Konten dari Pengguna

Selain Sebagai Bahan Bakar, Fosil Tanaman Berguna untuk Mengetahui Sejarah Bumi

Dasar Binatang
Menyajikan sisi unik dunia binatang, menjelajah ke semesta eksotisme lain margasatwa
9 Oktober 2020 14:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dasar Binatang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fosil Glossopteris. Foto: dok.Instagram/@palaeo_botanis
zoom-in-whitePerbesar
Fosil Glossopteris. Foto: dok.Instagram/@palaeo_botanis
ADVERTISEMENT
Para ahli paleontologi, terus menelusuri jejak sejarah bentang alam bumi purba melalui fosil tumbuhan yang ditemukan. Afrika Selatan adalah rumah bagi berbagai fosil tumbuhan yang kurang dikenal dan diabaikan, di mana disebut dengan glossopterids.
ADVERTISEMENT
Pohon-pohon glossopterids pernah tumbuh di daerah rawa-rawa yang luas bersama kelompok tumbuhan purba, seperti pakis, pakis ekor kuda, dan clubmosses. Sumber fosil banyak ditemukan di tanah Naimibia, Zimbabwe, Mozambik, hingga jauh ke utara, seperti Zambia, Tanzania, Kenya, bahkan Pulau Madagaskar.
Beberapa orang mungkin bertanya-tanya kegunaan fosil. Faktanya, peninggalan alam dari masa purba tersebut dapat memberikan bukti kehidupan paling awal, seperti kondisi lingkungan dan iklim masa lalu. Para ilmuwan memiliki tantangan untuk merekonstruksi seluruh ekosistem, dimulai dari bagian bawah rantai makanan untuk benar-benar memahami zaman purba.
Glossopteris ditemukan menghiasi lanskap kuno sebelum dinosaurus hidup di bumi. Oleh karena itu, Aviwe Matiwane dan Rosemary Prevec, dari Rhodes University, memberi keterangan pada The Conversation, bahwa memahami seluk beluk planet ini harus dilakukan dengan cermat.
ADVERTISEMENT
Bumi memasuki periode Permian sekitar 300 juta tahun yang lalu. Selama periode tersebut, hingga 252 juta tahun yang lalu, tumbuhan glossopteris menjadi pemandangan umum di seluruh dataran Gondwana, di mana saat ini terpecah menjadi Afrika, Antartika, Australia, India, dan Amerika Selatan.
Kehadiran glossopteris digunakan sebagai bukti pendukung untuk teori revolusioner “pergeseran benua”. Glossopteris mudah dikenali karena daunnya yang khas. Namanya memiliki arti “pakis lidah” dalam bahasa Yunani, yang diambil dari bentuknya.
Bukti fosil menunjukkan bahwa tanaman mungkin tumbuh di habitat yang beragam dan dalam berbagai bentuk, berkisar dari semak pendek hingga pohon setinggi bangunan lima lantai. Terlepas dari bagaimana ukurannya, tanaman ini memberi kontribusi pada bahan dan material yang masih digunakan pada zaman modern saat ini.
ADVERTISEMENT
Bahan mati dari tanaman terakumulasi di lingkungan rawa, terkubur, dan seiring waktu membentuk cadangan batubara Afrika Selatan yang sangat besar. Ketika tanaman mati atau berguguran, daunnya jatuh ke tanah dan membusuk. Tetapi, daun yang terjatuh di beberapa tempat tercampur dengan air asam dengan tingkat tanin tinggi dan konsentrasi oksigen rendah.
Proses pembusukan dapat diperlambat oleh aktivitas bakteri, jamur, dan organisme lain. Seiring waktu, daun yang jatuh akan terkubur bersama dengan lapisan lumpur dan hanyut ke dalam rawa. Selama periode itu, tanaman yang terkubur mengalami tekanan besar dan suhu tinggi. Akibatnya, perubahan kimiawi terjadi melalui kompresi menjadi batuan yang dikenal dengan lapisan batubara. Inilah mengapa batubara disebut bahan bakar fosil, sekaligus sebagai pengingat bahwa bahan bakar tersebut terbatas.
ADVERTISEMENT
Selain sebagai sumber utama bahan bakar dalam produksi listrik Afrika Selatan, Glossopteris memberikan kontribusi pada kehidupan manusia dalam banyak hal. Atom karbon yang dipanen dari udara sebagai karbon dioksida oleh pohon-pohon ini selama proses fotosintesis ratusan juta tahun yang lalu, dapat menghasilkan apa yang saat ini dikenal dengan bensin, lilin, plastik, dan sejumlah produk untuk kehidupan sehari-hari.
Para ilmuwan mengatakan bahwa tak menutup kemungkinan jenis fosil tanaman baru akan ditemukan di masa yang akan datang. Terlebih lagi Afrika Selatan memiliki potensi besar dengan wilayah yang sangat luas untuk dieksplorasi.
Keterbatasan penelitian yang mengacu pada fosil tumbuhan dan serangga masih menjadi tantangan. Penemuan terbaru tidak hanya tentang membuka wawasan dalam tingkat lokal, namun diharapkan mampu menjadi kunci lebih luas dalam memahami planet bumi di masa lampau.
ADVERTISEMENT