Kisruh Qatar: Dari Meja Diplomasi ke Lapangan Hijau

6 Juni 2017 12:15 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Khalifa International Stadium di Doha, Qatar. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Khalifa International Stadium di Doha, Qatar. (Foto: Reuters)
Qatar akhirnya kena batunya juga. Setelah sekian tahun berusaha terlalu keras untuk menjadi pemimpin baru Timur Tengah, negara teluk ini akhirnya dikucilkan oleh tetangga-tetangga mereka yang meski tidak sekaya mereka, tetapi lebih berpengaruh.
ADVERTISEMENT
Aksi mengucilkan Qatar ini, seperti sudah bisa diduga, diinisiasi oleh Arab Saudi. Negara pimpinan Raja Salman ini menuduh Qatar sebagai negara sponsor teroris. Well, setidaknya begitu versi resminya.
Akan tetapi, di region itu, bukan rahasia lagi jika ada tensi menahun antara Arab Saudi dan Qatar. Sebabnya, ya, itu tadi. Qatar berusaha terlalu keras. Mereka selalu berusaha untuk berkawan dengan negara mana pun, entah itu Arab Saudi dan sekutunya maupun Iran yang memang sudah dari dulu dimusuhi negara-negara pro-Saudi.
Tensi yang sudah lama ada itu, ditambah sebuah berita palsu yang muncul akibat diretasnya situs berita resmi milik pemerintah Qatar, akhirnya membuat relasi diplomatik antara Qatar dengan Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Yaman putus. Berita palsu itu sendiri menyebut bahwa Iran adalah kekuatan besar di Timur Tengah dan langkah Arab Saudi dkk. untuk mengucilkan mereka adalah sebuah kesalahan.
ADVERTISEMENT
***
Qatar, pada dasarnya, adalah negara kecil. Dengan luas tak sampai 12.000 km2 dan jumlah penduduk tak sampai 2,7 juta jiwa (sensus 2016), mereka seharusnya memang merupakan anak bawang di Timur Tengah.
Kenyataannya, dulu memang begitu. Setidaknya sampai tahun 1995, nama Qatar nyaris tak pernah terdengar. Bagaimana mau terdengar? Sudah kecil, jumlah penduduknya sedikit, miskin pula.
Namun, itu semua berubah ketika Hamad bin Khalifa Al Thani mengudeta ayahnya sendiri, Khalifa bin Hamad Al Thani. Di bawah Hamad Al Thani, Qatar berbenah. Cadangan gas alam Qatar yang memang sangat besar itu (terbesar ketiga di dunia) dimonetisasi olehnya. Dari situ, Qatar berubah menjadi negara eksportir gas alam cair (LNG) terbesar di dunia dan lewat uang penjualan gas itulah, Qatar kini menjadi negara terkaya di dunia dari segi pendapatan per kapita.
ADVERTISEMENT
Uang sudah ada, giliran pengaruh yang perlu diraih. Dengan uangnya itu, Qatar pun berusaha untuk menjadi Arab Saudi baru. Bahkan, mereka berani untuk mengambil langkah-langkah liberal seperti mendirikan stasiun televisi Al Jazeera, memberi hak pilih bagi perempuan, sampai meresmikan keberadaan Gereja Katolik pada 2008 lalu. Meski pada dasarnya masih menggunakan syariat Islam sebagai hukum, Qatar berusaha tampil sebagai sebuah negara yang progresif dan proaktif.
Doha, Qatar. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Doha, Qatar. (Foto: Wikimedia Commons)
Mereka pun kemudian berusaha untuk merangkul semua pihak yang selama ini bertikai dan bersitegang di Timur Tengah. Pasalnya, pencapaian apa lagi yang lebih hebat dibanding mendamaikan kawasan tersebut?
Di saat yang bersamaan, untuk semakin meningkatkan pengaruhnya, terutama di level internasional, Qatar pun berusaha untuk terus meningkatkan soft power mereka. Salah satu langkah yang ditempuh di sini adalah dengan terlibat (secara berlebihan) di sepak bola.
ADVERTISEMENT
Logikanya sederhana saja. Sepak bola adalah olahraga terpopuler di dunia dan ia sudah tak perlu dipromosikan lagi ke mana-mana. Malah, sepak bola kemudian menjadi sebuah wadah untuk mempromosikan eksistensi Qatar itu sendiri.
Langkah yang mereka tempuh pun banyak sekali. Mulai dari berinvestasi di klub-klub Eropa (Malaga dan Paris Saint-Germain), membuat Barcelona melacurkan bagian dada di kostumnya, menjadi salah satu sponsor Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), meluncurkan kanal beIN Sports yang merupakan anak perusahaan Al Jazeera, sampai tentu saja yang paling ambisius dan fenomenal, menyelenggarakan Piala Dunia.
Sejak 2010 lalu, Qatar sudah ditetapkan bakal menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Keputusan tersebut, sampai sebelum adanya berita pemutusan hubungan diplomatik ini, sudah kerap menuai kontroversi.
ADVERTISEMENT
Sebabnya? Banyak. Pertama, fakta bahwa Qatar adalah sebuah negara yang suhu rata-ratanya amat panas. Di siang hari saat musim panas, suhu udara di sana bisa mencapai 45 derajat Celcius. Untuk bermain sepak bola dengan situasi tersebut, terutama bagi pemain-pemain top yang kebanyakan berbasis di Eropa, tentunya tidak memungkinkan.
Pada 2015 lalu, akhirnya diputuskan oleh FIFA bahwa Piala Dunia 2022 bakal digelar di musim dingin dan hal ini tentunya juga mengganggu ritme kompetisi top Eropa yang berlangsung dari musim panas ke musim semi. Biasanya, Piala Dunia diselenggarkan pada musim panas, saat liga-liga sudah berakhir.
Kedua, masalah kesiapan. Tanpa keberadaan stadion-stadion serta infrastruktur yang memadai, pekerjaan rumah Qatar amatlah berat. Menurut laporan AFP yang disadur The Guardian pada 7 Februari 2017, negara yang beribu kota di Doha itu menghabiskan dana sebesar 500 juta dolar AS per pekan untuk bersolek. Jika ditotal, dana yang bakal mereka habiskan hingga benar-benar siap pada 2022 nanti adalah 200 miliar dolar AS.
ADVERTISEMENT
Celakanya, pada tahun anggaran lalu, Qatar mengalami defisit untuk pertama kalinya sepanjang sejarah mereka. Itulah mengapa, pada 5 Maret 2017 lalu, per laporan CNN, Qatar memutuskan untuk memotong anggaran infrastrukturnya sampai sekitar 40-50%. Sebagai catatan, dari 12 stadion yang direncanakan, baru satu yang rampung, yakni Khalifa International Stadium di Doha. Itu pun "hanya" sebatas renovasi.
Khalifa International Stadium, Qatar. (Foto: Reuters/Ibraheem Al Omari)
zoom-in-whitePerbesar
Khalifa International Stadium, Qatar. (Foto: Reuters/Ibraheem Al Omari)
Terakhir, masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti sudah diketahui bersama, syariat Islam tak melulu bisa berjalan bergandengan dengan konsep Hak Asasi Manusia. Perlakuan Qatar terhadap kaum homoseksual, misalnya, sudah sejak awal menjadi sasaran tembak.
Kemudian, masalah HAM ini makin diperparah dengan buruknya perlakuan yang diterima para buruh migran, khususnya mereka yang terlibat dalam pembangunan stadion dan infrastruktur Piala Dunia 2022. Sebagai negara yang tidak punya kuantitas sumber daya manusia melimpah, Qatar memang sangat mengandalkan buruh migran dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar.
ADVERTISEMENT
Menurut catatan The Guardian pada 19 Maret 2017 lalu, ada sedikitnya 1,8 juta buruh migran -- kebanyakan dari negara-negara Asia Selatan seperti Nepal -- yang terlibat dalam proyek Piala Dunia 2022. Padahal, total jenderal buruh migran di Qatar ada 2,1 juta jiwa. Sejak 2014 lalu, 1.800 orang buruh migran yang terlibat di proyek Piala Dunia itu telah meninggal dunia (per laporan resmi pemerintah Qatar) dan diproyeksikan, sampai 2022 nanti total buruh migran yang meninggal bakal mencapai angka 7.000.
