Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sepenggal Cerita Tentang Awak Media yang Menggotong Keranda Yana Zein
3 Juni 2017 17:51 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Kabar duka menyelimuti dunia hiburan nasional pada hari Kamis (1/6). Pesinetron Yana Zein (50) meninggal dunia setelah berjuang melawan kanker payudara dan getah bening yang menggerogoti tubuhnya sejak tahun 2015.
ADVERTISEMENT
Kabar tersebut juga membuatku tersentak. Oh ya, perkenalkan aku Erin, aku adalah jurnalis yang bekerja di kantor kumparan (kumparan.com). Sehari-hari aku bergelut dalam bidang entertainment. Namun kebetulan pada hari Yana wafat, aku mendapatkan hari libur tanggal merah.
Padahal, pada bulan Desember tahun lalu, aku dapat dikatakan sering bolak-balik liputan di Rumah Sakit Siloam, Jakarta Selatan, tempat di mana Yana dirawat saat itu.
Kamis (1/6) malam, aku mendapatkan tugas dari atasan untuk menjaga dan meliput prosesi pemakaman Yana di TPU Kampung Kandang, Jakarta Selatan, pada pukul 12.00 WIB.
Oke, kalau begitu. Aku sudah siap. Ini akan menjadi liputan pemakaman yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Keesokan paginya, Jumat (2/6), aku bangun dengan perasaan seperti biasa. Tapi ada hal yang tidak biasa ketika aku membaca chat di grup WhatsApp. Orangtua Yana bertengkar memperebutkan cara Yana akan dikuburkan, apakah dengan cara Islam atau Kristen.
ADVERTISEMENT
Tentu, ini menjadi sebuah pemberitaan besar di pagi hari.
Setelah itu instingku berkata bahwa lebih baik aku mampir ke Rumah Sakit Fatmawati saja yang menjadi rumah duka bagi jenazah Yana.
Aku pikir, lebih baik aku berangkat dengan teman-teman wartawan di sana daripada mencari lokasi pemakaman yang belum pernah aku datangi. Dengan begitu aku tidak akan tertinggal rombongan ambulans dan keluarga, apalagi berita.
Maka berangkatlah aku ke RS Fatmawati dan langsung memantau perkembangan rumah duka sekaligus bertanya ke sana-sini mengenai kabar pagi hari itu.
Setibanya di sana, ternyata suasana masih terasa tegang antara kedua pihak orangtua. Para kerabat dan teman masih saja memperdebatkan masalah yang sama --aku sampai bingung harus mendengarkan yang mana dan mana yang benar.
ADVERTISEMENT
[Baca Juga: Yana Zein dan Sepotong Kisah di Hari Pemakamannya ]
Hingga tiba saatnya ayah Yana, Nurzaman Zein, selesai mengumandangkan dzikir di sebelah peti anak perempuannya itu dan kekacauan terjadi (lagi).
Sang ibunda tercinta, Swetlana Zein, meluapkan emosinya kepada mantan suaminya itu terkait permintaan Nurzaman yang tidak masuk akal dan sangat mendadak. Suara Swetlana sangat lantang dan tinggi hingga mengundang perhatian dari semua yang hadir di rumah duka.
"Waktu sakit keras, Yana bilang 'tolong kalau ada apa-apa, saya mau dikuburkan secara Kristen'. Agama semua sama, saya kira Yana berhak memilih. Yana juga ada tanda tangan sendiri kalau dia jadi Kristen," ungkap Swetlana.
"Kamu enggak pernah urus anak saya. Kamu tinggalkan anak saya. Kamu istrinya sepuluh. Kamu enggak pernah urus," jeritnya kembali.
ADVERTISEMENT
[Baca Juga: Tidak Ada Tahlilan Usai Pemakaman Yana Zein ]
Semua orang menyaksikan, termasuk para wartawan yang mengabadikan momen tersebut. Percekcokan pun berlangsung cukup lama (bagi yang menyaksikan) apalagi sang ibunda sampai berteriak histeris tidak terima dengan permintaan egois Nurzaman.
Belum lagi jenazah putrinya menyaksikan langsung dari samping perdebatan kedua orangtuanya. Sungguh miris melihatnya.
Akhirnya para rekan wartawan mundur dan memberikan napas bagi pihak keluarga untuk berunding dan menentukan prosesi pemakaman Yana. Sebagian dari kami memilih duduk, sebagian yang lain memilih untuk memantau dari pintu. Hingga sesuatu yang tak biasa terjadi...
Ada satu rekan media online tiba-tiba berbicara, "Tadi Yana Zein nangis..."
DEG!
Aku termasuk salah satu orang yang kepo dengan bukti yang dia tunjukkan. Benar... Yana mengeluarkan air mata dari mata sebelah kiri... Campur aduk rasanya melihat hal tersebut. Aku kasihan, kaget, sekaligus seram melihat hal tersebut.
ADVERTISEMENT
"Iya, dia ngeluarin air mata pas ayahnya dzikir," kata si anak media online berkerudung sambil menunjukkan videonya.
Akhirnya keluarga Yana telah memutuskan untuk mengkainkafankan dan memandikan Yana. Aku bertanya kepada teman wartawanku yang kebetulan beragama non-Islam.
"Emangnya kalau udah diformalin nggak bisa disentuh lagi (jenazahnya)?" tanyaku.
"Iya, itu kalau dipegang (jenazahnya) bisa rusak, bisa bonyok. Kayak orang abis ditinju gitu, biru-biru," katanya menjelaskan.
Ya, itu memang salah satu alasan mengapa ibu Yana tetap bersikukuh tak ingin Yana ganti cara pemakaman. Ia tak ingin tubuh Yana rusak.
