Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Mau pesan makan, tinggal bayar pakai GoPay. Mau belanja bulanan, tinggal bayar pakai OVO. Untuk bayar beragam tagihan, ada LinkAja. Sedekah dan bayar zakat pun tinggal klik di ponsel. Belum lagi dompet digital DANA—yang terhitung masih baru—sedang promo besar-besaran.
Semua platform uang elektronik itu memberi beragam insentif, diskon menarik, dan cashback puluhan persen. Ditambah keunggulan lain seperti mudah digunakan, hemat waktu, dan nggak ribet, hidup jadi terasa lebih mudah. Dompet di kantong pun tak perlu tebal-berat lagi. Tapi, tunggu dulu, adakah risiko di balik semua kemudahan teknologi itu?
Tinggal tap, scan, confirm. Pembayaran selesai.
Semudah itu, sesederhana itu. Tak perlu menghitung uang, menunggu duit kembalian, dan diribetkan dengan lembaran kertas atau gemerincing logam di saku. Semua bisa beres dalam sekali waktu.
Tak cuma gampang digunakan, ragam jenis uang digital yang ramai bermunculan pun menawarkan berbagai promo menarik. Dari diskon sampai cashback (uang kembali dalam bentuk poin atau nominal rupiah) 50 atau 60 persen. Maka, siapa yang tidak tergoda dengan promo sebesar itu.
“Gue orangnya ngejar promo banget,” ucap Belinda Kirana memulai cerita. “Makan Hokben (Hoka Hoka Bento) pakai DANA diskon 50 persen. Minumnya beli Chatime pake promo GoPay Payday. Pulang atau pergi pakai Gojek atau Grab, tergantung yang lagi promo yang mana.”
Belinda memang memiliki hampir semua aplikasi uang digital. Mulai dari GoPay yang terintegrasi dengan Gojek, OVO yang memiliki aplikasi sendiri mapun terhubung dengan Grab, dan pemain baru bernama DANA.
“Kalau di kantin biasa tempat gue makan pun, cuma beli soto juga ada cashback 30 persen,” ucapnya yang kini hampir tak pernah memegang uang tunai di tangan. “Kalau gak ada cashback, gak tau deh masih pake atau nggak.”
Hal serupa dialami Arya. Ia kini lebih sering memanfaatkan aplikasi uang digital ketimbang meminta bantuan pramukantor untuk membeli makan siang. Tawaran menggiurkan seperti potongan hampir setengah harga tak mungkin ia lewatkan.
“Gue mending beli menu ini Rp 25 ribu daripada titip beli makan ke depan harganya juga segitu. Mumpung ada promo,” ucapnya sambil nyengir.
Bukan cuma untuk membeli makanan dan belanja kebutuhan bulanan di supermarket, uang digital bahkan bisa digunakan di berbagai warung, toko kelontong, binatu, tempat parkir, hingga toilet.
Hampir semua kebutuhan hidup sehari-hari bisa dipenuhi dengan membayar pakai uang digital. Seolah belanja di mana pun dan bayar tagihan apa pun tak perlu lagi menggunakan uang tunai.
Menurut data Bank Indonesia, per Maret 2019 penggunaan uang elektronik atau uang digital meningkat hingga 66,6 persen dibanding tahun sebelumnya. Penyumbang besar pertumbuhan pesat itu berasal dari pihak non-bank yang menguasai 99,8 persen pasar uang digital berbasis server.
“Pengguna uang elektronik non-bank mencapai 113,5 juta, sementara dari bank sebanyak 60,3 juta,” ucap Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta pada 4 April 2019.
Pada 2017, total nilai transaksi uang digital hanya sebesar Rp 12,37 triliun. Jumlah tersebut meningkat hampir empat kali lipat di tahun berikutnya dengan total nilai transaksi Rp 47,19 triliun. Bahan nilai transaksi pada dua bulan pertama tahun 2019 sudah mencapai Rp 11,78 triliun.
Besarnya pasar uang digital ini didominasi oleh setidaknya empat besar pelaku, yakni GoPay yang terintegrasi dengan aplikasi Gojek, OVO yang terhubung dengan Grab tapi juga memiliki aplikasi sendiri, LinkAja yang merupakan transformasi dari T-Cash milik Telkomsel, dan DANA yang pemain baru.
Masing-masing dari mereka memiliki perbedaan tipis dengan dua-tiga fitur unggulan seperti tarik tunai, transfer dana antarbank tanpa biaya, atau terhubung dengan aplikasi lain.
Berdasarkan survei Snapcart—lembaga riset berbasis aplikasi yang meneliti pola belanja konsumen di Asia, uang digital banyak digunakan untuk membayar transportasi online, pemesanan makanan, transaksi retail dan e-commerce, serta pembayaran tagihan.
Hal tersebut seiring strategi pemasaran masing-masing aplikasi uang digital yang hadir di berbagai layanan jasa seperti pembayaran tagihan, belanja online, toko kelontong atau supermarket, warung makan maupun restoran, bahkan binatu.
Lebih dari seratus juta pengguna dan ratusan merchant bernilai transaksi triliunan rupiah didapat platform dompet digital dalam waktu beberapa tahun. Itulah salah satu hasil rayuan diskon dan cashback puluan persen.
Managing Director GoPay, Budi Gandasoebrata, mengatakan ragam insentif termasuk cashback itu memang jadi salah satu strategi untuk menarik pengguna besar-besaran.
“Promo itu salah satu cara yang paling efektif untuk memperkenalkan suatu produk ke masyarakat. Di satu sisi, kita juga ingin meningkatkan penetrasi GoPay, khususnya di sisi user, maupun di sisi rekan usaha,” ucapnya kepada kumparan di kantor Gojek, Jakarta Selatan, Jumat (2/8).
“Manfaat (cashback) nggak cuma dirasakan oleh user, tapi juga rekan usaha kita,” imbuh Budi.
Diskon ataupun cashback merupakan daya tarik yang embuat para calon pengguna memiliki alasan untuk mengunduh dan menggunakan aplikasi tersebut, lalu akhirnya mencoba menggunakan, terbiasa dan nyaman, bahkan ketagihan.
“Seneng aja kalau dapet harga yang lebih murah daripada harga (normal). Jadi gue hunting cashback,” ucap Belinda.
Sementara toko, warung, atau outlet yang menyediakan opsi pembayaran dengan uang digital, berharap omzet penjualan mereka meningkat. Sebab, banyaknya pengguna uang digital bisa membuka peluang banyaknya pelanggan.
Omzet Irna Yuliati (49), pemilik kedai nasi padang Paris Jaya, misalnya meningkat hingga Rp 2,5 juta per hari dari yang sebelumnya hanya Rp 1 juta-Rp 1,5 juta setelah ia membuka pembayaran digital.
“Uni harus bisa ikutin arus, kalau enggak ya (warung) Uni tenggelam,” ujar Irna di kedainya, Kamis (25/7).
Irna mengaku tak urus soal promo cashback, yang penting dagangannya laris. Sebab ia tak menanggung biaya tambahan apapun selain menempel stiker promo cashback itu di jendela kedainya.
Rini, Head of Finance 616 Roastery & Cafe, juga mengaku tak terbebani dengan persaingan promo cashback yang dilakukan—terutama—antara OVO, GoPay, dan DANA, sebab kedainya tak kena potongan apa pun.
Menyoal pembayaran, menurut Rini, sebagian besar pelanggan kafenya memang lebih memilih menggunakan uang digital. Hampir 80 persen pembeli membayar pakai uang digital, dan lebih dari setengahnya menggunakan GoPay.
“Kalau bayar suka pada nanya, ‘Ini yang paling banyak cashback-nya yang mana?,’” kata Rini menirukan ucapan pembeli.
Omong-omong, apakah paltform uang digital itu tak rugi bila terus-menerus memberi cashback? Dan sampai kapan promo cashback akan berlangsung?
Barangkali pertanyaan itu sempat hinggap di kepala ketika kita membayar harga lebih murah dari umumnya karena uang digital.
Pertanyaan tersebut tampak sederhana, namun cukup rumit untuk dijelaskan. Sebab, menurut ekonom INDEF Bhima Yudhistira, model bisnis uang digital berbeda dengan perusahaan konvensional.
Jika pada umumnya keuntungan diperoleh dari selisih harga jual dengan harga beli, maka hal itu tidak berlaku bagi para penyedia layanan uang digital. Bagi mereka, yang terpenting jumlah pengguna bertambah, nilai transaksi berlipat, sehingga nilai valuasi perusahaan meningkat. Dengan begitu investor baru akan datang kembali menyuntikan dana.
“Mereka rela rugi dengan memberikan promo, yang penting pasar menjadi ketergantungan (ke mereka),” ucap Bhima di Jakarta Pusat, Rabu (31/7).
Setelah para pengguna merasa nyaman menggunakan uang digital, barulah kemudian teknologi layanan produk lain ditawarkan. Mulai dari layanan pembayaran cicilan, peminjaman, asuransi, sampai investasi, sehingga segala kebutuhan transaksi dan keuangan bisa dipenuhi hanya dalam satu aplikasi.
Diversifikasi produk itu dimungkinkan berkat bekal data transaksi dan pola konsumsi jutaan pengguna uang digital tersebut, yang kemudian bisa diolah kembali.
Inilah era menuju cashless society alias masyarakat tanpa uang tunai.
“Di situlah nanti mereka bisa mengembangkan produk-produk lain yang profitnya lebih besar. Jadi enggak apa-apa ini (teknologi pembayaran) dibuat rugi, tapi produk lainnya akan profit ke depan,” ucap Bhima.
Oleh karenanya promo-promo tersebut akan tetap diberikan untuk sebanyak mungkin menarik pelanggan.
“Insyaallah nanti sebelum Lebaran Haji (Idul Adha), bisa bayar kurban pakai GoPay. Reksadana juga. Konsepnya (GoPay) untuk bayar barang, jasa, donasi, macam-macamlah,” ucap Budi Gandasoebrata, Managing Director GoPay.
Hal senada disampaikan Direktur OVO Harianto Gunawan. Sejak awal berdiri, OVO berharap bisa berkontribusi mempercepat terwujudnya cashless society.
“Dimulai dari payment, lalu (pemberian) reward, sekarang kami masuk ke financial product. Produknya lending, investment, insurance, dan sebagainya,” kata Harianto.
Siapa yang diuntungkan dari bertaburnya uang digital?
Jawabannya, untuk sementara, tentu saja para pengguna. Oleh karena mereka bisa menikmati promo, sistem yang lebih nyaman, serta transaksi yang mudah dan kilat. Terlebih, jika tak ada satu pun pemain yang bisa memonopoli pasar uang digital, sehingga semua platform bersaing untuk terus memberikan layanan terbaik dan penawaran paling menarik.
“Kalau ada single winner, masyarakat yang dirugikan. Kita berharap mereka tetap bersaing, memberikan yang terbaik. Kalau sudah monopoli, nanti nggak ada promo-promo,” ujar Direktur Riset Center of Reform on Economics, Piter Abdullah, Sabtu (3/8).
Di sisi lain, ragam promo tersebut justru menggiring para pengguna dompet digital menjadi lebih boros dan konsumtif. Sebab pola transaksi tunai dan digital yang berbeda turut mempengaruhi perilaku konsumsi.
Saat membayar dengan tunai, misalnya, kita memegang dan merasakan ketika mengeluarkan uang Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu. Lain halnya ketika kita bertransaksi menggunakan uang digital. Duit lebih cepat keluar tanpa kita rasakan. Ditambah rasa puas menikmati ragam promo.
“Kalau dihitung, karena banyak promo, jajan gue juga jadi banyak. Tapi nggak tahu, seneng aja kalau dapat harga lebih murah daripada harga normal,” kata Belinda terkait pengalamannya menggunakan uang digital.
Kekhawatiran berikutnya, di era serba digital ini, tentu saja persoalan keamanan data privasi. “Indonesia masih jadi sasaran empuk karena perlindungan data kita rendah,” ucap Bhima.
Ia melanjutkan, “Harapannya yang tumbuh adalah startup lokal yang didukung modal-modal ventura di dalam negeri. Sehingga hasil keuntungan uang digital , data center-nya, keamanan data, dan segala macamnya itu berputar hanya di Indonesia, tidak transaksi antarnegara.”
Risiko lain, yang tak kalah penting dan mungkin telah kita rasakan, adalah ketika kita sudah terbiasa menggunakan uang digital, lalu mendadak listrik padam, jaringan telekomunikasi dan internet ikut mati total, sementara tak ada uang tunai di genggaman. Saat itu, dompet digital jadi tak ada gunanya.