Berlin: Kota yang Pernah Terbelenggu Pikiran Manusia

2 Februari 2017 11:40 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tembok Berlin tahun 1975 (Foto: Wikimedia Commons)
Sebuah benteng biasanya dibangun ketika kedaulatan mulai terancam dicaplok. Namun di dunia yang serba-muskil, ada bangsa yang rela membangun tembok bukan lewat ketakutan dari ujung senjata.
ADVERTISEMENT
Semuanya berawal saat Perang Dunia II berakhir karena kehancuran Nazi Jerman. Keberhasilan pasukan Soviet menduduki Berlin lewat serangan dari arah timur, sementara pada saat yang sama pasukan sekutu Amerika Serikat masuk dari arah barat, secara tak langsung membuat Berlin diduduki oleh dua pihak.
Setelah kalah, bukan penduduk kota Berlin yang menentukan mereka terbagi menjadi dua. Yang menentukan adalah perjanjian Yalta dan Potsdam yang ditandatangani pada Juli 1945 oleh The Big Three --pemimpin Blok Barat dan Blok Timur, yaitu Presiden AS, Pemimpin Uni Soviet, dan Perdana Menteri Inggris.
Dan rakyat Berlin hanya menerima keputusan para pemenang perang sambil meratapi kondisi mereka yang hancur lebur akibat perang. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah kalah perang, masih jadi objek dalam tarik ulur kepentingan dua kekuatan besar dunia dalam Perang Dingin.
ADVERTISEMENT
Kejatuhan Berlin di tangan Pasukan Soviet (Foto: Wikimedia Commons)
Perjanjian Potsdam membagi dua wilayah kota Berlin menjadi sisi barat dan sisi timur. Sisi timur merupakan negara-negara yang tergabung dalam Pakta Warsawa dan mengekor ke Uni Soviet, sedangkan sisi barat adaah negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pimpinan AS.
Dari batas itulah, ketegangan politik global selama Perang Dingin bermula.
Ketika itu pemerintah Jerman Timur membangun beberapa pos di 12 titik jaga. Di titik-titik itu, pasukan dua blok besar dunia tersebut sering terlibat ketegangan.
Penjagaan tank Soviet di Checkpoint Charlie (Foto: Wikimedia Commons)
Yang paling terkenal adalah peristiwa 22 Oktober 1961. Saat itu tank Soviet dan AS saling berhadapan selama 16 jam. Peristiwa semacam itu sesungguhnya membuat Perang Dunia III bisa meletus kapan saja.
Sekat di Berlin benar-benar menjelma bangunan fisik pada 1961. Gagasan pembangunan tembok muncul dari pemimpin Republik Demokratik Jerman atau Jerman Timur, Walter Ulbritch, atas dukungan pemimpin Uni Soviet, Nikita Kruschev.
ADVERTISEMENT
Alasannya, untuk menangkal pengaruh kaum fasis dan kapitalis dari Blok Barat. Oleh karenanya tembok itu diberi nama Antifascistischer Schutzwall atau Tembok Antifasis.
Pembangunan tahap awal tembok Berlin (Foto: Wikimedia Commons)
Tembok Berlin adalah simbol penegas Perang Dingin. Tembok itu bermakna Iron Curtain atau Tirai Besi. Ujung utara tembok adalah pangkal dari batas utara di Polandia, sementara ujung selatan tembok ialah pangkal dari garis batas yang ada di Hungaria.
Ketika tensi memanas, ratapan pahit warga sisi timur yang hidup di bawah pemerintahan totaliter Stalinis jadi tidak tertahankan.
Berlin telah lama menjadi jalur eksodus manusia yang dengan sisa harapannya menolak tinggal di daerah timur. Pun dengan adanya tembok melintang yang merintangi perpindahan manusia, niat menyeberang ke barat tak jadi surut.
ADVERTISEMENT
Tembok Berlin sengaja dibangun untuk mengurangi kemungkinan orang lewat. Dengan tinggi 12 kaki dan lebar 4 kaki yang puncaknya adalah pipa besar, membuat dinding itu hampir tak mungkin dilewati manusia.
Terlebih, di sepanjang sisi timur tembok terdapat fitur tambahan bernama Death Strip atau Garis Kematian. Itu adalah hamparan pasir dan kawat berduri, dijaga ketat pasukan Soviet bersenjatakan senapan otomatis dan anjing pelacak. Anggota pasukan itu menerima perintah: tembak orang yang melintas.
Tercatat sejak 1961, banyak orang nekat menyeberang. Mereka rela melompati tembok tinggi dan menyusup di tengah penjagaan ketat kedua kubu.
Sebanyak 171 orang tewas ketika melompat, namun 5.000 lainnya berhasil melintas --dengan nyawa masih dalam genggaman. Luar biasa.
Kerangkeng tembok berakhir 9 November 1989. Hari itu, Kepala Partai Komunis Jerman mengumumkan bahwa warga Jerman Timur bisa bebas melewati perbatasan sesuka mereka.
ADVERTISEMENT
Pengumuman izin melintas sesukanya di Tembok Berlin disambut keriuhan warga Berlin.
"Tor Auf!” --yang artinya “Buka Gerbangnya!”-- bergema di sepanjang dinding Tembok Berlin.
Dua kata itu terngiang di telinga warga Berlin timur yang selama 28 tahun dikerangkeng tembok.
Malamnya, ratusan orang memanjat tembok. Sementara yang lain membawa palu dan mulai membongkar tembok.
Tembok Berlin akhirnya runtuh.
Keruntuhan tembok Berlin di 1989 (Foto: Wikimedia Commons)
Akhir pekan itu setelah Tembok Berlin runtuh, dua juta penduduk Jerman Timur berkunjung ke Berlin Barat. Setelah lama terpisah dalam kotak komunis dan fasis, mereka berpesta merayakan unifikasi.
Perayaan hari itu membuktikan, kebencian yang tercipta bukan datang dari relung hati masyarakat Berlin.
Runtuhnya Tembok Berlin menggoyang dua Jerman. Setahun pascatembok runtuh, tepatnya 3 Oktober 1990, Jerman berdiri tanpa Barat dan Timur.
ADVERTISEMENT
Satu Jerman.
Keruntuhan Tembok Berlin juga membuka babak baru yang dinamakan globalisasi. Setahun kemudian, Desember 1991, Uni Soviet menyusul runtuh, bubar menjadi Federasi Rusia.
Dunia punya kerangka berpikir baru dalam melihat perbedaan. Meskipun tembok masih diandalkan di beberapa negara, setidaknya rakyat Eropa bisa memberi contoh.
Hingga hari ini, melihat sisa Tembok Berlin seperti mengingat Perang Dingin. Pada dindingnya, bekas luka karena belenggu tembok berganti ragam grafiti guna mengobati duka akibat permusuhan yang telah lama memisahkan mereka.
Wajah tembok Berlin masa kini (Foto: Wikimedia Commons)
Beda Jerman, beda AS. Sementara Tembok Berlin runtuh, Amerika berencana membangun tembok di sepanjang perbatasannya dengan Meksiko. Keduanya tentu saja bukan kasus serupa. Namun tanpa disadari, sejarah kerap berulang dalam konteks berbeda.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai sumber
Infografis: Tembok-tembok Pembatas Hingga Kini (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Ikuti selengkapnya seri "Prahara Tembok"