FIFA, sebagai organisasi yang menerima kucuran fulus dari Qatar, tentu memilih untuk tutup mata. Toh di Brasil 2014, di Argentina 1978, mereka juga sudah tutup mata terhadap kesewenang-wenangan pemerintah negara-negara tersebut terhadap kaum miskinnya. Apa bedanya dengan sekarang?
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, masalah putusnya hubungan diplomatik ini benar-benar perkara yang tidak main-main. Masalahnya, tentu saja, adalah akses. Pasalnya, negara-negara yang memutus hubungan diplomatik dengan Qatar itu adalah tetangga-tetangga yang benar-benar berdekatan. Arab Saudi bahkan merupakan satu-satunya negara yang berbatasan darat dengan Qatar.
Pemutusan hubungan diplomatik itu sendiri kemudian diikuti oleh blokade darat, air, dan udara oleh para tetangga tersebut. Untuk mengangkut material yang bakal dibutuhkan untuk meneruskan pembangunan, misalnya, Qatar amat mengandalkan laut. Padahal, Bahrain dan UEA punya jatah juga di perairan itu. Selain itu, pengangkutan orang yang menggunakan maskapai Qatar Airways pun bakal sangat, sangat terganggu.
Hal ini, dalam waktu dekat, tentu bakal amat mengganggu persiapan Qatar dalam akselerasi pembangunannya. Kemudian, jika masalah ini belum juga kelar pada 2022, Qatar bakal celaka dua belas karena sedari awal, mereka telah memproyeksikan bahwa mayoritas penonton yang datang adalah orang-orang Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Presiden FIFA (tengah) bersama Emir Qatar. (Foto: Reuters/Ibraheem Al Omari)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden FIFA (tengah) bersama Emir Qatar. (Foto: Reuters/Ibraheem Al Omari)
Adapun, kemarin (5/6), tak lama setelah Arab Saudi mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik, klub Al Ahli yang berbasis di Jeddah telah memutuskan hubungan kerjasama senilai 15,7 juta dolar AS dengan Qatar Airways. Selain itu, pihak Persatuan Sepak Bola Jerman (DFB) sebagai tim juara dunia pun telah bereaksi.
Dilansir The Guardian, Presiden DFB Reinhard Grindel sudah mengatakan bahwa pihaknya bakal berkomunikasi lebih lanjut dengan pemerintah federal dan Persatuan Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA).
"Komunitas sepak bola di seluruh dunia seharusnya setuju bahwa turnamen sepak bola tidak boleh diselenggarkaan di negara yang mendukung terorisme," tambah Grindel.
Qatar sendiri pada tahun ini sedianya bakal menggelar Piala Teluk pada bulan Desember 2017 s/d Januari 2018 mendatang. Mereka sendiri sebelumnya ditunjuk untuk menggantikan Kuwait yang dihukum FIFA.
ADVERTISEMENT
Satu hal lain yang perlu diingat di sini adalah, sepak bola sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan relasi politik antarnegara. Pada Kualifikasi Piala Dunia 1958, Tim Nasional Indonesia -- menurut perintah Ir. Soekarno -- menolak untuk bertanding melawan Israel. Dari situ, ditambah peperangan yang kemudian melanda di tahun-tahun berikut dengan negara-negara Arab, Israel akhirnya lebih memilih bernaung di bawah ketiak UEFA dan bukan AFC (Asia).
Apabila nanti misalnya situasi ini belum kunjung membaik dan Qatar akhirnya dicopot dari status sebagai tuan rumah, nama Amerika Serikat -- yang sebelumnya sudah disebut bakal mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2026 bersama Kanada dan Meksiko -- sudah santer terdengar sebagai pengganti. Bola panas ini pada akhirnya ada di tangan FIFA dan mereka perlu ingat bahwa meski Qatar adalah sponsor besar, tanggung jawab mereka tak hanya kepada Qatar saja, melainkan kepada seluruh anggotanya.
ADVERTISEMENT