Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Dari Kenyataan ke Simulakra: Ketika Media Sosial Menjadi Hiperrealitas
14 Februari 2025 21:28 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Faishol Al Hamimy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam sebuah perbincangan di tongkrongan, ada empat orang berkumpul. Tiga di antara mereka sibuk bermain game, sementara satu orang asyik berselancar di media sosial. Beragam video pendek lewat di matanya tanpa henti. Setelah beberapa saat, mereka kembali berinteraksi, tetapi ada satu orang yang terlihat berbeda—murung, termenung, dan tampak kehilangan semangat. Dialah yang tadi terus-menerus scroll media sosial.
ADVERTISEMENT
Salah satu temannya menyadari perubahan itu. Ia mencoba menghibur dengan berkata, "Kehidupanmu adalah yang ada di depan matamu, realitasmu adalah apa yang kamu alami." Kalimat sederhana, tapi membuat si penulis berpikir—apa sebenarnya makna dari ungkapan itu?
Di Indonesia, media sosial bukan lagi sekadar kebutuhan sekunder, tetapi sudah menjadi bagian utama dalam kehidupan. Pada tahun 2024, Kominfo mencatat bahwa pengguna media sosial di Indonesia mencapai 221,56 juta orang, meningkat 211,22% dalam sepuluh tahun terakhir—sekitar 21% per tahun. Dengan angka sebesar itu, mustahil membayangkan ada orang yang sepenuhnya terlepas dari media sosial.
Media sosial memberi kebebasan bagi penggunanya untuk mengunggah berbagai jenis konten, begitu pula penonton yang bebas memilih dan mengonsumsi apa pun yang mereka inginkan. Platform berbasis video dan gambar, yang mudah diakses dan dinikmati, semakin mempercepat laju informasi dan tren. Namun, terdapat suatu masalah banyak orang menganggap bahwa konten yang diunggah di media sosial—baik video harian (daily vlog), kisah pribadi (storytelling), maupun kutipan (quotes)—sebagai sesuatu yang mutlak benar. Mereka sering gagal memahami bahwa konten tersebut hanyalah representasi dari kehidupan, bukan realitas keseluruhan. Padahal, kehidupan manusia sangatlah beragam dan kompleks.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar pengguna tidak tahu latar belakang pembuat konten—dari mana asal mereka, apa motivasi mereka, atau bagaimana kehidupan mereka di luar kamera. Teori Resonansi Kognitif menjelaskan bahwa manusia lebih mudah menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan dan pengalamannya sendiri. Akibatnya, ketika seseorang menemukan konten yang terasa "relatable," algoritma media sosial akan terus menyajikan hal serupa, menciptakan siklus yang sulit diputus.
Dampaknya. Banyak orang merasa frustrasi, bahkan mengalami depresi setelah terlalu lama mengonsumsi media sosial. Banyak penelitian mengungkapkan hal ini, salah satunya studi yang dilakukan oleh Ardi Gumara dkk. (2024), yang menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, terutama di kalangan dewasa muda. Faktor utamanya termasuk paparan konten negatif, perbandingan sosial, dan kecanduan digital.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan menikmati konten di media sosial. Akan tetapi, banyak orang terjebak dalam emosi yang muncul setelah melihat suatu konten. Misalnya, seseorang menonton konten berjudul "Marriage Is Scary," lalu tiba-tiba merasa takut untuk menikah. Tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa pembuat konten itu benar-benar sudah menikah? Bisa jadi, itu hanya seorang remaja yang iseng membuat konten. Atau seseorang melihat unggahan tentang kehidupan mewah, lalu tanpa sadar merasa gagal, menyalahkan keadaan, dan kehilangan rasa syukur atas hidupnya sendiri.
Bahaya terbesar adalah ketika seseorang mulai menganggap standar hidup yang ada di media sosial sebagai tolok ukur realitas. Mereka lupa bahwa media sosial adalah tempat berkumpulnya orang dari berbagai latar belakang, kelas sosial, dan pengalaman hidup yang berbeda-beda. Banyak orang yang awalnya bahagia tiba-tiba merasa tertekan karena membandingkan hidupnya dengan versi sempurna yang ditampilkan di media sosial.
Di era post-truth, emosi lebih dominan daripada fakta. Media sosial dirancang untuk membangkitkan perasaan—baik itu amarah, kegembiraan, atau ketakutan—sehingga sering kali seseorang lebih percaya pada informasi yang sesuai dengan emosinya, meskipun faktanya belum tentu benar. Algoritma media sosial menciptakan ilusi kebenaran, di mana sesuatu terasa nyata hanya karena sering muncul di layar. Akibatnya, batas antara dunia digital dan realitas menjadi kabur.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep simulakra Jean Baudrillard. Simulakra adalah representasi yang tidak lagi merujuk pada realitas objektif, melainkan menciptakan realitasnya sendiri. Dalam media sosial, yang kita lihat bukanlah kehidupan nyata, melainkan versi yang telah dimanipulasi oleh algoritma, filter, dan ekspektasi sosial.
Awalnya, media sosial digunakan sebagai alat komunikasi yang menggambarkan kehidupan nyata, di mana foto, status, dan unggahan memiliki hubungan jelas dengan dunia fisik. Namun, seiring waktu, citra yang ditampilkan mengalami manipulasi melalui filter, kurasi, dan seleksi konten. Apa yang terlihat di layar bukan lagi refleksi utuh dari realitas, tetapi versi yang telah "diedit" agar sesuai dengan standar sosial dan estetika digital. Pada titik ekstrem, media sosial menciptakan hiperrealitas, di mana dunia digital menjadi lebih "nyata" daripada kenyataan itu sendiri..
ADVERTISEMENT
Simulakra tidak sekadar mencerminkan dunia nyata, tetapi menggantinya. Ia mengontrol manusia dengan menjebak mereka dalam ilusi, membuat mereka percaya bahwa yang palsu adalah kenyataan. Manusia menjadi tergantung pada simulasi, bahkan tanpa menyadarinya.
Coba pikirkan. Ini bukan sekadar masalah kebiasaan, tetapi problem epistemologi—bagaimana kita bisa memastikan sesuatu itu nyata atau tidak? Apakah hidup ini hanya sekadar ilusi, mimpi, atau manipulasi dari sebuah sistem besar yang mengendalikan persepsi kita? Perbedaan antara realitas dan simulasi menjadi semakin sulit dipahami ketika dunia maya menawarkan pengalaman yang tampak lebih menarik dibandingkan kenyataan. Jika kita membandingkan keduanya, dunia nyata sering kali diwarnai oleh kemiskinan, kesedihan, kejahatan, dan kegalauan. Sementara itu, dunia simulasi menghadirkan gambaran yang lebih ideal—kecantikan, kekayaan, kemewahan, status sosial, serta kesenangan. Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah: mana yang lebih menarik untuk dipilih? Jika dunia maya terasa lebih nyata daripada dunia nyata, bagaimana kita bisa menentukan mana yang benar-benar nyata? Jika simulakra menawarkan kehidupan yang lebih baik dibandingkan realitas, mengapa kita harus bersusah payah menghadapi kenyataan yang penuh ketidakpastian? Pada akhirnya, ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: apa sebenarnya makna dari "nyata"? Apakah simulakra yang kita jalani dalam dunia digital tidak cukup nyata?
ADVERTISEMENT