"Sekarang kalau mau diubah gimana? Anak saya sudah dikasih formalin, sudah didoakan secara Kristen. Ini nanti hancur anak saya, Kristen enggak diterima, muslim enggak diterima. Ke mana anak saya pergi nanti?" kata Swetlana dengan nada tercekat.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Yana dimandikan, termasuk Ayu Azhari yang hari itu setia menemani hingga akhir, dan akhirnya rombongan jalan ke Masjid Baiturrahman yang letaknya dekat rumah Yana.
Yang seru dari proses menyalatkan Yana adalah rekan-rekan wartawan pria turut membopong jenazah Yana ke dalam masjid dengan menaiki 20-an anak tangga.
Di situ aku langsung berpikir, di antara riweuh-nya pekerjaan hari itu, mereka masih sempat memberikan sedikit tenaga untuk almarhumah dan menunjukkan rasa kemanusiaan.
"Ayo rekan-rekan media yang cowok bantu!" teriak salah satu wartawan mengundang wartawan lain untuk ikut membantu.
Setelah adanya miskomunikasi antara pihak keluarga, ternyata lokasi masjid untuk disolatkan salah! Jadilah kami ikut berpindah lagi ke masjid yang terletak di Jalan Persatuan.
ADVERTISEMENT
Padahal kalau dipikir-pikir, kenapa tidak keluarganya saja yang pindah? Toh tadi Yana dan makmum yang lain sempat salat Asar dulu baru disalatkan. Masih ada waktu bagi keluarga untuk berpindah tempat ke Masjid Baiturrahman.
Kasihan Yana harus digotong-gotong terus. "Yang penting 'kan niat dari salat jenazah tersebut, bukan siapa yang menyalatkan," batinku.
Ya sudah, akhirnya rombongan tiba di TPU Gandul. Lagi-lagi, rekan-rekan wartawan pria memandu keranda ke lokasi pemakaman.
Yang jelas, lokasinya sangat jauh dari pintu masuk, antara satu kuburan dengan yang lain sangat rapat sehingga kami harus berhati-hati melangkah. Banyak pohon yang menandai liang lahat entah ada isinya atau tidak, dan medannya naik-turun, seperti sedang naik gunung.
ADVERTISEMENT
Yang mengangkat keranda pun harus berhati-hati ekstra keras untuk sampai di lokasi, tak luput peluh keringat bercucuran dari wajah karena beratnya keranda. Belum lagi energi yang terkuras karena mereka juga sedang puasa.
Terima kasih ya, Bang Ichsan, Ray, Mas Reza, Mas Anto, Arie, Bang Deki, Bang Supri, Hanif, dan lain yang mungkin lupa kusebut, sudah turut membantu membawa keranda Yana hingga sampai di lokasi pemakaman. Big respect :)
Ini menjadi salah satu proses pemakaman yang menurutku riweuh. Papan nisan nama Yana belum tersedia, papan untuk menutup jenazah di liang lahat pun masih digergaji, bola-bola tanah untuk menahan tubuh jenazah juga baru dibuat saat itu, dan yang paling meresahkan adalah tinggi serta kedalaman liang lahat yang menurutku sangat pas ukurannya.
ADVERTISEMENT
Pihak keluarga sampai harus mengecek ulang ketinggian Yana dengan ukuran liang lahat, dan alhamdulillah cukup.
Yana akhirnya diturunkan ke liang lahat dibantu oleh keluarganya. Ayahnya, yang punya asam urat terpaksa tak bisa membantu walaupun sudah dipaksa oleh Ayu Azhari.
Sang ibu, lebih memilih untuk duduk di belakang karena juga sudah tidak kuat fisiknya. Anak-anaknya pun terlihat tegar melihat ibunya dikubur dan melihatnya untuk terakhir kalinya.
"Kalau aku sih sudah pasti nangis kejer kalau melihat orangtua atau saudaraku dikubur. Aku cengeng soalnya he he he," pikirku.
Jujur saja melihat keribetan di pemakaman menurutku sangat tidak sopan, apalagi di depan jenazah. Aku dan beberapa wartawan lainnya turut merasa kasihan dengan Yana yang prosesi pemakamannya ngaret sekitar 4-5 jam dari rencana awal.
ADVERTISEMENT
Bahkan sampai matahari sudah turun, langit menunjukkan senja jingga hingga mulai gelap keabu-abuan. Kami sangat ingin cepat-cepat keluar dari pemakaman usai menguburkan Yana karena jam sudah menunjukkan pukul 17.30 lebih, menunjukkan beberapa menit lagi jelang buka puasa.
Kami langsung lari terbirit-birit dengan motor, mencari toko terdekat untuk membeli perbekalan buka puasa. Alhamdulillah, akhirnya kami tenggak teh dingin ataupun panas, gorengan, cemilan lain, dan makan malam nasi goreng ayam atau sosis, pedas/sedang/tidak pedas sesuai pesanan masing-masing.
Selamat jalan, Yana Zein. Aku sebagai salah satu wartawan yang kerap meliputmu, turut berduka cita atas kepergianmu.
Anda adalah orang yang sangat tegar dan kuat, terlihat dari cara anda menjawab pertanyaan-pertanyaanku waktu itu. Aku juga sangat salut kepada kedua anakmu, Aurelia dan Alika, asistenmu, Nita, dan Tante Swetlana yang tanpa lelah merawatmu.
ADVERTISEMENT
Semoga kau tenang di alam peristirahatanmu sekarang. Sekali lagi, selamat jalan, Yana!