Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Cerita cinta tak hanya mendebarkan di kehidupan nyata. Kisah cinta yang dituangkan ke dalam tulisan, pun yang kerap berakhir tragedi, mampu melarutkan perasan mereka yang membaca.
ADVERTISEMENT
Sejumlah cerita cinta yang dituliskan dengan apik terbukti mampu meninggalkan kesan kuat dan menjangkau mata orang-orang lintas generasi sehingga kisahnya tak lekang masa.
kumparan mengumpulkan sejumlah kisah cinta paling berkesan yang termaktub dalam novel-novel legendaris Indonesia --novel-novel lawas yang masih terus dibaca hingga kini.
Seperti apa kisah cinta dalam novel-novel pilihan kumparan? Berikut ulasannya.
1. Saidjah dan Adinda dalam "Max Havelaar" karya Multatuli
Kisah cinta antara Saidjah dan Adinda ini berasal dari Banten, pernah difilmkan tahun 1976 dan dipentaskan di teater-teater kecil. Kisahnya juga jadi terkenal lewat novel Multatuli alias Edward Douwess Dekker yang berjudul Max Havelaar.
Saidjah dan Adinda berasal dari keluarga petani. Pada 1830, Banten dikuasai oleh kolonial Belanda yang memberlakukan sistem tanam paksa. Belanda menjajah rakyat dan menetapkan sistem pajak tinggi untuk para petani.
ADVERTISEMENT
Waktu terus bergulir hingga akhirnya Saidjah dewasa dan memiliki kekasih bernama Adinda.Benih-benih asmara terus bergejolak di antara mereka.
Suatu ketika, Saidjah harus mencari pekerjaan demi masa depannya kelak bersama Adinda. Saidjah pun berjanji kepada Adinda, "Jika aku kembali lagi, dari jauh aku akan meneriakimu."
Hari demi hari berganti hingga akhirnya Saidjah berhasil mengumpulkan pundi-pundi uang. Ia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, tetapi tidak diperbolehkan oleh majikannya. Dengan rindu membuncah, Saidjah nekat melarikan diri demi menemui sang pujaan hati.
Tak disangka, setibanya Saidjah di kampung halaman, Adinda sekeluarga ternyata tengah ikut perang melawan penjajah. Adinda kalah --dan tewas.
Saidjah tak terima dengan kematian Adinda, dan menerjang ke arah puluhan tajam bayonet. Ia menyusul tewas.
ADVERTISEMENT
Aku tak tahu di mana aku akan mati
Aku melihat samudera luas di pantai selatan ketika datang
Ke sana dengan ayahku, untuk membuat garam;
Bila ku mati di tengah lautan, dan tubuhku dilempar ke air dalam,
Ikan hiu berebutan datang;
Berenang mengelilingi mayatku, dan bertanya: “siapa antara kita
akan melulur tubuh yang turun nun di dalam air?”-
Aku tak akan mendengarnya.
Aku tak tahu di mana aku akan mati
Kulihat terbakar rumah Pak Ansu, dibakarnya sendiri karena
ia mata gelap;
Bila ku mati dalam rumah sedang terbakar, kepingan-kepingan
kayu berpijar jatuh menimpa mayatku;
Dan di luar rumah orang-orang berteriak melemparkan air pemadam api; –
Aku takkan mendengarnya.
Aku tak tahu di mana aku kan mati
Kulihat Si Unah kecil jatuh dari pohon kelapa, waktu memetik
kelapa untuk ibunya;
Bila aku jatuh dari pohon kelapa, mayatku terkapar di kakinya,
di dalam semak, seperti Si Unah;
Maka ibuku tidak kan menangis, sebab ia sudah tiada. Tapi
orang lain akan berseru: “Lihat Saijah di sana!”
Aku takkan mendengarnya
ADVERTISEMENT
Aku tak tahu di mana aku kan mati
Kulihat mayat Pak Lisu, yang mati karena tuanya, sebab rambutnya
sudah putih;
Bila aku mati karena tua, berambut putih, perempuan meratap
sekeliling mayatku;
Dan mereka akan menangis keras-keras, seperti perempuan-perempuan menangisi mayat Pak Lisu; dan juga cucu-cucunya akan menangis, keras sekali;
Aku takkan mendengarnya.
Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Banyak orang mati kulihat di Badur. Mereka dikafani, dan ditanam di dalam tanah;
Bila aku mati di Badur, dan aku ditanam di luar desa, arah ke timur di kaki bukit dengan rumputnya yang tinggi;
Maka Adinda akan lewat di sana, tepi sarungnya perlahan mengingsut mendesir rumput, …..
Aku akan mendengarnya…
ADVERTISEMENT
2. Larasati dan Satadewa dalam "Burung-Burung Manyar" karya YB Mangunwijaya
Burung-Burung Manyar adalah karangan Y.B. Mangunwijaya yang pertama kali terbit pada 1981. Setting waktu yang digunakan novel ini adalah masa penjajahan Belanda, Jepang, perang kemerdekaan Indonesia, hingga Orde Baru.
Berkat novel ini, Romo Mangun --panggilan akrab Y.B, Mangunwijaya-- pernah mendapatkan penghargaan South Asia Write Award pada 1983.
Dua tokoh utama dalam novel ini adalah Atik (Larasati) dan Teto (Setadewa). Atik adalah perempuan yang berwatak tegas dan berani dalam membela Indonesia dari penjajahan Belanda. Adapun Teto ialah sosok yang berada di pihak Belanda untuk melawan Indonesia.
Teto lahir dari keluarga militer Belanda, sedangkan Atik masih termasuk keturunan keraton. Begitu banyak perbedaan antara keduanya.
ADVERTISEMENT
Maka meski tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya, mereka harus berpisah karena perbedaan arah perjuangan.
Pada akhirnya Atik harus menikah dengan lelaki lain yang merupakan teman Teto. Atik dan sang suami meninggal dunia dalam perjalanan ke Mekah.
Usai Atik wafat, Teto mengasuh ketiga anak Atik. Ia tak kunjung menikah sampai akhir hayat.
Tetapi wanita memang rahasia besar. Lelaki hanya bungkusan rahasia itu, bahkan biasanya bungkusan yang kaku dan lekas robek.
3. Srintil dan Rasus dalam "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari
Novel ini terbit pada 1982, menceritakan kisah cinta antara Srintil, seorang penari ronggeng, dan Rasus, teman kecilnya yang berakhir sebagai tentara.
Dukuh Paruk yang menjadi bagian dari judul, merupakan latar tempat yang diangkat dalam novel ini, yakni sebuah desa yang terpencil, miskin, dan akrab dengan kebodohan.
ADVERTISEMENT
Ronggeng, gadis penari yang menjadi inang roh leluhur, menjadi perlambang kehidupan di dukuh ini.
Srintil tumbuh menjadi ronggeng yang sangat terkenal. Karena parasnya yang cantik dan menawan, ia kerap tampil hingga ke kota.
Tapi ketenaran sebagai ronggeng tak mudah. Perannya mensyaratkan kepatuhan terhadap mereka yang mampu mengeluarkan uang demi tubuhnya.
Sampai suatu ketika, ia lelah dan sadar akan pekerjaan yang ia lakukan. Hal itu membuat Srintil mengatakan kepada Rasus bahwa ia ingin menjadi pendamping hidupnya dan meninggalkan profesi ronggeng.
Namun, Rasus yang saat itu sudah menjadi prajurit negara menolak Srintil dan memilih meninggalkan desa itu dengan kenangannya.
Krisis tak berakhir di situ, karena dalam lanskap politik 60-an awal hingga pertengahan, dukuh itu tersangkut polemik politik tingkat tinggi dan arus kencang kanan-kiri, meski yang tak satupun penduduknya mampu memahami akar masalah yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul menjadi bagian yang sah.
4. Annelies dan Minke dalam "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer
Novel karya Pramoedya Ananta Toer ini pertama kali terbit pada 1980. Bumi Manusia, buku pertama dari tetralogi Pulau Buru karya Pram, mengisahkan perjalanan hidup tokoh pribumi Minke yang bersekolah di HBS --sekolah orang-orang keturunan Eropa.
Minke kemudian jatuh cinta kepada seorang gadis keturunan Jawa-Belanda bernama Annelies, yang merupakan adik kandung dari kenalan kawannya di HBS.
Meski banyak yang tidak merestui hubungan keduanya, Minke terus berjuang untuk mendapatkan Annelies.
Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membututinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.
ADVERTISEMENT
5. Hayati dan Zainuddin dalam "Tenggelamnya Kapal van der Wijck" karya Hamka
Novel karya Buya Hamka ini terbit pada 1939. Karena kisah yang terkandung di dalamnya, novel ini sempat dilarang karena mengkritik tradisi kawin paksa yang terjadi saat itu.
Novel ini pernah diangkat ke layar lebar pada 2013 dengan judul sama, diperankan oleh Pevita Pearce sebagai Hayati dan Herjunot Ali sebagai Zainuddin.
Kisah cinta Hayati dan Zainuddin dalam novel ini berbenturan dengan hukum adat yang berlaku pada zaman itu, yakni adat Minangkabau (Padang) dan Bugis (Makassar). Adat istiadat itu masih terasa kental hingga saat ini.
Cinta Zainuddin kepada Hayati membuatnya merasa terdiskriminasi karena terkena hukuman adat. Zainuddin dikucilkan karena mencintai anak keturunan bangsawan Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Hal yang unik dari kisah cinta mereka adalah surat-menyurat yang dilakukan keduanya. Terpisah jarak dan larangan keluarga, Zainuddin dan Hayati saling berkirim kabar dan menyelipkan rindu melalui surat.
Sampai suatu ketika, Hayati harus menikah dengan Azis, laki-laki keturunan asli Minangkabau.
Setelah menikah, Azis melihat Hayati selalu sedih. Azis pun meninggalkan Hayati dengan sepucuk surat yang menyatakan telah mengikhlaskan Hayati untuk Zainuddin. Mirisnya, Azis lantas mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.
Sepeninggal sang suami, Hayati pulang ke kampung halaman menggunakan kapal Van der Wijck yang kemudian tenggelam di pesisir utara pulau Jawa.
Mendengar kabar tersebut, Zainuddin pergi mencari Hayati. Nyawa perempuan Minangkabau itu tak dapat terselamatkan dan akhirnya meninggal dunia.
Berselang beberapa waktu, kondisi fisik Zainuddin melemah dan akhirnya menyusul meninggal. Jenazah Zainuddin dikebumikan berdampingan dengan makam Hayati.
ADVERTISEMENT
Jangan pernah bersedih. Jangan putus asa. Cinta itu bukan memakan hati, bukan membawa tangis, bukan membuat putus asa. Tetapi cinta itu menguatkan hati, menghidupkan pengharapan.
Ah, manis yang tragis, tragis yang manis.
Anda mencari cinta? Mari simak kisah-kisah di kolam cinta kami
Live Update