Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Benarkah Pengembangan Vaksin COVID-19 Mengancam Populasi Hiu?
17 November 2020 17:08 WIB
Tulisan dari Dasar Binatang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada situs Global Vaccine Safety, bahwa setiap dosis mengandung sekitar 10 miligram squalene. Faktanya, dilansir dari situs Discovery, 22 juta dosis telah diproduksi sejak tahun 1997. WHO juga menjelaskan alasan minyak ikan hiu sebagai bahan baku vaksin karena dapat meningkatkan respons kekebalan tubuh.
Sementara itu, kebutuhan vaksin COVID-19 semakin meningkat. Penemuan obat untuk melawan pandemi corona merupakan urgensi yang harus terpenuhi secepatnya dalam tingkat lokal maupun global. Oleh sebab itu, persaingan sengit sedang berlangsung di antara para pengembang vaksin. Lima kandidat vaksin COVID-19 dilaporkan menyertakan squalene yang diambil dari hiu sebagai ajuvan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan dari National Geographic, salah satu kandidat vaksin yang dikembangkan di Australia mengandung squalene MF59 yang diambil dari berbagai spesies hiu. Vaksin akan memasuki uji klinis pada manusia di awal tahun. Jika temuan ini berhasil, maka akan menghasilkan 51 juta dosis pada awal produksi.
Penurunan populasi hiu besar-besaran
Puluhan juta hiu ditangkap dan diperdagangkan secara internasional setiap tahun, baik dalam bentuk legal maupun ilegal. Sebagian besar hiu diambil daging dan siripnya. Sementara, minyak hati menjadi target pada tiga juta ekor atau lebih. Satu ton squalene setidaknya dihasilkan oleh 2.500 hingga 3.000 hati hiu.
Kelompok konservasionis seperti Shark Allies menanggapi fenomena ini melalui pembicaraan dengan Telegraph. Jika populasi dunia menerima satu dosis vaksin yang mengandung minyak ikan hiu, itu artinya sekitar 250.000 hiu perlu dibunuh. Tetapi jika dua dosis diperlukan, kemungkinan setengah juta hiu akan dipanen untuk diambil minyak hatinya.
ADVERTISEMENT
Pendiri dan Direktur Eksekutif Shark Allies, Stefanie Brendl, menekankan bahwa organisasi tidak menentang pengembangan vaksin. Tetapi, mereka berharap bahwa pihak terkait akan menguji squalene yang bukan berasal dari hewan. Dengan demikian, minyak yang dihasilkan dari organ spesies terancam segera diganti. Brendl menyebutkan dua jenis hiu yang kaya squalene termasuk hiu gupler dan basking, di mana keduanya semakin berisiko pada ancaman penurunan populasi.
Beberapa perusahaan bioteknologi sadar akan penurunan populasi hiu. Oleh sebab itu, mereka mencari sumber lain dari tumbuhan, seperti tebu, zaitun, biji bayam, dan dedak padi. Sementara alternatif nabati sedang diuji dalam studi dan uji klinis. Meskipun badan berwenang belum menyetujui percobaan sebagai bagian dari produk vaksin akhir.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Shark Allies mengajukan petisi kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat, regulator Eropa, Administrasi Produk Medis Nasional Tiongkok, dan para pengembang vaksin untuk menghentikan penggunaan minyak ikan hiu pada semua obat farmasi.
Industri minyak ikan
Selama berabad-abad, manusia telah mengeksploitasi hati hiu untuk makanan dan energi. Minyak hati menjadi bahan bakar lampu jalan di seluruh Eropa pada abad ke-18. Minyak juga telah lama digunakan dalam industri tekstil dan pewarnaan makanan hingga produk kosmetik.
Pada tahun 1997, Chiron, bekas perusahaan bioteknologi yang telah diakuisisi oleh Novartis, menggunakan squalene sebagai bahan pembantu dalam vaksin flu FLUAD. Perusahaan farmasi besar lainnya, seperti GSK dan Novartis, mulai mengandalkan squalene sebagai vaksin flu musiman dan flu babi.
ADVERTISEMENT
Permintaan hati hiu semakin meningkat dan dikembangkan oleh industri khusus nelayan, produsen, dan pedagang, terutama di Indonesia dan India. Proses yang disebut dengan livering memaksa nelayan membunuh hiu untuk diambil hatinya, lalu membuang sisa bangkai ke laut.
Pada proses produksi di daratan, hati dicincang, direbus, dan ditempatkan dalam tangki, lalu dimasukkan ke dalam mesin untuk memisahkan minyak dari residu. Minyak kemudian dikemas dan dikirim ke seluruh dunia. Satu ton minyak hati hiu bisa bernilai ribuan dolar, tergantung kandungan squalene-nya.
Hiu memainkan peran penting dalam ekosistem
Semua hiu memang menghasilkan minyak hati, tetapi nelayan menargetkan spesies laut dalam karena memiliki hati paling besar. Dengan kata lain, hiu laut dalam menghasilkan konsentrasi minyak tertinggi. Sayangnya, spesies tersebut sangat rentan terhadap penangkapan berlebihan karena fase tumbuh dewasa yang lambat. Bahkan, beberapa membutuhkan waktu satu dekade untuk mulai berkembang biak.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, hampir setengah dari 60 spesies hiu yang paling dicari hatinya, termasuk hiu martil bergigi, mako sirip panjang, dan hiu paus, dianggap rentan terhadap kepunahan. Status itu ditentukan oleh the International Union for Conservation of Nature (IUCN), sebuah badan yang menetapkan status konservasi hewan dan tumbuhan liar.
(Baca juga: 5 Pandemi Hewan yang Tak Kalah Mengerikan )
Banyak dari spesies yang dimaksud dilindungi oleh persetujuan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Persetujuan yang melibatkan pemerintah dari berbagai negara itu membatasi atau melarang penangkapan ikan spesies laut tertentu seperti hiu dan pari.
Masalah lain dihadapi ketika nelayan dan produsen memiliki pemahaman yang salah dengan menganggap spesies yang tidak termasuk dalam daftar dianggap aman untuk diburu. Menurut Brendl, menghindari spesies yang dilindungi dan tetap memburu yang dinilai berlimpah bukan berarti itu berkelanjutan. Hanya segelintir spesies yang telah sah dilindungi oleh hukum. Sementara, memasukkan spesies baru dalam daftar perlindungan juga membutuhkan waktu bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Austin Gallagher, kepala ilmuwan di Beneath the Waves, sebuah kelompok konservasi hiu yang berbasis di Virginia, mengatakan kehilangan predator laut teratas, seperti hiu kepala martil bergigi, bisa menjadi bencana lingkungan. Hiu memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem laut dengan memakan hewan lain yang terluka dan sakit. Selain itu, makhluk yang dianggap ganas ini menjadi agen seleksi alami dengan cara yang sangat bijak dalam rantai makanan komunitas laut.