Konten dari Pengguna

Ancaman Distopia Pendidikan Tinggi Indonesia

Moch Imron Rosyidi
Dosen dan Peneliti di Ilmu Komunikasi FISIB Universitas Trunojoyo Madura
23 Desember 2024 16:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moch Imron Rosyidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah dalam Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 menyatakan bahwa tunjangan kinerja untuk dosen dibawah kemendikbudristek akan diberlakukan mulai tahun 2025. Kebijakan ini dikeluarkan pada akhir periode september tahun ini, namun sepertinya belum ada harapan kebijakan ini diberlakukan. Bisa karena pergantian kementerian, atau terkait anggaran negara dan faktor lain.
ADVERTISEMENT
Namun, bagaimana jika janji tersebut ditunda atau bahkan dibatalkan?. Sepertinya penundaan tersebut nyata, sejak adanya Surat Edaran Menteri Pendidikan, Sains, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024 beberapa hari lalu, Tentang Penundaan Implementasi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Nomor 44 Tahun 2024 Tentang Profesi, Karier, Dan Penghasilan Dosen. Penundaan ini jika berujung pembatalan dapat menciptakan distopia dalam dunia akademik Indonesia, khususnya bagi para dosen yang telah lama menantikan apresiasi atas kontribusi mereka.
Ilustrasi Beban Dosen (Sumber; Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Beban Dosen (Sumber; Unsplash)
Tugas dosen mencakup pelaksanaan tridharma perguruan tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian Masyarakat ditambah penunjang seperti kepanitiaan, administrasi dan struktural yang kadang lebih banyak daripada tugas utama. Dalam skenario tunjangan kinerja dibatalkan, dosen akan terus menghadapi beban kerja berat tanpa tambahan insentif, ditengah kenaikan beberapa pajak yang jika kita lihat adalah kebutuhan utama dosen, seperti biaya langganan aplikasi dan bahan untuk subyek penelitian. Padahal, pemberian tunjangan ini diharapkan menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas penelitian dan pendidikan di Indonesia. Tentu ini menjadi kontradiksi antara satu kebijakan, dengan kebijakan lain dan harus dicermati segera.
ADVERTISEMENT
Janji yang tidak ditepati dapat menurunkan moral dosen secara signifikan. Banyak dosen yang telah menginvestasikan waktu dan sumber daya untuk memenuhi persyaratan administratif dan akademik demi mendukung kebijakan dan program utama pemerintah. Ketika penghargaan finansial yang dijanjikan tidak terealisasi, mereka mungkin kehilangan motivasi untuk terus berkontribusi secara optimal.
Pembatalan tunjangan kinerja berpotensi memicu eksodus tenaga pendidik dari dunia akademik ke sektor lain yang menawarkan remunerasi lebih baik. Hal ini dapat memperburuk krisis tenaga pengajar di Indonesia, terutama di daerah terpencil yang sudah kekurangan dosen. Di sisi lain, generasi Z yang menjadi harapan masa depan dunia Pendidikan dalam data survey terakhir menunjukkan minat yang semakin menurun untuk memilih profesi dosen. Faktor seperti rendahnya apresiasi finansial dan tekanan administratif dianggap membuat profesi ini kurang menarik bagi generasi muda. Dampaknya senjakala Pendidikan tinggi di Indonesia tinggal menunggu waktu.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan tunjangan juga dapat memperparah ketimpangan di antara dosen di berbagai institusi. Perguruan tinggi besar yang mampu memberikan insentif tambahan mungkin tetap bertahan, sementara perguruan tinggi kecil dan negeri di daerah akan semakin tertinggal. Ketimpangan ini dapat menciptakan disparitas kualitas pendidikan tinggi secara nasional. Di saat upaya pemerataan Pembangunan diupayakan namun lupa bahwa problematika Pendidikan tinggi seringkali terlewat.
Distopia Hak Dasar Vs Cita-Cita SDM Unggul
Dosen yang kehilangan motivasi dan semangat kerja akan berdampak langsung pada kualitas pendidikan. Penurunan kualitas ini akan merugikan mahasiswa sebagai penerima utama layanan pendidikan tinggi, yang pada akhirnya memengaruhi daya saing lulusan Indonesia di kancah global. Dalam konteks ini, teori motivasi Abraham Maslow dapat membantu memahami dampak tersebut. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia terdiri dari hierarki, mulai dari kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, hingga aktualisasi diri. Ketika tunjangan kinerja yang dijanjikan tidak terpenuhi, kebutuhan dasar seperti keamanan finansial dan penghargaan profesional dosen terancam, sehingga menghambat mereka untuk mencapai aktualisasi diri sebagai tenaga pendidik yang unggul.
ADVERTISEMENT
Penundaan kebijakan ini juga dapat memicu krisis kepercayaan di kalangan dosen terhadap pemerintah. Ketidakpastian kebijakan dan janji yang tidak terpenuhi memperburuk hubungan antara pemerintah dan dunia akademik, yang seharusnya menjadi mitra strategis dalam pembangunan bangsa.
Untuk menghindari skenario distopia ini, pemerintah harus memberikan kepastian terkait implementasi tunjangan kinerja dosen. Transparansi dalam proses penganggaran dan komitmen terhadap kebijakan ini sangat penting untuk membangun kepercayaan dan menjaga stabilitas dunia akademik. Tanpa langkah konkret, risiko distopia akan menjadi kenyataan yang merugikan banyak pihak, terutama masa depan pendidikan tinggi.
Kebijakan tunjangan kinerja bukan hanya soal uang, melainkan bentuk penghargaan dan pengakuan terhadap dedikasi dosen dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kasus ini masa depan karir tidak boleh dijanjikan utopia kemudian dibatalkan jika ini terjadi distopia pendidikan tinggi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, implementasi kebijakan ini harus diprioritaskan untuk menciptakan sistem pendidikan tinggi yang adil, bermartabat, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT