

Major Depressive Disorder (MDD)

MDD atau Gangguan Depresi Mayor yang lebih kita kenal sebagai ’depresi’ ditandai dengan kesedihan dan hilangnya kesenangan atau minat pada hal-hal yang pernah dinikmati, serta kombinasi dari gejala lain, seperti perubahan pola tidur dan berat badan, sulit berkonsentrasi, dan mudah marah.
Bencana telah menjadi sumber depresi bagi sebagian korban dengan tingkat yang berbeda-beda. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tingkat keterpaparan bencana dan dukungan sosial pascabencana yang diperoleh korban.
ADVERTISEMENT

Penyalahgunaan Zat

Penyalahgunaan zat banyak ditemukan di antara korban yang memiliki masalah penyalahgunaan zat sebelumnya. Gangguan ini ditandai dengan penggunaan alkohol atau narkoba yang menyebabkan kesulitan bekerja, terjerat masalah hukum, kesulitan dalam hubungan sosial, keterlibatan dalam situasi berbahaya, dan kesulitan untuk berhenti.
Banyak penelitian telah membuktikan peningkatan penggunaan alkohol, obat-obatan, dan rokok sebagai cara seseorang untuk mengatasi pengalaman buruknya.

Gejala Psikologis Lainnya

Gangguan psikologis lainnya, seperti kecemasan akan kematian, gangguan panik, dan fobia juga ditemukan di antara para korban bencana. Selain itu, mengingat potensi kehilangan orang yang dicintai secara tiba-tiba dalam situasi bencana, penelitian juga menemukan gangguan kesedihan yang berkepanjangan pada masyarakat yang terkena dampak bencana. Bahkan, dampak terburuknya dapat membuat korban memiliki keinginan untuk bunuh diri, lho.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya, jangan meremehkan kesehatan mental korban bencana, ya! Korban tak hanya membutuhkan bantuan tenaga medis, tetapi juga membutuhkan ahli kesehatan mental, mengingat betapa gentingnya kesehatan mental setiap korban untuk melanjutkan kehidupan normalnya kembali.
Kabar baiknya, saat ini sudah banyak relawan yang melakukan pertolongan pertama psikologis atau PFA terhadap korban bencana dengan tujuan memberikan dukungan emosional kepada korban bencana. Namun, proses ini harus diawasi oleh ahlinya dan tidak boleh sembarang orang melakukannya, ya!

Sumber Rujukan:

Goldmann, E., & Galea, S. (2014). Mental health consequences of disasters. Annual review of public health, 35, 169-183.
Kinston, W., & Rosser, R. (1974). Disaster: Effects on mental and physical state. Journal of psychosomatic research, 18(6), 437-456.
ADVERTISEMENT