LIPSUS Dari Cerita ke Sinema (cover 2)

Krisis Kru Film di Balik Layar Sinema

29 Maret 2019 18:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Dari Cerita ke Sinema Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Dari Cerita ke Sinema Foto: Basith Subastian/kumparan
Ernest Prakasa gelisah, filmmaker harus kerja ganda tiap membuat film. Satu film belum selesai, ia sudah sibuk merekrut kru baru untuk membuat film lainnya. Alasannya bukan soal kejar tayang tapi soal sedikitnya kru profesional yang mumpuni. Semua filmmaker seperti harus berebut kru.
Misal saja tahun lalu ketika Ernest menggarap film Milly & Mamet (2018). Baru masuk proses editing saja, ia harus kasak-kusuk mencari kru untuk menggarap film Imperfect.
“Karena kalau nggak gitu, kru yang bagus dan pemain yang bagus pasti berebutan sih,” beber Ernest kepada kumparan via telepon, Rabu (27/3).
Tipisnya sumber daya kru film ini tak hanya meliputi satu tahap produksi. Ernest bilang penulis skenario film juga hanya itu-itu saja orangnya.
Jebolan Stand Up Comedy Indonesia ini pun tak mau diam. Ia mengawali dengan langkah kecil, membuka kelas penulisan skenario bagi kawan sesama komika.
“Harapannya menghasilkan bakat-bakat baru di bidang penulisan skenario,” ujar Ernest.
Ernest Prakasa. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Materi kelas itu sederhana saja, yakni pencarian tema, penulisan cerita dasar, hingga pembuatan sinopsis. Materi treatment (kerangka skenario) dan skenario lengkap tak diajarkan di kelas itu. Sepele memang, tetapi hasilnya segera tampak.
Kelas itu pun menghasilkan tiga sinopsis yang dirasanya potensial dijadikan film. Satu di antaranya, sinopsis milik Nonny Boenawan berjudul Ghost Writer, dilirik rumah produksi Starvision. Nonny menceritakan pengalamannya menjadi penulis bayangan untuk beberapa judul serial TV dan FTV.
Nonny bangga, ia tahu penulis skenario pemula tak mudah menembus industri film. Namun, sinopsis itu berhasil mengantarnya dalam penggarapan film bersama Bene Dion yang duduk sebagai sutradara dan Ernest selaku produser.
“Jadi kalau ada yang bilang kurang penulis mungkin karena yang pada akhirnya beneran bisa menulis ya memang nggak sebanyak itu. Tapi di sisi lain, para penulis yang bagus yang belum nemu jalannya juga cukup banyak,” aku Nonny melalui pesan singkat.
Selama ini persaingan antarpenulis juga ketat. Skenario Nonny berkali-kali gagal menembus rumah produksi. Ia tahu mereka tidak asal-asalan memilih penulis skenario.
“Kalau mikir dari sisi produser, (mereka) nggak mau asal kasih kesempatan ke penulis yang belum ada jaminan kualitasnya,” kata Nonny.
Ilustrasi Penulisan Naskah. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Kelas penulisan skenario Ernest ini bukan satu-satunya ruang untuk penulis pemula seperti Nonny. Rumah produksi Visinema Pictures menggelar program pengembangan bakat penulis skenario film bernama Visinema Campus. Ada juga kelas Wahana Kreator yang tiap minggunya membuka kelas setiap hari Sabtu dan Minggu.
Namun keberadaan kelas ini masih dirasa kurang. Penulis skenario, Salman Aristo, mengungkap pembukaan kelas itu baru inisiatif personal saja. Seharusnya pemerintah ikut serta mendorong digelarnya pendidikan yang lebih masif.
“Gue butuh massa dari pemerintah untuk bikin workshop nasional,” ungkap Salman di kantor Wahana Kreator, Jakarta Selatan, Selasa (26/3).
Penulis skenario terbaik versi Piala Citra FFI dalam lima tahun terakhir Foto: Basith Subastian/kumparan
Menurutnya hampir semua lini produksi film krisis sumber daya kru. “As a producer, yang gue alami betul sejak dari tahun kemarin adalah betapa susahnya mencari kru. Bukan karena tidak ada, (tapi) karena semua orang bekerja,” ungkap Salman.
Semua sektor industri perfilman sibuk bekerja sebagai imbas positif dari ekosistem perfilman Indonesia yang sedang membaik. Jumlah penonton Indonesia melonjak karena berhasil mencapai angka 34,4 juta penonton sepanjang tahun 2008.
Sayangnya euforia itu tidak bertahan lama. Kurun waktu 2009-2011, jumlah penonton yang pergi ke bioskop lesu. Tahun 2009 angka itu turun menjadi 28,6 juta penonton. Bahkan jumlah penonton Indonesia turun drastis hingga hanya menyentuh angka 16,8 juta sepanjang 2010. Setahun kemudian menurun sedikit menjadi 16,2 juta penonton.
