Kilas Balik, Calon Presiden, Calon Wakil Presiden, Pemilu 2019

100 Hari Jokowi: Ikhtiar Menyehatkan BPJS Kesehatan

31 Januari 2020 14:47 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi dan Ma'ruf Amin di gedung Medical Check Up RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta untuk menjalani tes kesehatan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Ma'ruf Amin di gedung Medical Check Up RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta untuk menjalani tes kesehatan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Johanna (57), warga Ciracas, Kota Serang, Banten, kaget tiba-tiba didatangi seseorang mengaku petugas BPJS Kesehatan pada akhir tahun lalu dan menagih tunggakan BPJS Kesehatan sekitar Rp 1 juta. Johanna yang hanya penjaga sekolah SD, jangan kan membayar iuran BPJS Kesehatan Rp 1 juta, makan siang pun tak selalu ada lauk.
ADVERTISEMENT
Lain Johanna, lain yang dialami seorang ibu di Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Saat mengantar anaknya ke rumah sakit, dia ditolak rumah sakit karena ada tagihan BPJS Kesehatan yang harus dilunasi. Jika anaknya ingin diobati, maka tunggakan berikut dendanya harus dibayar saat itu juga.
Sakit yang merundung keuangan BPJS Kesehatan, masih jadi masalah hingga 100 hari Jokowi. Salah satunya dipicu salah urus yang membuat tunggakan utang BPJS Kesehatan menjadi Rp 14 triliun di 2019. Gara-gara utang itu pula iuran BPJS Kesehatan naik mulai 1 Januari 2020 dan membuat setidaknya 800 ribu peserta memilih turun kelas.
Komisi IX (Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan) DPR, menyoroti masalah BPJS Kesehatan menjadi salah satu masalah yang membuat rapot kerja Presiden Jokowi di 100 hari kerja belum memuaskan.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, menjelaskan ada tiga program utama pemerintah dalam bidang kesehatan, yang harus jadi PR Menteri Kesahatan, Terawan. Yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penurunan angka stunting, dan pemenuhan obat-obatan serta alat kesehatan.
"Walau kelihatan sederhana, ketiga program itu tidaklah mudah untuk dikerjakan. Perlu kerja keras dan kesungguhan dari semua pihak yang terkait," ucap Saleh kepada kumparan, Jumat (31/1).
Soal jaminan kesehatan, Saleh menyebut masih terdapat defisit anggaran yang cukup besar pada akhir tahun 2019 mencapai Rp 32 triliun. Angka ini tentu menyulitkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Apalagi, kata Saleh, ada 19,9 juta orang warga negara Indonesia yang Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Mereka tentu sangat kesulitan dengan adanya kenaikan itu.
Selain persoalan defisit anggaran, kata Saleh, persoalan BPJS kesehatan yang lain adalah pelayanan. Adalah fakta belaka bahwa banyak masyarakat yang masih berkeluh kesah dengan pelayanan yang diberikan.
"Ada yang mengaku merasa dinomorduakan. Ada yang merasa pelayanannya tidak sebaik yang diberikan pada peserta non-BPJS Kesehatan. Ada juga yang mengatakan bahwa sistem rujukan yang diterapkan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan," tutur Wakil Ketua Fraksi PAN itu.
Masalah lain, masyarakat juga masih banyak yang mempersoalkan data kepesertaan BPJS Kesehatan. Terutama data peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran). Pasalnya, banyak di antara mereka yang merasa layak, tetapi kenyataannya tidak masuk dalam data PBI.
ADVERTISEMENT
"Begitu juga sebaliknya, banyak di antara peserta PBI itu yang tidak layak, tetapi dimasukkan. Tidak jarang ini menyebabkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat," terang anggota DPR dari daerah pemilihan Sumatera Utara 2 itu.
Soal kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang dianggap tak populis, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan hal itu sebagi bagian dari upaya penyehatan BPJS Kesehatan.
"Dengan kenaikan (iuran), kita lihat BPJS Kesehatan tidak perlu tambahan dana tahun ini. Selain itu BPJS juga sudah menjanjikan untuk menjaga keuangan," ungkap Sri Mulyani di Gedung Djuanda, Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (7/1).
Jika pengelolaan keuangan lebih sehat, pada akhirnya pelayanan ke masyarakat akan semakin baik.
Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, mengungkapkan hitung-hitungan yang memberi harapan bagi penyehatan BPJS Kesehatan. Salah satunya adanya surplus dari penerimaan iuran serta alokasi anggaran pemerintah, khususnya untuk anggota kelas III atau peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
ADVERTISEMENT
Hal ini diungkapkan Terawan, dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR, di pengujung 2019 lalu. Dana selisih atau surplus itu, jika dilihat alokasinya pada tahun 2019 dengan adanya tambahan Rp 9,2 triliun dari sebelumnya Rp 2,67 triliun. Jadi pemerintah telah menambahkan PBI di APBN 2019 jadi Rp 35, 9 triliun. Sedangkan dari APBD 2019 Rp 14 triliun.
Sedangkan di 2020, dengan berlakunya Perpres 75/2019, maka PBI dalam APBN mencapai Rp 48,7 triliun dan PBI di APBD Rp 18,9 triliun. Dari alokasi itu, klaim rasio kepesertaan JKN ini di segmen PBI di 2019 117 persen, artinya sudah profit dengan tambahan Rp 9,2 triliun.
Sementara pada 2020, jika diasumsikan klaim rasio PBI bisa turun 127,7 persen ke 100 persen, maka turun 27,7 persen. Dengan angka itu, klaim rasio yang terjadi Rp 13,5 triliun.
ADVERTISEMENT
"Ya jelas dong uangnya sudah ada (dari dana PBI). Sementara urusan defisit itu nanti ditutupi dengan efisiensi," ujar Terawan.
Program lain yang mendapat sorotan DPR adalah penurunan stunting. Saleh menilai masih belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Penelitian menyimpulkan masih banyak anak yang divonis stunting. Tidak hanya di Indonesia Timur dan daerah terpencil, tetapi juga di kota besar di wilayah Indonesia Barat.
“Saya melihat bahwa program penangan stunting belum terkoordinasi secara integratif. Mestinya ini dikerjakan secara bersama oleh pemerintah pusat dan daerah. Dengan begitu, ada tanggung jawab semua pihak dalam perang melawan stunting ini," lanjut Saleh.
Begitu juga program pengadaan obat dan alat kesehatan. Pemerintah dinilai masih belum mampu memenuhi kebutuhan obat dan alkes secara memadai. Terbukti, ada banyak RSUD yang tidak bisa menerima pasien dikarenakan peralatannya tidak cukup.
ADVERTISEMENT
“Kadang-kadang peralatannya lengkap, tetapi dokternya tidak ada. Ada juga yang dokternya ada, tetapi peralatannya tidak ada.”
Terkait ketersediaan tenaga medis juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Indonesia secara umum masih kekurangan dokter-dokter spesialis dan sub-spesialis. Sementara, penderita penyakit katastropik semakin banyak dan perlu ditangani oleh dokter spesialis atau sub-spesialis.
“Konsekuensinya, rumah-rumah sakit sering merujuk ke rumah sakit lainnya. Akibatnya, ada pasien di rumah sakit tertentu yang harus mengantre setahun lebih sebelum diambil tindakan. Inikan sangat ironis," kritik anggota DPR asal Sumut itu.
"Dalam konteks ini, pemerintah sudah sewajarnya bekerja keras dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga medis. Terutama kebutuhan tenaga medis di daerah terpencil dan perbatasan. Diperlukan dokter-dokter yang rela mengabdi di daerah terpencil atas dasar prinsip kemanusiaan," saran Saleh Daulay.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten