Kontroversi Pidana Penjara Pengguna Narkotika: Penjara Sudah Penuh!

Jody Nicholas Simandjuntak
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
13 Desember 2022 22:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jody Nicholas Simandjuntak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi kepadatan dalam sel di Rutan Bagansiapiapi (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi kepadatan dalam sel di Rutan Bagansiapiapi (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Ibu minta pulsa dong Iki” ujar anaknya Ibu Upi dari Lapas dalam salah satu perbincangan harian mereka. Itulah memori terakhir Upi, seorang wanita berumur 44 tahun, dengan anaknya sebelum diberikan berita bahwa anaknya menjadi salah satu korban dari 41 korban kebakaran di Lapas Kelas 1 Tangerang. “Arus pendek listrik” jawab Kementerian Hukum dan HAM sebagai penyebab tragedi tersebut, tetapi tidak terjawab penyebab Lapas untuk 900 narapidana diisi sebanyak 2.069 orang sebagai alasan mereka tidak dapat luput dari api membara?
ADVERTISEMENT
Faktanya, penjara Indonesia sudah penuh. Secara nasional, Indonesia sudah memenuhi lebih dari kapasitas tersedianya penjara. Sehingga, dapat diterima gambaran bahwa para narapidana seakan terlantar dalam kendang sempit tersebut untuk membusuk. Menelik lebih dalam tujuan filosofis dikonstruksinya penjara, berdasarkan suatu penelitian kondisi tersebut merupakan kekeliruan tujuan sanksi pidana penjara, yakni untuk melindungi masyarakat dan memperbaiki perilaku. Rehabilitasi untuk menyiapkan kembalinya para narapidana ke masyarakat umum dijadikan sebagai hal opsional ketimbang kewajiban. Oleh karena kekeliruan tersebut penjara di Indonesia dapat penuh sebagai tempat tampungan para kelompok yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Dilema tersebut diperburuk ketika diketahui sebenarnya siapa yang memenuhi penjara-penjara tersebut.
Pada datanya, salah satu kontributor isu utama adalah kriminalisasi berlebihan para narapidana kasus pengguna narkoba dengan 50% dari total narapidana merupakan pengguna narkoba. Perihal tersebut disebabkan karena menurut pasal-pasal ambigu dalam undang-undang yang mengaturnya, pengguna narkotika tidak berbeda dengan pengedar. Sejatinya dari teori victimology, para pengguna narkoba lebih tepat dikategorikan sebagai korban yang perlu diobati dan bukan pelaku karena sifatnya sebagai kejahatan tanpa korban (Crime without victim). Regulasi tersebut mencabut manusia dari martabat manusia para narapidana tersebut.
ADVERTISEMENT
Keadaan yang harus dihidupi para narapidana secara singkat dan akurat dapat digambarkan sebagai tidak manusiawi dengan risiko tinggi penularan penyakit dan kesulitan mendapat jatah makanan yang cukup. Para narapidana diperlakukan seakan mereka bukan manusia dan hanya dilihat sebagai suatu angka yang harus dipaksa muat pada jumlah pada kapasitas penjara. Namun pihak yang dirugikan tidak berakhir pada para narapidana saja. Masyarakat dan aparat negara juga ditarik dalam permasalahan tersebut dengan tanggung jawab mendanai dana pembangunan bangunan dan kebutuhan sumber daya manusia meregulasi tiap penjara yang penuh. Dengan demikian, diperlukan reformasi pasal-pasal ambigu tersebut dan model ideal untuk mengatasi kelebihan kapasitas penjara.

Isu Dalam UU Narkotika

Dilema dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU 35/2009”) bersumber dari kerancuan definisi dari pasal-pasal terkait dalam memberi definisi narapidana narkotika. Pada pasal 112 ayat (1) UU 35/2009 terdapat isu penyamaan sanksi pidana bagi pengguna maupun pengedar narkotika. Sejatinya, hal tersebut menyebabkan anggapan bahwa penyalahguna narkotika (yang juga merupakan korban) sebagai pelaku perbuatan melawan hukum padahal terdapat ketidakhadiran maksud kejahatan didalamnya. Hal tersebut diperburuk dengan penanganan tindak pidana narkotika yang cenderung lebih sering menjerat penyalahguna narkotika dibanding pengedar narkoba dengan pasal 112 UU 35/2009.
ADVERTISEMENT
Penyamaan sanksi dalam ketentuan dan praktiknya menimbulkan dampak kelebihan kapasitas lapas dan kegagalan rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Isi pasal-pasal dalam UU 35/2009 yang tidak sebanding menimbulkan kegagalan salah satu unsur keadilan yaitu kesebandingan hukum. Kegagalan kesebandingan ini terletak pada penyamaan berat sanksi antara penyalahguna dan pengedar. Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari, mendukung paradigma tersebut dengan mengatakan bahwa sasaran UU Narkotika seharusnya pada penjahat pengedar narkotika daripada korban penyalahguna narkotika. Tidak sebandingannya berat-ringan sanksi pidana tersebut berhubungan dengan kerancuan pasal 112 dan pasal 127 UU 35/2009
Isi pasal 112 dan 127 UU 35/2009 memiliki ketidakselarasan dengan dua sanksi berbeda bagi penyalahguna narkotika dalam UU tersebut. Pasal 112 memberikan minimal sanksi penjara 4 (empat) tahun sementara pasal 127 menjatuhkan sanksi terberat maksimal 4 (empat) tahun. Sesuai dengan kontradiksi tersebut, Wakil Ketua Badan Legsilasi, Totok Daryanto, mengatakan bahwa pokok permasalahannya adalah penyalahguna narkotika dapat dikenakan kedua pasal tersebut sekaligus padahal berat sanksinya berbeda.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, kerancuan pasal-pasal tersebut menyebabkan banyak penyalahguna narkotika menerima sanksi pidana lebih berat daripada seharusnya. Pemberatan tersebut mengakibatkan lebih banyak penyalahguna sebagai korban untuk masuk lapas daripada menerima rehabilitasi yang diatur dalam pasal 127 UU 35/2009.

Rehabilitasi Hanya Opsional?

Selanjutnya, Rehabilitasi yang seharusnya menjadi pendekatan utama bagi penyalahguna narkotika belum terjamin dalam pasal-pasal UU 35/2009. Seharusnya, penyalahguna narkotika diberikan rehabilitasi sesuai isi pasal 127 (ayat 3), tetapi dalam praktiknya penyalahguna lebih sering menerima ultimum remedium daripada menerima pemulihan. Pasal 54 mengenai rehabilitasi juga hanya menjamin rehabilitasi bagi pecandu narkotika (kebergantungan pada narkotika) dan korban penyalahguna narkotika (dipaksa menggunakan narkotika). Tentunya, penyalahguna narkotika sulit untuk dibuktikan sebagai hal tersebut sehingga para pengguna narkotika terpaksa hanya menerima vonis pidana penjara. Dengan demikian, ambiguitas dari pasal tersebut juga menghilangkan jaminan rehabilitasi untuk pemulihan para penyalahguna narkotika dan malahan memenuhi lapas. Lalu, bagaimana Langkah berikutnya?
ADVERTISEMENT

Outlook Masa Depan: Dekriminalisasi Pengguna Narkotika

Upaya penyelesaian dilema tersebut tidak hanya berakhir pada perbaikan pada kerancuan pasal-pasal, tetapi juga model regulasi narkotika apa yang ideal? Untuk pertanyaan tersebut, Portugal mungkin dapat menjawabnya. Pada 2001, Portugal mengeluarkan reformasi undang-undang signifikan dengan dekriminalisasi penggunaan narkotika tingkat rendah dan mengubah fokus pada penyediaan fasilitas rehabilitasi. Langkah drastis tersebut membuahkan hasil dengan penurunan persentase narapidana penyalahguna narkotika dalam penjara dari 44% menjadi 24% dalam waktu 14 tahun. Bahkan, penghapusan stigma dan kriminalisasi pengguna narkotika meningkatkan jumlah pengguna narkotika dalam fasilitas rehabilitasi. Pesan intinya, hal tersebut dapat mengurangi penuhnya penjara dan menjamin kemanusiaan para manusia dalam penjara.
Pada intinya, penjara di Indonesia sudah penuh. Perihal tersebut tidak hanya menandakan kegagalan realisasi tujuan filosofis sanksi pidana penjara, tetapi juga kerugian bagi setiap lapisan masyarakat. Perihal tersebut diperburuk dengan data isi penjara dipenuhi oleh para pengguna narkotika. Para narapidana penyalahguna narkotika sebagai korban dibebaskan dari penderitaan penggunaan narkotikanya dan dilempar pada kandang maut untuk membusuk. Akar masalahnya terdapat pada regulasi yang menyebabkan penjara tersebut dengan narapidana penyalahguna narkotika. Kerancuan UU 35/2009 dua isu pokok dalam pasal-pasal UU 35/2009 terdapat pada tidak sebandingnya sanksi pidana dan tidak terjaminnya rehabilitasi sebagai akibat kerancuan pasal-pasal. Tidak adanya garis pembeda jelas antara penyalahguna narkotika dan pengedar menyebabkan sanksi pidana yang dijatuhkan pada penyalahguna tidak sebanding dengan sikap tindaknya. Sementara itu, rehabilitasi yang seharusnya menjadi pendekatan utama bagi para penyalahguna sulit diterapkan. Lantas Portugal dapat menyediakan ide resolusi. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menerapkan konsep dekriminalisasi pengguna narkotika dan fokus pada pembangunan sarana rehabilasi. Dengan upaya tersebut, manusia dalam penjara dapat diperlakukan seperti manusia.
ADVERTISEMENT