“2010-2011 is one of the worst years buat industri film Indonesia. Gue bikin film di tahun 2011 dan bareng dengan produser-produser yang lain, nyaris nggak ada yang BEP (break even point),” kata Salman.
Ilustrasi Shooting Film. Foto: Shutterstock
Hingga tahun 2015, jumlah tersebut masih bertengger di angka belasan juta penonton meskipun ada peningkatan sedikit. Barulah setahun kemudian angka tersebut naik drastis. Tahun 2016 jumlah penonton Indonesia mencapai angka 30,1 juta orang. Kemudian berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia sepanjang 2017, penonton Indonesia tercatat mencapai 42,7 juta orang.
Sebanyak 50 juta penonton pergi ke bioskop sepanjang 2018. Angka ini kemungkinan masih akan bertambah di tahun ini bila kualitas produksi film bisa dipertahankan atau makin baik lagi.
Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang memegang rekor tertinggi untuk jumlah penonton film Indonesia terbanyak sepanjang masa, menyumbang 6,8 juta penonton pada tahun 2016 atau seperlima jumlah total penonton di tahun tersebut. Sementara, film Dilan 1990 sendiri saja menyumbang 6,3 juta penonton untuk 2018, atau 12 persen dari keseluruhan penonton.
Ilustrasi menonton bioskop. Foto: Shutterstock
Fenomena ini membuktikan ada simbiosis antara penonton dengan industri. Penonton tidak ragu pergi ke bioskop untuk menonton film yang bagus, dan industri semakin termotivasi untuk memproduksi film yang baik.
Tapi tingginya permintaan penonton akan film yang baik tidak seiring dengan ketersediaan kru para pembuat film. Satu produksi film dengan yang lainnya seperti “berebut” kru terbaik agar memperoleh hasil film terbaik.
Seharusnya pemerintah mendorong ketersediaan kru film ini dengan membangun sekolah film. Data situs Forlap Dikti, Indonesia hanya memiliki 18 perguruan tinggi yang memiliki program studi film dan berstatus aktif. Perguruan tinggi itu terdiri dari 10 institusi untuk jenjang pendidikan S1, serta empat institusi untuk masing-masing jenjang pendidikan D3 dan D4.
Kaprodi Film dan Animasi Universitas Multimedia Nusantara, Kus Sudarsono, mengatakan mata kuliah film di kampusnya masih bersifat generalis. Berbeda halnya dengan Akademi Film Yogyakarta yang merupakan satu-satunya institusi pendidikan yang bergerak khusus di bidang film.
“Jadi, mahasiswa kami tahu semuanya, pernah melakukan semuanya,” ungkap Kus Sudarsono di kampus UMN, Rabu (27/3).
Kepala Program Studi Film dan Animasi UMN, Kus Sudarsono, saat ditemui di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Rabu (27/3). Foto: Prabarini Kartika/kumparan
Kus mengakui kebutuhan untuk tenaga pengajar dari kalangan praktisi. Namun hal itu sulit terealisasi karena bentrok dengan Permendikbud Nomor 84 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tetap Non PNS di PTN dan Dosen Tetap di PTS.
Pasal 3 ayat 3a peraturan ini menyebutkan syarat menjadi dosen tetap non PNS dan dosen tetap PTS adalah kualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau setara dalam bidang ilmu dan teknologi yang sesuai dengan bidang penugasannya.
Maka tidak heran apabila para pelaku industri hanya menyandang status dosen honorer di perguruan tinggi. Contohnya Sutradara Film Istirahatlah Kata-kata (2017), Yosep Anggi Noen, dan sutradara Lucky Kuswandi, mereka menjadi dosen honorer UMN. Lalu ada aktor Reza Rahadian di program Vokasi Universitas Indonesia (UI).
Jalan keluar dari perkara itu adalah terbitnya Permenristekdikti Nomor 26 Tahun 2016 tentang Rekognisi Pembelajaran Lampau. “Jadi mereka yang belum S2 itu bisa diusulkan ke Dikti untuk rekognisi. Seorang profesional disetarakan menjadi S2,” kata Kus.
Suasana perkuliahan kelas film di Universitas Multimedia Nusantara. Foto: dok. UMN
Perlu adanya sinergi yang kuat antara pihak perguruan tinggi dengan pelaku industri, pun dengan mahasiswa yang merupakan calon filmmaker. Para akademisi bertanggung jawab menghasilkan regenerasi pembuat film, para praktisi juga jangan segan berbagi ilmunya.
“Tapi menurutku tidak kemudian bebannya sebesar itu. Nggak cuma sekadar para pelaku harus mendidik. Tapi infrastruktur yang juga harus disiapkan,” ucap Yosep Anggi Noen.
Anggi, nama sapaan Yosep Anggi Noen, juga mengingatkan sekolah film tidak melulu menghasilkan pekerja kru. Ia lebih menekankan sekolah ini memberikan sumbangsih ilmu dan pengalaman kepada calon filmmaker.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten